Jumat, 24 Mei 2013

Taubat Saat Mendengar Khutbah Idul Fitri


 Ini adalah kisah tentang seorang pria yang kembali ke jalan Allah. Setelah sekian lama bergelimang dengan dosa dan nista, pria ini akhirnya menuju jalan sejati. Uniknya, ia merasakan betul apa itu namanya ‘Idul Fitri’. Ia mengalami betul apa itu makna ‘kembali ke fitrah’: sebuah istilah yang lazim terdengar di mana-mana pada hari Idul Fitri, tapi mungkin jarang yang merasakan makna hakikinya.
Idul Fitri. Ya, inilah istilah yang agung bagi seorang hamba yang sudah jauh dari sajadah Ilahi. Ia kembali bersujud di atas sajadah yang lama ditinggalkannya pada saat orang lain bergembira. Ia baru merasakan indahnya kembali ke jalan Allah ketika tengah mendengarkan seorang khatib membacakan khutbahnya. Kala itu, seorang khatib berkata, “Idul Fitri adalah untuk orang yang kembali dari tempat yang sesat menuju tempat yang nikmat, yaitu Islam.”
 
Idul  Fitri  tidak hanya  milik mereka yang rajin beribadah,  tapi juga milik  mereka yang benar-benar kembali menjadi ‘manusia’.
Awalnya ia hanya memahami bahwa Idul Fitri hanya untuk orang yang sukses menjalankan ibadah puasa selama sebulan. Idul Fitri adalah bagi orang yang telah benar-benar mengamalkan rukun Islam yang keempat itu. Tapi, entah kenapa, sang ustadz kala itu justru mengatakan sesuatu di luar kalimat pada umumnya.
Pria itu bernama Tohari, lelaki yang dikisahkan dalam cerita ini. Usianya kini menginjak kepala lima. Sudah cukup tua bagi manusia yang umumnya hidup di muka bumi ini. Sebab, Nabi Muhammad sendiri hidup hanya 63 tahun. Itu artinya, pria ini hanya perlu menjalankan sekitar kurang dari sepuluh tahun lagi untuk mati. Itu rumus umumnya.
Tohari tentu bukan nama sebenarnya. Ia enggan dan tak mau namanya ditulis dalam cerita ini. Malu, katanya. Bukan malu kepada Tuhan, tapi ia malu kepada anak cucunya nanti, karena ia bukan termasuk orang yang sempurna dalam menjalankan hidup di bumi ini. Puluhan tahun ia ‘mengembara’ dalam perjalanan setan.
Tapi, untungnya, ia kini sudah berubah. Mungkin itu yang membuat dirinya bangga dan berkenan untuk diajak bercerita kepada Hidayah. Ia hanya mau menceritakan pengalaman hidupnya, tapi tak mau menyebutkan identitas dirinya yang sebenarnya. Sebab, bagi dia, masa lalunya adalah aib belaka, yang tak layak ditiru dan dicontoh anak muda.

Masa Muda

 Masa remaja Tohari mungkin sama dengan anak muda pada umumnya di ibukota. Ia memiliki segudang impian dan harapan. Namun, karena keterbatasan biaya, ia tidak bisa menamatkan sekolah tingkat SMA. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia menjadi kuli panggul atau kuli angkat di pasar. Sesekali ia juga membantu pamannya berjualan di pasar.
Pergaulan di pasar membuatnya kenal dengan dunia preman. Ini berawal ketika ia dan teman-temannya menjadi juru parkir. Di situlah ia mulai mengenal minuman keras, memalak pedagang pasar dengan dalih keamanan, berjudi, bahkan main perempuan. Ia merasa hidupnya bebas. Tidak ada yang melarang, maupun menasihatinya. Apalagi setelah kedua orangtuanya telah meninggal dunia.
Kebiasaan buruknya itu sedikit reda manakala ia berkenalan dengan seorang gadis berjilbab. Dia jatuh cinta dengan seorang wanita muslimah; anak pengajian di masjid. Perkenalannya ini berawal ketika si gadis memarkirkan sepeda ontelnya. Si gadis meminta tolong agar dirinya membetulkan sepeda ontelnya yang rusak.
Singkat cerita. Terjadilah benih-benih cinta antara Tohari dengan gadis itu. Namun, sayang, perjalanan cintanya ini tidak berjalan mulus. Pasalnya, pihak keluarga gadis tersebut menentang keras hubungan mereka. Mengingat Tohari memiliki kehidupan yang tidak ‘jelas’. Ia hanya seorang juru parkir. Apa yang diharapkan dari kehidupan seorang juru parkir. Kira-kira seperti itu yang ada dalam pikiran mayoritas keluarga si gadis itu.
Ya, memang, Tohari tidak memiliki penghasilan hidup yang layak. Ia hanya seorang juru parkir. Ia juga sudah tidak punya orangtua. Pun, ia tidak punya kekayaan atau harta yang berharga. Ia ditinggal orangtuanya dalam kondisi tidak berduit. Maka, wajarlah, apabila akhirnya keluarga si gadis itu menolaknya keras-keras.
Tapi, entah kenapa, si gadis itu tetap berusaha keras untuk menikah dengan Tohari. Alasannya, kata Tohari, kala itu si gadis melihat dirinya memiliki kebaikan di tengah kegarangannya berperilaku. Itulah sebabnya ia memperjuangkan cintanya itu. Akhirnya, karena ia belum mendapat restu secara penuh dari keluarganya, ia menikah dengan Tohari dengan apa adanya.
Selama setahun menikah, Tohari masih bekerja sebagai juru parkir. Sementara istrinya mengajar ngaji anak-anak di mushala. Terkadang, istrinya juga berjualan kue untuk sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Nah, karena kebutuhan ekonomi yang begitu besar, sementara penghasilannya kecil, Tohari kembali ke dalam kehidupan lamanya lagi: judi.
Ya, Tohari kembali ke dalam kehidupan lamanya. Siang ia menjadi juru parkir, malam ia berjudi dengan teman-temannya. Siang ia memalak para pedagang pasar, malam ia menjadi preman dunia hiburan. Ini berjalan hingga istrinya melahirkan anaknya yang kedua.
Bagaimana dengan istrinya? Saat itu sang istri sabar sekali. Meski ia sering ditinggal Tohari setiap malam, ia sabar menunggu. Meski kadang uang belanja kurang, sang istri begitu sabar menjalaninya. Pendek kata, ini menurut pengakuan Tohari, istrinya kala itu menjadi seorang wanita yang paling penyabar di dunia. Meski ia pulang dengan kondisi mabuk berat dan marah-marah kepada istrinya, tapi sang istri tidak menimpalinya dengan kemarahan pula.
Saat itu, jelas Tohari, istrinya hanya berkata sedikit. Seingatnya, sang istri paling berkata, “Bang, apa sebaiknya abang meninggalkan pekerjaan itu (preman dunia hiburan)?”
Kala itu, sang istri hanya berdoa agar suaminya diberi hidayah untuk kembali ke jalan yang benar. Ketika anak pertama mereka berusia 10 tahun, dan anak keduanya 5 tahun, Tohari memutuskan untuk bekerja ke Malaysia. Saat itu istrinya mengizinkan suaminya bekerja ke Malaysia, daripada ia bekerja sebagai preman, mungkin akan lebih baik apabila bekerja di Malaysia.
Tohari bekerja di Malaysia bersama dengan pamannya. Ia bekerja sebagai buruh perkebunan di sana. Di Malaysia, Tohari pun kembali pada kebiasaan lamanya, yaitu suka berjudi, mabuk, dan main perempuan. Hanya saja, satu kebiasaan yang ia tinggalkan, yaitu menjadi preman yang suka memalak orang. Pasalnya, di Malaysia, kata dia, keamanan di sana cukup baik.
Selama tiga tahun di Malaysia Tohari tidak pernah pulang. Ternyata di Malaysia ia punya istri kedua. Ini di luar pengetahuan istrinya kala itu. Tapi, dari pernikahan keduanya itu, ia tidak dikaruniai anak satu pun. Ketika ia kembali ke Indonesia, ia menceraikan istri yang di Malaysia itu.
Sekembalinya di Indonesia, jiwa premannya ternyata tidak serta-merta hilang. Justru, ketika anak-anaknya sudah masuk ke sekolah menengah atas, ia kian ‘gila’. Ia menjadi preman pasar yang sangat ditakuti. Ia mudah sekali meminta uang kepada pedagang. Bila tidak dikasih, ia akan memukul. Pendek kata, Tohari kian brutal saja. Lalu, bagaimana dengan istrinya?
Sungguh luar biasa. Istrinya tidak pernah punya niat sedikit pun untuk berpisah dengan dirinya. Setia sekali. Ia sangat setia mendampingi suaminya yang berkelakuan bejat itu. Padahal, bagi wanita normal pada umumnya, memiliki suami seperti itu tidak akan tahan. Justru, istrinya memberi supprort agar dirinya bisa memperbaiki sedikit demi sedikit.
Tohari pernah bertanya kepada istrinya itu, kenapa ia bisa begitu sabar. Istrinya hanya menjawab singkat: “Hidayah itu datang bukan dari manusia, tapi dari Allah. Nabi Muhammad saja tidak sanggup mengislamkan paman-pamannya. Nabi Nuh saja tidak sanggup mengimankan anaknya. Nabi Ibrahimpun tidak sanggup mengimankan ayahnya. Begitu juga dengan Nabi Luth yang tidak bisa mengajar istrinya beriman kepada Allah. Apalagi saya?”

Bulan Puasa

Bulan puasa lalu, tepatnya 10 tahun lalu, adalah masa yang sangat berarti dan bermakna dalam hidup Tohari. Karena, pada bulan itulah, ia menemukan titik balik hidupnya ini. Bagaimana persisnya?
Bulan puasa itu sebenarnya sama dengan bulan puasa sebelum-sebelumnya. Tohari hanya berpuasa pada hari pertama Ramadhan. Selebihnya, ia tidak puasa. Ia tidak menjalankan ibadah puasa, apalagi menjalankan ibadah shalat. Tapi, kalau Lebaran tiba, ia tidak pernah meninggalkan momentum itu untuk shalat Idul Fitri. Kata dia, “Shalat setahun sekali masa tidak dikerjakan.”
Pada siang hari bulan Ramadhan, ia tidak segan-segan merokok di tempat umum. Baginya, itu adalah hak dirinya. Tidak ada yang berani melarangnya. Para tokoh agama pun tak ada yang berani mengingatkannya. Tapi, istri dan anak-anaknya tetap rajin menjalankan ibadah puasa. Kedua anaknya sangat patuh dan menjadikan ibunya sebagai teladan.
Pada setiap bulan Ramadhan, istrinya tidak pernah lupa untuk shalat berjamaah di masjid, i’tikaf, maupun shalat Tahajud. Mungkin, kata Tohari, doa istrinya itulah yang telah mengantarkannya pada jalan Allah.
Ketika malam Takbiran tiba, Tohari masih saja berkumpul dengan kawan-kawannya di sebuah gang kecil di dekat rumahnya. Pagi harinya, ketika semua orang sudah bersiap-siap untuk pergi ke lapangan untuk shalat Idul Fitri, Tohari masih saja tidur. Sang istri pun membangunkannya. “Bang, bangun! Shalat Idul Fitri, yuk! Setahun sekali kita shalat ini. Jarang-jarang, lho,” ajak istrinya.
Perlahan Tohari pun bangun. Ia lalu bergegas mandi, dan berangkat ke lapangan. Tak ada sesuatu yang spesial bagi dirinya pada pagi itu. Sesampainya di lapangan ia langsung shalat Idul Fitri, karena ia datang agak telat. Seusai shalat, seorang ustadz beranjak menuju mimbar dan mulailah ia berkuthbah.
Kala itu, Tohari mendengarkannya dengan sangat serius. Karena, entah kenapa, setiap ucapan yang disampaikan sang khatib begitu mengena. Hingga kemudian satu kalimat yang disampaikan sang khatib membuatnya tertunduk dan menangis: “Idul Fitri adalah untuk orang yang kembali dari tempat yang sesat menuju tempat yang nikmat, yaitu Islam.”
Ia lalu teringat dengan masa lalunya. “Ya, Allah, benarkah engkau akan menerima hambamu yang kotor ini!”
Sang Khatib lalu berkata, “Idul Fitri tidak hanya bagi mereka yang berpuasa, tapi bagi mereka yang memiliki unsur manusia. Orang yang ‘manusia’ pasti dapat merasakan nalurinya untuk kembali kepada fitrah. Hanya binatang dan hewan yang tidak akan bisa kembali kepada fitrahnya.”
“Masya Allah,” kata Tohari, “apa yang aku lakukan selama ini? Aku bukanlah manusia, tapi aku binatang.” Seketika itu, ia lalu menangis. Air matanya bercucuran di lapangan itu. Usai khutbah Idul Fitri, ia tidak ikut bersalam-salaman. Ia langsung pulang. Di rumah ia langsung masuk kamar, dan menguncinya. Di kamar itu ia menangis sekuat-kuatnya, dan sepuas-puasnya. “Ya Allah, ampuni dosa hambamu ini.”
Setelah kejadian itu, kehidupan Tohari berubah total. Ia tidak mau berjudi, memalak uang, mabuk, apalagi main perempuan. Ia sudah meninggalkannya jauh-jauh sekali. Ia sudah insyaf, sadar, dan taubat. Kini ia menjadi seorang ustadz di sebuah mushala di pinggir Ibukota. Bagi dirnya, apa yang ia alami ini tak lain adalah buah dari kesabaran dan doa dari istrinya yang sabar itu.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar