Tampilkan postingan dengan label Intisari Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Intisari Islam. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Juni 2013

Siapa Sebenarnya Pembangkit Radikalisme Dan Terorisme Modern Di Tengah Umat Islam?

Oleh
Ustadz Muhammad Arifin Badri, MA


Dunia internasinal secara umum dan negeri-negeri Islam secara khusus, telah digegerkan oleh ulah segelintir orang yang menamakan dirinya sebagai pejuang kebenaran. Dahulu, banyak umat Islam yang merasa simpatik dengan ulah mereka, karena sasaran mereka adalah orang-orang kafir, sebagaimana yang terjadi di gedung WTC pada 11 September 2001. Akan tetapi, suatu hal yang sangat mengejutkan, ternyata sasaran pengeboman dan serangan tidak berhenti sampai di situ. Sasaran terus berkembang, sampai akhirnya umat Islam pun tidak luput darinya. Kasus yang paling aktual ialah yang menimpa Pangeran Muhammad bin Nayif Alus Sa'ûd, Wakil Menteri Dalam Negeri Kerajaan Saudi Arabia.

Dahulu, banyak kalangan yang menuduh bahwa pemerintah Saudi berada di belakang gerakan tidak manusiawi ini. Mereka menuduh bahwa paham yang diajarkan di Saudi Arabia telah memotivasi para pemuda Islam untuk bersikap bengis seperti ini. Akan tetapi, yang mengherankan, tudingan ini masih juga di arahkan ke Saudi, walaupun telah terbukti bahwa pemerintah Saudi termasuk yang paling sering menjadi korbannya?

Melalui tulisan ini, saya mengajak saudara sekalian untuk menelusuri akar permasalahan sikap ekstrim dan bengis yang dilakukan oleh sebagian umat Islam ini. Benarkah ideologi ini bermuara dari Saudi Arabia?

Harian "Ashsharqul-Ausat" edisi 8407 tanggal 4/12/2001 M – 19/9/1422 H menukil catatan harian Dr. Aiman al-Zawâhiri, tangan kanan Usâmah bin Lâdin. Di antara catatan harian Dr Aiman al-Zawâhiri yang dinukil oleh harian tersebut ialah:

أَنَّ سَيِّدَ قُطُبٍ هُوَ الَّذِيْ وَضَعَ دُسْتُوْرَ التَّكْفِيْرِييِْنَ الْجِهَادِيِيْنَ) فِيْ كِتَابِهِ الدِّيْنَامِيْتِ مَعَالِمَ عَلَى الطَّرِيْقِ، وَأَنَّ فِكْرَ سَيِّدٍ هُوَ (وَحَدَهُ) مَصْدَرُ اْلأَحْيَاءِ اْلأُصُوْلِيْ، وَأَنَّ كِتَابَهُ الْعَدَالَةَ اْلاِجْتِمَاعِيَّةَ فِيْ اْلإِسْلاَمِ يُعَدُّ أَهَمَّ إِنْتَاجٍ عَقْلِيٍّ وَفِكْرِيٍّ لِلتَّيَّارَاتِ اْلأُصُوْلِيَّةِ، وَأَنْ فِكْرَ سَيِّدٍ كاَنَ شَرَارَةَ الْبَدْءِ فِيْ إِشْعَالِ الثَّوْرَةِ (الَّتِيْ وَصَفَهَا بِاْلإِسْلاَمِيَّةِ) ضِدَّ (مَنْ سَمَّاهُمْ) أَعْدَاءَ اْلإِسْلاَمِ فِيْ الدَّاخِلِ وَالْخَارِجِ، وَالَّتِيْ مَا زَالَتْ فَصُوْلُهَا الدَّامِيَةُ تَتَجَدَّدُ يَوْماً بَعْدَ يَوْمٍ

"Sesungguhnya Sayyid Quthub dalam kitabnya yang bak bom waktu "Ma'âlim Fî At-Tharîq' meletakkan undang-undang pengkafiran dan jihad. Gagasan-gagasan Sayyid Quthublah yang selama ini menjadi sumber bangkitnya pemikiran radikal. Sebagaima kitab beliau yang berjudul " Al-'Adâlah Al-Ijtimâ'iyah fil Islâm" merupakan. Hasil pemikiran logis paling penting bagi lahirnya arus gerakan radikal. Gagasan-gagasan Sayyid Quthub merupakan percikan api pertama bagi berkobarnya revolusi yang ia sebut sebagai revolusi Islam melawan orang-orang yang disebutnya musuh-musuh Islam, baik di dalam atau di luar negeri. Suatu perlawanan berdarah yang dari hari ke hari terus berkembang."

Pengakuan Dr Aiman al-Zawâhiri ini selaras dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia, Pangeran Nayif bin Abdul Azîz al-Sa`ûd. Pangeran Nayif menyatakan kepada Hariah "As-Siyâsah Al-Kuwaitiyah" pada tanggal 27 November 2002 M.

"Tanpa ada keraguan sedikitpun, aku katakan bahwa sesungguhnya seluruh permasalahan dan gejolak yang terjadi di negeri kita bermula dari organisasi Ikhwânul Muslimîn. Sungguh, kami telah banyak bersabar menghadapi mereka walaupun sebenarnya bukan hanya kami yang telah banyak bersabar. Sesungguhnya mereka itulah penyebab berbagai masalah yang terjadi di dunia arab secara khusus dan bahkan meluas hingga ke seluruh dunia Islam. Organisasi Ikhwânul Muslimîn sungguh telah menghancurkan seluruh negeri Arab."

Lebih lanjut Pangeran Nayif menambahkan:
"Karena saya adalah pemangku jabatan terkait, maka saya rasa perlu menegaskan bahwa ketika para pemuka Ikhwânul Muslimin merasa terjepit dan ditindas di negeri asalnya (Mesir-pen), mereka mencari perlindungan dengan berhijrah ke Saudi, dan sayapun menerima mereka. Dengan demikian, -berkat karunia Allah Azza wa Jalla - mereka dapat mempertahankan hidup, kehormatan dan keluarga mereka. Sedangkan saudara-saudara kita para pemimpin negara sahabat dapat memaklumi sikap kami ini. Para pemimpin negara sahabat menduga bahwa para anggota Ikhwânul Muslimin tidak akan melanjutkan gerakannya dari Saudi Arabia. Setelah mereka tinggal di tengah-tengah kita selama beberapa tahun, akhirnya mereka butuh mata pencaharian. Dan kamipun membukakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Dari mereka ada yang diterima sebagai tenaga pengajar, bahkan menjadi dekan sebagian fakultas. Kami berikan kesempatan kepada mereka untuk menjadi tenaga pengajar di sekolah dan perguruan tinggi kami. Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka tidak melupakan hubungan mereka di masa lalu. Mulailah mereka memobilisasi masyarakat, membangun gerakan dan memusuhi Kerajaan Saudi."

Dan kepada harian Kuwait "Arab Times" pada hari Rabu, 18 Desember 2002 M, kembali pangeran Nayif berkata: "Sesungguhnya mereka (Ikhwânul Muslimîn) mempolitisasi agama Islam guna mencapai kepentingan pribadi mereka."

Sekedar membuktikan akan kebenaran dari pengakuan Dr Aiman Al-Zawâhiri di atas, berikut saya nukilkan dua ucapan Sayyid Quthub:

Nukilan 1 :

نَحْنُ نَدْعُوْ إِلَى اسْتِئْنَافِ حَيَاةٍ إِسْلاَمِيَّةٍ فِيْ مُجْتَمَعٍ إِسْلاَمِيٍّ تَحْكُمُهُ الْعَقِيْدَةُ اْلإِسْلاَمِيَّةُ وَالتَّصَوُّرُ اْلإِسْلاَمِيُّ كَمَا تَحْكُمُهُ الشَّرِيْعَةُ اْلإِسْلاَمِيَّةُ وَالنِّظَامُ اْلإِسْلاَمِيُّ. وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ الْحَيَاةَ اْلإِسْلاَمِيَّةَ عَلَى هَذَا النَّحْوِ قَدْ تَوَقَّفَتْ مُنْذُ فَتْرَةٍ طَوِيْلَةٍ فِيْ جَمِيْعٍ ِلأَنْحَاءِ اْلأَرْضِ، وَإِنَّ وُجُوْدَ اْلإِسْلاَمِ ذَاتِهُ مِنْ ثَمَّ قُدْ تَوَقَّفَ كَذَالِكَ

"Saya menyeru agar kita memulai kembali kehidupan yang islami di satu tatanan masyarakat yang islami. Satu masyarakat yang tunduk kepada akidah Islam, dan tashawur (pola pikir) yang islami pula. Sebagaimana masyarakat itu patuh kepada syari'at dan undang-undang yang Islami. Saya menyadari sepenuhnya bahwa kehidupan semacam ini telah tiada sejak jauh-jauh hari di seluruh belahan bumi. Bahkan agama Islam sendiri juga telah tiada sejak jauh-jauh hari pula." [Al 'Adâlah Al-Ijtimâ'iyah 182].

Nukilan 2 :

وَحِيْنَ نَسْتَعْرِضُ وَجْهَ اْلأَرْضِ كُلَّهُ اْليَوْمَ عَلَى ضَوْءِ هَذا التَّقْرِيْرِ اِْلإلَهِيْ لِمَفْهُوْمِ الدِّيْنِ وَاْلإِسْلاَمِ، لاَ نَرَى لِهَذَا الدِّيْنِ وُجُوْدًا

"Dan bila sekarang kita mengamati seluruh belahan bumi berdasarkan penjelasan ilahi tentang pemahaman agama dan Islam ini, niscaya kita tidak temukan eksistensi dari agama ini." [Al- 'Adâlah Al-Ijtimâ'iyah hlm. 183].

Saudaraku! sebagai seorang Muslim yang beriman, apa perasaan dan reaksi anda setelah membaca ucapan ini?

Demikianlah, ideologi ekstrim yang diajarkan oleh Sayyid Quthub melalui bukunya yang oleh Dr Aiman Al-Zawâhiri disebut sebagai "Dinamit". Pengkafiran seluruh lapisan masyarakat yang tidak bergabung ke dalam barisannya.

Mungkin karena belum merasa cukup dengan mengkafirkan masyarakat secara umum, Sayyid Quthub dalam bukunya "Fî Zhilâlil Qur'ân" ketika menafsirkan surat Yûnus ayat 87, ia menyebut masjid-masjid yang ada di masyarakat sebagai "Tempat peribadahan Jahiliyah". Sayyid Quthub berkata:

اعْتِزَالُ مَعَابِدِ الْجَاهِلِيَّةِ وَاتِّخَاذُ بُيُوْتِ الْعِصْبَةِ الْمُسْلِمَةِ مَسَاجِدَ. تُحِسُّ فِيْهَا بِاْلاِنْعِزَالِ عَنِ الْمُجْتَمَعِ الْجَاهِلِيِّ؛ وَتُزَاوِلُ فِيْهَا عِبَادَتَهَا لِربِّهَا عَلَى نَهْجٍ صَحِيْحٍ؛ وتُزَاوِلُ بِالْعِبَادَةِ ذَاتِهَا نَوْعاً مِنَ التَّنْظِيْمِ فِيْ جَوِّ الْعِبَادَةِ الطَّهُوْرِ

"Bila umat Islam ditindas di suatu negeri, maka hendaknya mereka meninggalkan tempat-tempat peribadahan jahiliyah. Dan menjadikan rumah-rumah anggota kelompok yang tetap berpegang teguh dengan keislamannya sebagai masjid. Di dalamnya mereka dapat menjauhkan diri dari masyarakat jahiliyah. Di sana mereka juga menjalankan peribadahan kepada Rabbnya dengan cara-cara yang benar. Di waktu yang sama, dengan mengamalkan ibadah tersebut, mereka berlatih menjalankan semacam tanzhîm dalam nuansa ibadah yang suci."

Yang dimaksud “Ma`âbid Jâhiliyah”(tempat-tempat ibadah jahiliyah) adalah masjid-masjid kaum Muslimin yang ada. Bisa bayangkan! Para pemuda, yang biasanya memiliki idealisme tinggi dan semangat besar, lalu mendapatkan doktrin semacam ini, kira-kira apa yang akan mereka lakukan? Benar-benar Sayyid Quthub menanamkan ideologi teror pada akal pikiran para pengikutnya.

Dan sudah barang tentu, ia tidak berhenti pada penanaman ideologi semata. Ia juga melanjutkan doktrin terornya dalam wujud yang lebih nyata. Simaklah, bagaimana ia mencontohkan aplikasi nyata dari ideologi yang ia ajarkan:

لِهَذِهِ اْلأَسْبَابِ مُجْتَمِعَةً فَكَّرْنَا فِيْ خِطَّةٍ وَوَسِيْلَةٍ تَرُدُّ اْلاِعْتَِدَاءَ .. وَالَّذِيْ قُلْتُهُ لَهُمْ لِيُفَكِّرُوْا فِيْ الْخِطَّةِ وَالْوَسِيْلَةِ بِاعْتِبَارِ أَنَّهُمْ هُمُ الَّذِيْنَ سَيَقُوْمُوْنَ بِهَا ِبِمَا فِيْ أَيْدِيْهِمْ مِنْ ِإمْكَانِيَاتٍ لاَ أَمْلِكُ أَنَا مَعْرِفَتَهَا بِالضَّبْطِ وَلاَ تَحْدِيْدَهَا........ .. وَهَذِهِ اْلأَعْمَالُ هِيَ الرَّدُّ فَوْرَ وُقُوْعِ اعْتِقَالاَتٍ ِلأَعْضَاءِ التَّنْظِيْمِ بِإِزَالَةِ رُؤُوْسٍ فِيْ مَقْدَمَتِهَا رَئِيْسُ الْجُمْهُوْرِيَّةِ وَرَئِيْسُ الْوِزَارَةِ وَمُدِيْرُ مَكْتَبِ الْمُشِيْرِ وَمُدِيْرُ الْمُخَابِرَاتِ وَمُدِيْرُ اْلبُوْلِيْسِ الْحَرْبِيْ، ثُمَّ نَسْفٌ لِبَعْضِ الْمَنْشَآتِ الَّتِيْ تَشِلُ حَرَكَةً مَوَاصَلاَتِ الْقَاهِرَةِ لِضِمَانِ عَدَمِ تَتَبًّعِ بَقِيَّةِ اْلإِخْوَانِ فِيْهَا وَفِيْ خَارِجِهَا كَمَحَطَّةِ الْكَهْرَبَاءِ وَالْكِبَارِيْ،

"Menimbang berbagai faktor ini secara komprehensif, saya memikirkan suatu rencana dan cara untuk membalas perbuatan musuh. Aku pernah katakan kepada para anggota jama`ah: “Hendaknya mereka memikirkan suatu rencana dan cara, dengan mempertimbangkan bahwa mereka pulalah yang akan menjadi eksekutornya. Tentunya cara itu disesuaikan dengan potensi yang mereka miliki. Saya tidak tahu dengan pasti cara apa yang tepat bagi mereka dan saya juga tidak bisa menentukannya ...... Tindakan kita ini sebagai balasan atas penangkapan langsung beberapa anggota organisasi Ikhwânul Muslimîn. Kita membalas dengan menyingkirkan pimpinan-pimpinan mereka, terutama presiden, perdana mentri, ketua dewan pertimbangan agung, kepala intelijen dan kepala kepolisian. Balasan juga dapat dilanjutkan dengan meledakkan mengebom berbagai infrastruktur yang dapat melumpuhkan transportasi kota Kairo. Semua itu bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada anggota Ikhwânul Muslimîn di dalam dan luar kota Kairo. Serangan juga dapat diarahkan ke pusat pembangkit listrik dan jembatan layang." [Limâzâ A'adamûni oleh Sayyid Quthub hlm: 55]

Pemaparan singkat ini menyingkap dengan jelas akar dan sumber pemikiran ekstrim yang melekat pada jiwa sebagian umat Islam di zaman ini.

Hanya saja, perlu diketahui bahwa menurut beberapa pengamat, gerakan Ikhwânul Muslimîn dalam upaya merealisasikan impian besarnya, telah terpecah menjadi tiga aliran:

1. Aliran Hasan al-Banna
Dalam mengembangkan jaringannya, Hasan al-Banna lebih mementingkan terbentuknya suatu jaringan sebesar-besarnya, tanpa perduli dengan perbedaan yang ada di antara mereka. Kelompok ini senantiasa mendengungkan slogan:

نَجْتَمِعُ عَلَى مَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ وَيَعْذِرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيْمًا اخْتَلَفْنَا فِيْهِ

"kita bersatu dalam hal yang sama, dan saling toleransi dalam setiap perbedaan antara kita".

Tidak mengherankan bila para penganut ini siap bekerja sama dengan siapa saja, bahkan dengan non Muslim sekalipun, demi mewujudkan tujuannya. Prinsip-prinsip agama bagi mereka sering kali hanya sebatas pelaris dan pelicin agar gerakannya di terima oleh masyarakat luas. Tidak heran bila corak politis nampak kental ketimbang agamis pada kelompok penganut aliran ini. Karenanya, dalam perkumpulan dan pengajian mereka, permasalahan politik, strategi pergerakan dan tanzhîm sering menjadi tema utama pembahasan.

2. Aliran Sayyid Quthub
Setelah bergabungnya Sayyid Quthub ke dalam barisan Ikhwânul Muslimîn, terbentuklah aliran baru yang ekstrim pada tubuh Ikhwânul Muslimîn. Pemikiran dan corak pergerakannya lebih mendahulukan konfrontasi. Ia menjadikan pergerakan Ikhwânul Muslimîn terbelah menjadi dua aliran. Melalui berbagai tulisannya Sayyid Quthub menumpahkan ideologi ekstrimnya. Tanpa segan-segan ia mengkafirkan seluruh pemerintahan umat Islam yang ada, dan bahkan seluruh lapisan masyarakat yang tidak sejalan dengannya. Karenanya ia menjuluki masjid-masjid umat Islam di seluruh penjuru dunia sebagai "Tempat peribadatan jahiliyyah".

Dan selanjutnya, tatkala pergerakannya mendapatkan reaksi keras dari penguasa Mesir di bawah pimpinan Jamal Abdun Nâsir, ia pun menyeru pengikutnya untuk mengadakan perlawanan dan pembalasan, sebagaimana diutarakan di atas.

3. Aliran Muhammad Surûr Zaenal Abidin
Setelah pergerakan Ikhwânul Muslimîn mengalami banyak tekanan di negeri mereka, yaitu Mesir, Suria, dan beberapa negeri Arab lainnya, mereka berusaha menyelamatkan diri. Negara yang paling kondusif untuk menyelamatkan diri dan menyambung hidup ketika itu ialah Kerajaan Saudi Arabia. Hal itu itu karena penguasa Kerajaan Saudi saat itu begitu menunjukkan solidaritas kepada mereka yang ditindas di negeri mereka sendiri. Lebih dari itu, pada saat itu kerajaan Saudi sedang kebanjiran pendapatan dari minyak buminya, mereka membuka berbagai lembaga pendidikan dalam berbagai jenjang, sehingga mereka kekurangan tenaga pengajar. Jadi, keduanya saling membutuhkan. Untuk itu, mereka diterima dengan dua tangan terbuka oleh otoritas Pemerintah Saudi Arabia. Selanjutnya, mereka pun dipekerjakan sebagai tenaga pengajar di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di sana.

Di sisi lain, Pemerintah Mesir, Suria dan lainnya merasa terbebaskan dari banyak pekerjaannya. Mereka tidak berkeberatan dengan sikap Pemerintah Saudi Arabia yang memberikan tempat kepada para pelarian Ikhwânul Muslimîn, sebagaimana ditegaskan oleh Pangeran Nayif bin Abdul Azîz di atas.

Selama tinggal di Kerajaan Saudi Arabia inilah, beberapa tokoh gerakan Ikhwânul Muslimîn berusaha beradaptasi dengan paham yang diajarkan di sana. Sebagaimana kita ketahui, Ulama'-Ulama' Saudi Arabia adalah para penerus dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhâb rahimahullah yang anti-pati dengan segala bentuk kesyirikan dan bid'ah. Sehingga, selama mengembangkan pergerakannya, tokoh-tokoh Ikhwânul Muslimîn turut menyuarakan hal yang sama. Hanya dengan cara inilah mereka bisa mendapatkan tempat di masyarakat setempat. Inilah faktor pembeda antara aliran ketiga dari aliran kedua, yaitu adanya sedikit perhatian terhadap tauhid dan sunnah. Walaupun pada tataran aplikasinya, masalah tauhid acap kali dikesampingkan dengan cara membuat istilah baru yang mereka sebut dengan tauhîd hakimiyyah.

Istilah ini sebenarnya bukanlah baru, istilah ini tak lebih dari kamuflase para pengikut Sayyid Quthub untuk mengelabuhi pemuda-pemuda Saudi Arabia semata. Istilah ini mereka ambil dari doktrin Sayyid Quthub yang ia tuliskan dalam beberapa tulisannya. Berikut salah satu ucapannya yang menginspirasi mereka membuat istilah tauhîd hakimiyyah ini:

تَقُوْمُ نَظَرِيَّةُ الْحُكْمِ فِي اْلإِسْلاَمِ عَلَى أَسَاسِ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَمَتَى تَقَرَّرَ أَنَّ اْلأُلُوْهِيَّةَ ِللهِ وَحْدَهُ بَهَذِهِ الشَّهَادَةِ، تَقَرَّرَ بِهَا أَنَّ الْحَاكِمِيَّةَ فِيْ حَيَاةِ الْبَشَرِ ِللهِ وَحْدَهُ. وَاللهُ سُبْحَانَهُ يَتَوَلَّى الْحَاكِمِيَّةَ فِيْ حَيَاةِ الْبَشَرِ عَنْ طَرِيْقٍ أَمَرَهُمْ بِمَشِيْئَتِه وَقَدْرِهِ مِنْ جَانِبٍ، وَعَنْ طَرِيْقِ تَنْظِيْمِ أَوْضَاعِهِمْ وَحَيَاتِهِمْ وَحُقُوْقِهِمْ وَوَاجِبَاتِهِمْ وَعَلاَقَاتِهِمْ وَارْتِبَاطَاتِهِمْ بِشَرِيْعَتِهِ وَمَنْهَجِهِ مِنْ جَانِبٍ آخَرَ.... وَبِنَاءً عَلَى هَذِهِ الْقَاعِدَةِ لاَ يُمْكِنُ أَنْ يَقُوْمَ اْلبَشَرُ بِوَضْعِ أَنْظِمَةِ الْحُكْمِ وَشَرَائِعِهِ وَقَوَانِيْنِهِ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ؛ ِلأَنَّ هَذَا مَعْنَاهُ رَفْضُ أُلُوْهِيَّةِ اللهِ وَادِّعَاءِ خَصَائِصِ اْلأُُلُوْهِيَّةِ فِيْ الْوَقْتِ ذَاتِهِ، وَهُوَ اْلكُفْرُ الصَّرَاحُ

"Teori hukum dalam agama Islam dibangun di atas persaksian bahwa tiada ilâh yang behak diibadahi selain Allah. Dan bila dengan persaksian ini telah ditetapkan bahwa peribadatan hanya layak ditujukan kepada Allah semata, maka ditetapkan pula bahwa perundang-undangan dalam kehidupan umat manusia adalah hak Allah Azza wa Jalla semata. Dari satu sisi, hanya Allah Yang Maha Suci, yang mengatur kehidupan umat manusia dengan kehendak dan takdir-Nya. Dan dari sisi lain, Allah Azza wa Jalla jualah yang berhak mengatur keadaan, kehidupan, hak, kewajiban dan hubungan mereka, juga keterkaitan mereka dengan syari'at dan ajaran-ajaran-Nya...... Berdasarkan kaidah ini, manusia tidak dibenarkan untuk membuat undang-undang, syari'at, dan peraturan pemerintahan menurut gagasan diri-sendiri. Karena perbuatan ini artinya menolak sifat ulûhiyyah Allah Azza wa Jalla dan mengklaim bahwa pada dirinya terdapat sifat-sifat ulûhiyah. Dan sudah barang tentu ini adalah nyata-nyata perbuatan kafir." [Al 'Adâlah Al-Ijtimâ'iyah hlm. 80]

Ketika menafsirkan ayat 19 surat al An'âm, Sayyid Quthub lebih ekstrim dengan mengatakan: "Sungguh, sejarah telah terulang, sebagaimana yang terjadi pada saat pertama kali agama Islam menyeru umat manusia kepada "lâ ilâha illallâhu". Sungguh, saat ini umat manusia telah kembali menyembah sesama manusia, mengalami penindasan dari para pemuka agama, dan berpaling dari "lâ ilâha illallâhu". Walaupun sebagian dari mereka masih tetap mengulang-ulang ucapan "lâ ilâha illallâhu", akan tetapi tanpa memahami kandungannya. Ketika mereka mengulang-ulang syahadat itu, mereka tidak memaksudkan kandungannya. Mereka tidak menentang penyematan sebagian manusia sifat "al-hakimiyah" pada dirinya. Padahal "al-hakimiyah" adalah sinonim dengan "al- ulûhiyah ".

Yang dimaksud oleh Sayyid Quthub dalam pernyataan di atas, antara lain adalah para muadzin yang selalu menyerukan kalimat syahadat. Anda bisa bayangkan, bila para muadzin di mata Sayyid Quthub demikian adanya, maka bagaimana halnya dengan selain mereka? Bila demikian cara Sayyid Quthub memandang para muadzin yang menjadi benteng terakhir bagi eksistensi agama Islam di masyarakat, maka kira-kira bagaimana pandangannya terhadap diri anda yang bukan muadzin?

Kedudukan al-hakimiyyah; kewenangan untuk meletakkan syari'at dalam Islam, sebenarnya tidaklah seperti yang digambarkan oleh Sayyid Quthub sampai menyamai kedudukan ulûhiyyah . Al-Hakimiyah hanyalah bagian dari rubûbiyyah Allah Azza wa Jalla . Karenanya, setelah mengisahkan tentang penciptaan langit, bumi, serta pergantian siang dan malam, Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Maha suci Allah, Rabb semesta alam. Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas". [al A'râf/7:54-55]

Pada ayat 54, Allah Azza wa Jalla menegaskan bahwa mencipta dan memerintah yang merupakan kesatuan dari rubûbiyah adalah hak Allah Azza wa Jalla . Pada ayat selanjutnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan agar kita mengesakan-Nya dengan peribadatan yang diwujudkan dengan berdoa dengan rendah diri dan suara yang halus. Dengan demikian, tidak tepat bila al-hâkimiyah disejajarkan dengan ulûhiyah. Apalagi sampai dikesankan bahwa al-hakimiyah di zaman sekarang lebih penting dibanding al- ulûhiyah.

Ucapan Sayyid Quthub semacam inilah yang mendasari para pengikutnya untuk lebih banyak mengurusi kekuasaan dan para penguasa dibanding urusan dakwah menuju tauhid dan upaya memerangi kesyirikan yang banyak terjadi di masyarakat. Karenanya, di antara upaya Kerajaan Saudi Arabia dalam menanggulangi ideologi sesat ini ialah dengan berupaya membersihkan pemikiran masyarakatnya dari doktrin-doktrin Sayyid Quthub yang terlanjur meracuni pemikiran sebagian mereka. Di antara terobosan yang menurut saya cukup bagus dan layak di tiru ialah:

1. Menarik kitab-kitab yang mengajarkan ideologi ekstrim dari perpustakaan sekolah. Di antara kitab-kitab yang di tarik ialah kitab: Sayyid Quthub Al-Muftarâ 'alaih dan kitab Al-Jihâd Fî Sabîlillâh

2. Membentuk badan rehabitilasi yang beranggotakan para Ulama' guna meluruskan pemahaman dan menetralisasi doktrin ekstrim yang terlanjur meracuni akal para pemuda. Terobosan kedua ini terbukti sangat efektif, dan berhasil menyadarkan ratusan pemuda yang telah teracuni oleh pemikiran ekstrim, sehingga mereka kembali menjadi anggota masyarakat yang sewajarnya.

Mengakhiri pemaparan ringkas ini, ada baiknya bila saya mengetengahkan pernyataan Pangeran Sa'ûd al-Faisal, Menteri Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia, pada pertemuan U.S.-Saudi Arabian Business Council (USSABC) yang berlangsung di kota New York, pada tanggal 26 April 2004. Pangeran Sa'ûd berkata: "Menanggapi tuduhan-tuduhan ini, sudah sepantasnya bila anda mencermati fenomena jaringan al-Qaedah bersama pemimpinnya bin Lâdin. Walaupun ia terlahir di Saudi Arabia, akan tetapi ia mendapatkan ideologi dan pola pikirnya di Afganistan. Semuanya berkat pengaruh dari kelompok sempalan gerakan Ikhwânul Muslimîn. Saya yakin, hadirin semua telah mengenal gerakan ini. Fakta ini membuktikan bahwa Saudi Arabia dan seluruh masjid-masjidnya terbebas dari tuduhan sebagai sarang ideologi tersebut.

Dan kalaupun ada pihak yang tetap beranggapan bahwa Saudi Arabia bertanggung jawab atas kesalahan yang telah terjadi, maka sudah sepantasnya Amerika Serikat juga turut bertanggung jawab atas kesalahan yang sama. Dahulu kita bersama-sama mendukung perjuangan mujahidin dalam membebaskan Afganistan dari penjajahan Uni Soviet. Dan setelah Afganistan merdeka, kita membiarkan beberapa figur tetap bebas berkeliaran, sehingga mereka dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak jelas. Kita semua masih mengingat, bagaimana para mujahidin disambut dengan penuh hormat di Gedung Putih. Bahkan tokoh fiktif Rambo dikisahkan turut serta berjuang bersama-sama dengan para mujahidin." [Sumber situs resmi Kementerian Luar Negeri Kerajaan Saudi Arabia: http://www.mofa.gov.sa/Detail.asp?InNewsItemID=39825]

Semoga pemaparan singkat ini dapat sedikit membuka sudut pandang baru bagi kita dalam menyikapi berbagai ideologi, sikap dan pergerakan ekstrim yang berkembang di tengah masyarakat kita. Salawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan Sahabatnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Kiat Mengatasi Terorisme Di Tengah Kaum Muslimin

Oleh
Ustadz Ahmas Faiz bin Asifuddin


Ada beberapa cara yang secara teoritis dapat ditempuh oleh kaum Muslimin dan pihak-pihak berkepentingan untuk mengatasi dan memutuskan berlangsungnya kegiatan teror. Namun, secara praktis memerlukan kesungguhan dan keikhlasan kerja dari berbagai pihak. Motivasi yang mendorong kerja keras ini, yang paling pokok adalah keimanan kepada Allah Azza wa Jalla, dengan maksud mencari ridha serta pahala-Nya. Sehingga yang diutamakan adalah kemaslahatan dan kepentingan umum, bukan kemaslahatan dan kepentingan pribadi. Dengan demikian, akan tercipta upaya penanggulangan bersama, dalam lingkup ta'âwun 'alal al-Birri wat-Taqwa (tolong menolong serta kerjasama berdasarkan kebaikan dan ketakwaan), bukan atas dasar berebut kepentingan duniawi yang memicu persaingan tidak sehat dan saling mencurigai.

Akar radikalisme yang memicu tindakan kekerasan dan terorisme sebenarnya sudah muncul semenjak zaman Sahabat masih hidup. Terutama mulai mencuat pada zaman pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu. Oleh sebab itu, beberapa kiat yang akan dipaparkan di bawah ini di dasarkan pada langkah-langkah yang pernah dilakukan oleh para Sahabat dan para Ulama salaf dalam mengatasi berkembangnya akar radikalisme pada waktu itu.

Sebelum menyimpulkan kiat-kiat dimaksud, alangkah baiknya dikemukakan terlebih dahulu beberapa riwayat shahîh yang akan dijadikan landasan dalam megambil kesimpulan.

Riwayat-riwayat itu antara lain:
A. Dialog Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhu dengan orang-orang khawarij. Beliau bercerita, “Ketika orang-orang Haruriyah [1] melakukan pembangkangan terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu 'anhu, mereka mengisolir diri di sebuah camp. Jumlah mereka pada waktu itu sekitar 6000 orang. Mereka bersepakat untuk melakukan pemberontakan kepada Ali bin Abi Thâlib. Dan sudah seringkali orang datang kepada Ali Radhiyallahu 'anhu dan mengingatkannya seraya berkata, "Wahai Amirul Mu'minin, sesungguhnya orang-orang Harûriyah itu akan memberontak kepada engkau". Setiap kali itu pula Ali Radhiyallahu 'anhu menjawab, "Biarkan mereka. Saya tidak akan memerangi mereka sampai mereka memerangi saya. Dan mereka pasti akan melakukannya!"

Pada suatu hari, sebelum shalat Zhuhur, aku datang menemui Ali Radhiyallahu 'anhu. Aku berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mu'minin, tundalah shalat Zhuhur sampai waktu tidak terlalu panas, karena aku ingin berbicara sebentar dengan orang-orang Harûriyah itu.

Ali Radhiyallahu 'anhu menjawab, “Aku mengkhawatirkan engkau.”
Aku menjawab, “Jangan khawatir!” Aku dikenal (di masyarakat) sebagai orang yang memiliki akhlak baik, aku tidak pernah menyakiti siapapun.

Akhirnya Ali Radhiyallahu 'anhu mengizinkan aku untuk pergi mendatangi mereka. Lalu kukenakan pakaian paling indah yang berasal dari Yaman dan ku sisir rambutku. Selanjutnya aku datangi mereka di suatu perkampungan pada tengah hari saat mereka sedang bersantap siang. Ternyata, aku dapati bahwa mereka itu adalah sekelompok orang yang aku lihat, sebelumnya tidak pernah ada seorang pun yang yang lebih bersemangat dalam beribadah selain mereka. Dahi-dahi mereka hitam menebal karena banyak bersujud. Telapak-telapak tangan mereka seolah-olah seperti lutut onta (karena sering digunakan untuk menopang tubuh saat bersujud). Mereka mengenakan pakaian yang sudah usang, sedangkan wajah-wajah mereka pucat (karena banyak shalat malam).

Aku ucapkan salam kepada mereka. Tetapi jawaban mereka adalah, "Selamat datang wahai Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhu ! Mewah sekali pakaian yang engkau kenakan!"

Aku menjawab, "Mengapa kalian mencela aku? Padahal aku pernah melihat Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam mengenakan pakain dari Yaman yang jauh lebih indah daripada yang aku kenakan ini. Kemudian aku bacakan sebuah ayat al-Qur'ân kepada mereka:

"Katakanlah,"Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik"? [Ali Imrân/7:32]

Mereka lalu bertanya kepadaku, “Ada perlu apa engkau datang kemari?”

Aku menjawab, “Aku datang sebagai utusan para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu para Muhajirin dan Anshar. Juga sebagai utusan dari anak paman Nabi dan sekaligus menantu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang yang kepada merekalah al-Qur'ân turun langsung, sehingga mereka pasti lebih memahami tafsir al-Qur'ân dibanding kalian. Sementara itu, tidak ada seorang Sahabat Nabi-pun yang berada di tengah-tengah kalian. Sekarang aku siap (menjadi jembatan) untuk menyampaikan kepada kalian apa yang mereka katakan, dan siap menyampaikan kepada mereka apa yang kalian katakan.

Tiba-tiba sebagian mereka berkata kepada kawan-kawannya, “Kalian jangan melayani pertengkaran dengan orang Quraisy, karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

"Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar". [az-Zukhruf/43:58]

Tetapi, kemudian ada seorang yang datang menuju kepadaku. Orang ini berkata (kepada mereka), “Ada dua atau tiga orang yang akan berbicara kepadanya (maksudnya Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhu)

Maka aku berkata, “Silakan! Apa (sebab) penolakan kalian kepada para Sahabat Nabi n dan kepada anak paman beliau?”
Mereka menjawab, “Ada tiga hal.”
Aku berkata, “Apa saja ketiga hal itu?”
Mereka berkata, “Pertama, karena sesungguhnya Ali Radhiyallahu 'anhu telah menjadikan manusia sebagai penentu hukum dalam urusan (agama) Allah Azza wa Jalla. Padahal Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

"Tidak lain hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah". [al-An'âm/6:57, juga Yûsuf/12:40 dan 67]

Aku berkata, “Ini yang pertama.”

Mereka melanjutkan, “Adapun yang kedua, karena Ali Radhiyallahu 'anhu telah memerangi (Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, begitu juga Mu'âwiyah Radhiyallahu 'anhu), tetapi ia tidak melakukan penawanan perang dan tidak mengambil ghanîmah. Jika yang diperangi Ali Radhiyallahu 'anhu adalah orang-orang kafir, berarti tawanannya adalah halal. Tetapi kalau yang diperangi Ali Radhiyallahu 'anhu adalah orang-orang Mukmin, berarti tidak halal mengadakan tawanan perang dan tidak halal pula memerangi mereka.

Aku berkata, “Ini yang nomor dua, lalu apa yang ketiga?”

Mereka berkata, “Ia telah menghapus kedudukan Amirul Mukminin dari dirinya. Dengan demikian, kalau ia bukan Amirul Mukminin, berarti ia adalah Amirul Kafirin (amirnya orang-orang kafir).

Aku berkata, “Apakah masih ada sesuatu yang lain selain yang tiga itu?”
Mereka menjawab, “Cukup itu saja.”

Selanjutnya, akupun berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian, jika aku bacakan ayat-ayat dari Kitabullâh (al-Qur'ân) dan Sunnah Nabi-Nya yang dapat membatalkan perkatakaan kalian, apakah kalian mau rujuk (kembali kepada kebenaran)?

Mereka menjawab, “Ya.”

Aku berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu telah menjadikan manusia sebagai penentu hukum dalam urusan agama Allah Azza wa Jalla, maka akan aku bacakan kepada kalian ayat al-Qur'ân yang menjelaskan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menyerahkan hukum-Nya kepada manusia dalam masalah yang nilainya hanya seperempat dirham. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan manusia untuk menetapkan hukum dalam hal ini.

Bukankah kalian membaca firman Allah Azza wa Jalla :

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan hukum dua orang yang adil di antara kamu". [al-Mâ'idah/5:95]

Dalam ayat ini, ketetapan hukum Allah Azza wa Jalla ialah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia agar memutuskan hukum tentang pembunuhan terhadap hewan buruan yang dilakukan oleh orang yang sedang berihrâm. Padahal, jika Allah Azza wa Jalla menghendaki, Dia akan menghukuminya sendiri. Jadi, diperbolehkan putusan hukum manusia.

Demi Allah Azza wa Jalla, aku minta kalian bersumpah; apakah putusan hukum yang dibuat manusia dengan tujuan mendamaikan hubungan kaum Muslimin dan mencegah tertumpahnya darah mereka itu lebih baik ataukah urusan darah kelinci (yang lebih baik)?

Mereka menjawab, “Tentu ini lebih baik.”

Aku melanjutkan, Begitu juga tentang seorang perempuan dengan suaminya, Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (pemutus hukum) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim (pemutus hukum) dari keluarga perempuan". [an-Nisa'/4:35]

Aku minta kalian bersumpah, apakah ketetapan hukum manusia dalam rangka perdamaian hubungan sesama kaum Muslimin dan dalam rangka pencegahan bagi tertumpahnya darah mereka, itu lebih baik ataukah ketetapan hukum manusia tentang kemaluan seorang perempuan?

Sudahkah jawabanku menjadikan kalian puas?
Mereka menjawab, “Ya.”

Selanjutnya aku berkata, “Adapun perkataan kalian (yang kedua) bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu memerangi (Aisyah Radhiyallahu 'anhuma), tetapi tidak melakukan penawanan dan tidak mengambil ghanîmah. Maka (aku katakan,) “Apakah kalian akan menawan ibu kalian; Aisyah Radhiyallahu 'anha ?, Apakah kalian akan menghalalkannya sebagaimana kalian menghalalkan wanita lain sedangkan beliau adalah ibu kalian? Jika kalian menjawab bahwa kami menghalalkannya sebagaimana kami menghalalkan wanita lain yang menjadi tawanan, berarti kalian telah kafir. Sebaliknya jika kalian mengatakan bahwa Aisyah Radhiyallahu 'anha bukan ibu kami, kalianpun telah menjadi kafir. Sebab Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

"Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka". [al-Ahzab/ 33:6]

Dengan demikian, kalian berada pada salah satu di antara dua kesesatan, silahkan coba cari jalan keluarnya.

Jadi apakah jawaban dapat memuaskan kalian?
Mereka menjawab, “Ya.”

Aku melanjutkan, “Adapun (perkataan kalian yang ketiga) bahwa Ali Radhiyallahu 'anhu telah menghapuskan kedudukan sebagai Amirul Mukminin dari dirinya; maka akan aku datangkan jawaban yang memuaskan bagi kalian. Yaitu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membuat perjanjian damai di Hudaibiyah dengan orang-orang kafir Mekah, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepada Ali Radhiyallahu 'anhu, "Hapuslah wahai Ali (kata Rasul Allah Azza wa Jalla ). Allâhumma, sesungguhnya engkau mengetahui (wahai Ali Radhiyallahu 'anhu ) bahwa aku adalah Rasul Allah Azza wa Jalla. Tulislah kata-kata, “Ini adalah perjanjian damai yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullâh'."[2]

(Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu selanjutnya berkata:) Demi Allah, sesungguhnya Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pasti lebih baik dari Ali Radhiyallahu 'anhu, ternyata beliau telah menghapus kata 'Rasul Allah' dari dirinya, dan ternyata hal itu tidak berarti bahwa beliau menghapus kenabian dari dirinya.
Sudahkah aku dapat keluar (dari perkataan kalian) hingga menjadikan kalian puas?

Mereka menjawab, “Ya.”

Akhirnya, ada dua ribu orang di antara mereka yang rujuk (kembali kepada kebenaran), sedangkan sisanya tetap melakukan pembangkangan dan pemberontakan. Akhirnya, dalam kesesatan mereka, mereka semua dibunuh oleh para Sahabat Muhajirin dan Anshar dalam peperangan".[3]

Dari riwayat ini dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:

1. Khawârij adalah pencetus lahirnya gerakan radikal kaum Muslimin, yang intinya adalah takfîr (pengkafiran) terhadap umat Islam, khususnya para penguasa.
2. Upaya pembinaan dilakukan dengan cara dialog oleh orang yang ahli dan menguasai dalil.
3. Pelaku pembinaan, di samping harus menguasai dalil dan bermanhaj salaf, juga harus dikenal sebagai orang yang berakhlak mulia, sehingga memperkecil kemungkinan mendapat perlakuan yang berbahaya.
4. Pembinaan dilakukan dengan penuh hikmah. Yang dimaksud penuh hikmah adalah ilmiah berdasarkan kekuatan hujjah dan tidak berbentuk tekanan berupa penghinaan. Sebab, hal itu akan dapat menghambat keterbukaan.
5. Radikalisme dan kegiatan peledakan pada akhir-akhir ini dimotori oleh orang-orang yang memiliki kemampuan mengemukakan dalil-dalil untuk membenarkan tindakannya meskipun salah. Mereka juga menguasai serta menghafalkan dalil-dalil, beberapa kaidah penting dan penafsiran para Ulama terkenal yang mereka fahami menurut kemauan mereka. Sehingga apabila pembinaan dilakukan oleh orang-orang yang tidak menguasai ajaran Islam dengan benar, maka argumentasinya akan dianggap angin lalu, meskipun untuk sementara waktu mungkin ditanggapi diam. Tetapi sebanarnya sedang menimbun api dalam sekam.
6. Mereka tentu terdiri dari kelompok-kelompok yang berjengjang. Karena itu memerlukan penanganan terpisah menurut bobot masing-masing.
7. Intisari dari kesimpulan ini adalah kembali pada manhaj Sahabat. Sebab al-Qur'ân turun langsung kepada para Sahabat, sehingga merekalah yang paling memahami makna-makna dan maksud-maksud al-Qur'ân dengan bimbingan langsung dari Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Cara inilah yang ditempuh oleh Ibnu Abbâs Radhiyallahu 'anhuma, dan beliau adalah seorang Sahabat.

B. Riwayat yang kedua adalah tentang kasus Yazîd bin Shuhaib al-Faqîr. Seorang tabi'in yang berdomisili di Kufah Irak, negeri yang waktu itu banyak didominasi oleh berbagai aliran menyimpang, di antaranya orang-orang khawârij. Semula, ia termakan oleh pemikiran sesat khawarij, dan bahkan menjadi tokoh. Namun, akhirnya Yazîd terselamatkan dari kesesatan pemikirannya setelah bertemu dengan seorang Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan mengkonsultasikan pemahamannya tentang al-Qur'ân kepada Sahabat Nabi tersebut.

Riwayat ini terdapat dalam Kitab Shahîh Muslim. Kisahnya adalah sebagai berikut:[4]

Yazid al-Faqîr berkata, “Aku sangat tergiur dengan pemikiran khawârij. Suatu ketika kami keluar bersama sekelompok orang (khawârij) dalam jumlah besar untuk pergi haji, kemudian kami melakukan penentangan kepada umat (dengan kekuatan bersenjata). Kami melewati kota Madinah dan ternyata ada Jâbir bin `Abdillâh z yang duduk sambil bersandar pada salah satu tiang masjid, sedang membawakan hadits-hadits Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Selanjutkan Yazîd mengatakan, “Tiba-tiba Jâbir bin `Abdillâh (seorang Sahabat Nabi) menyebut-nyebut tentang Jahannamiyun (orang-orang yang dibakar di dalam neraka Jahanam, namun kemudian dimasukkan ke dalam surga). Aku bertanya kepadanya, "Wahai Sahabat Nabi! Apa yang sedang engkau ceritakan ini?! Bukankah Allah Azza wa Jalla berfirman :

"Ya Rabb kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh Engkau pasti hinakan ia (maksudnya pasti kekal dalam neraka)". [Ali Imrân/3:192]

Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

"Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya". [as-Sajdah/32:20].

Jadi, apa maksud ucapanmu ini?!"
Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân, seorang Ulama Yordania, sampai pada penggalan hadits di atas memberikan penjalasan berikut [5]: "Tabi'in (Yazid al-Faqîr) ini berhujjah berdasarkan ayat-ayat al-Qur'ân yang difahami menurut pemikirannya. Ia telah didoktrin dengan ayat-ayat semacam ini bahwa ayat-ayat itu menegaskan pengertian-pengertian yang difahami secara terpisah tanpa melihat hubungannya dengan nash-nash lainnya. Maka, Sahabat Nabi yang mulia, Jâbir bin `Abdillâh Radhiyallahu 'anhu mengingatkan akan kesalahan manhaji (kesalahan dalam metodologi pemahaman) yang dilakukan Yazîd ini." Karena itulah, Jâbir bin `Abdillâh berkata kepada Yazîd al-Faqîr:

"Apakah engkau membaca al-Qur'ân?" Aku (Yazîd) menjawab, "Ya". Jâbir Radhiyallahu 'anhu berkata lagi, "Apakah engkau pernah mendengar tentang kedudukan terpuji Nabi (al-Maqam al-Mahmûd) yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla ?"

Aku menjawab: "Ya".

Jabir berkata, "Itulah kedudukan terpuji Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang karena kedudukan itu Allah Azza wa Jalla mengeluarkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dari neraka.

Selanjutnya Yazîd menceritakan, “Kemudian Jâbir Radhiyallahu 'anhu menjelaskan sifat pemasangan jembatan shirâth di atas Jahanam dan menceritakan pula sifat lewatnya manusia pada jembatan shirâth ini. Yazîd melajutkan, “Dan masih banyak lagi yang diceritakan Jâbir Radhiyallahu 'anhu, yang mungkin sebagian aku lupa. Tetapi yang jelas Jâbir z menyatakan tentang kepastiannya bahwa ada sekelompok orang yang akan keluar dari neraka sesudah mereka di azab di dalamnya…dst.”

Setelah Jâbir Radhiyallahu 'anhu memaparkan hadits itu kepada Yazîd, akhirnya Allah memberikan hidayah petunjuk kepadanya berupa pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat yang dikemukakannya di atas. Yazîd mengatakan, "Kami kembali (ke Kufah), dan kamipun berkata kepada sesama orang yang bersama kami, 'Aduhai betapa celaka kalian! apa mungkin Syaikh (Jâbir) berdusta atas nama Rasulullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam ?' Akhirnya, kamipun rujuk (dari pendapat yang salah). Demi Allah Azza wa Jalla, setelah itu, tidak ada seorang pun dari kami yang keluar untuk melakukan pemberontakan kecuali hanya satu orang saja."

Dari riwayat yang kedua dapat disimpulkan beberapa hal berikut:

1. Melalui keyakinan terhadap kebenaran Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, akhirnya Allah Azza wa Jalla membukakan pintu hati Yazîd bin Shuhaib al-Faqîr, sehingga dia selamat dari pemahaman sesat yang hampir menjerumaskannya ke dalam tindakan pemberontakan. Keyakinan semacam ini, bagi para Ulama Rabbani, merupakan salah satu syarat bagi seseorang yang ingin mendapat manfaat dari bimbingan para Ulama, sehingga langkahnya menjadi benar, dalam kondisi apapun pada umumnya, maupun dalam kondisi kacau pada khususnya [6].
2. Pembinaan untuk menyadarkan kaum radikal akan sangat bermanfaat bila menggunakan hujjah-hujjah yang dikemukakan para Ulama berdasarkan hujjah para Sahabat. Sehingga syubhat (keracuan faham) yang menyelimuti pemikiran mereka akan tersingkirkan. Itulah jalan satu-satunya untuk memperbaiki pemahaman serta langkah-langkah mereka [7].
3. Dialog-dialog pembinaan harus dilakukan oleh orang-orang yang manhajnya lurus dan menguasai dalil.
4. Kisah ini membuktikan perlunya semua Muslim memahami nash-nash al-Qur'ân dan Sunnah dengan mengikuti pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Secara keseluruhan, melalui dua riwayat di atas dapat disimpulkan langkah-langkah berikut:

1. Mengembalikan umat Islam pada pemahaman Islam yang benar sebagaimana pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
2. Pembinaan yang benar kepada umat Islam terutama generasi mudanya. Pembinaan ini harus melibatkan para tokoh yang betul-betul memahami Islam, dalil-dalil serta istidlâl (penggunaan dan penerapan dalil)nya.
3. Bimbingan serta penyuluhan dari pihak-pihak berkepentingan berdasarkan dalil-dalil serta argumentasi-argumentasi yang kuat yang bisa diterima sebagai kebenaran oleh semua kalangan meskipun tidak sependapat.
4. Tidak semua orang diperkenankan ikut bersuara dan berbicara, apalagi tanpa dalil. Sebab, hal ini tidak menyelesaikan masalah, justru menambah ketidakpercayaan banyak kalangan umat Islam. Dan ini berarti menimbun api dalam sekam. Apalagi sindiran-sindiran keras melalui forum-forum resmi yang tidak berdasarkan dalil.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

"Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)". [an-Nisâ'/4:83]

5. Memutuskan mata rantai tumbuh kembangnya pembinaan radikal ala takfîri. Tokoh-tokohnya dipisahkan secara bijaksana dengan para obyek binaan. Masing-masing ditangani secara terpisah dalam wadah pembinaan tersendiri, sesuai dengan bobot masing-masing.
6. Menjelaskan perbedaan makna antara jihad syar'i dengan jihad-jihad lain yang revolusioner dan tidak syar'i. Wallâhu A'lam, wa 'alaihi at-Tuklân.

Marâji':
1. Fathul Bâri, Jâmi'atul Imam, Riyâdh, KSA.
2. Shahîh Muslim Syarh an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Ma'mûn Syiha, Dârul-Ma'rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M.
3. Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafiy, Syaikh Sâlim bin 'Id al-Hilâliy, ad-Durarr al-Atsariyah, Amman, Yordania, cet. I, 1420 H/1999 M.
4. Al-Mustadrak 'Ala ash-Shahîhain, Imam al-Hâkim, Dârul-Ma'rifah, Beirut, cet. II, 1427 H/2006 M
5. Al-'Irâq Fî Ahâdîts wa Atsar al-Fitan, Syaikh Abu Ubaidah Mashûr bin Hasan Alu-Salmân, Maktabah al-Furqân, Dubai, Emirat, cet. I, th. 1425 H/2004 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Orang-orang Harûriyah adalah orang-orang khawârij. Dinamakan harûriyah karena mereka awalnya mengkonsentrasikan diri di daerah Harûra', sebuah desa yang terletak kurang lebih dua mil dari Kûfah.
[2]. Kisah yang senada dengan ini banyak diriwayatkan dalam hadits shahîh, di antaranya oleh Imam al-Bukhâri dalam kitab Shahîhnya. Lihat Fathul Bâri 5/303, Kitab Ash-Shulhi , no. 2698 dan 2699, dan Imam Muslim dalam Shahîhnya, lihat Shahîh Syarh an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Ma'mûn Syiha, Dârul Ma'rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M, 12/348-349, dari hadits al-Barrâ' bin 'Azib, no. 4605 dan 3/351, dari Anas, no. 4608.
[3]. Riwayat ini dinukil dari Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafiy, Syaikh Sâlim bin 'Id al-Hilâliy, ad-Durarr al-Atsariyah, Ammân, Yordania, cet. I, 1420 H/1999 M, hlm. 101-104, no. 3 di bawah sub judul: Ihtijâj ash-Shahâbah dst. Riwayat senada banyak dikemukakan oleh para Imam. Di antaranya terdapat dalam kitab Al-Mustadrak 'Ala ash-Shahîhain, Imam al-Hâkim, Dârul-Ma'rifah, Beirut, cet. II, 1427 H/2006 M, 2/494-496, no. 2703, Kitab Qitâl Ahli al-Baghiy, Bab Munâzharah Ibnu Abbâs Ma'al-Harûriyyah. Imam Hâkim mengatakan, “Riwayat ini shahîh sesuai dengan syarat dua orang Syaikh; Imam al-Bukhâri dan Muslim, tetapi keduanya tidak mengeluarkan hadits ini. Syaikh Sâlim al-Hilâliy juga mengatakan, “Atsar ini shahîh.
[4]. HR. Muslim, Lihat Syarh Shahîh Muslim, an-Nawawi, 3/50 no. 472
[5]. Lihat Abu Ubaidah, Syaikh Mashûr bin Hasan Alu-Salmân, al-'Irâq Fî Ahadits wa Atsarul-Fitan, Maktabah al-Furqân, Dubai, Emirat, cet. I, th. 1425 H/2004 M. 1/110-111.
[6]. Syaikh Masyhûr, al-'Irâq, Ibid
[7]. Ibid, dengan bahasa bebas.

Fenomena Pemboman, Pembunuhan, Pembajakan dan Bom Bunuh Diri

Oleh
Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz


Sebagian anak muda dan jama’ah dakwah menerapkan matode perjuangan dengan cara pemboman terhadap bangunan pemerintah atau swasta, dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh pejabat atau yang lainnya. Mereka menyatakan bahwa ini termasuk jihad, lalu menghalalkan harta, jiwa serta melaksanakan amalan jihad menentang pemerintah atau penguasa yang dianggap kafir, dengan anggapan mendapatkan pahala atas perbuatan tersebut.
Sudah pasti, fenomena pemboman, pembunuhan dan penculikan tersebut menimbulkan kekacauan, ketakutan dan ketidak amanan. Serta menyebabkan orang-orang dalam keadaan takut dan tidak tenang. Karena, orang yang ingin masuk ke dalam bengunan pemerintah atau selainnya, menjadi takut bila terjadi peledakan di bangunan tersebut. Jika mengendarai kendaraan, maka ditakutkan terjadi penculikan, pembunuhan atau peledakan atas mobilnya. Jika bepergian dengan pesawat, mengkhawatirkan pesawat tersebut sebelumnya telah direncanakan dibajak atau diledakkan. Demikianlah, sehingga kehidupanpun berhenti, orang tidak dapat bekerja dengan lapang dan tenang.

Disini mesti kita pertanyakan, mengapa dibunuh dan diculik? Apakah karena kekufuran dan kemurtadannya? Atau karena ia telah merampas harta, kehormatan dan agama? Apakah ia telah diminta bertaubat? Siapa yang telah memintanya bertaubat? Apakah tidak memungkinkan terjadinya pembunuhan terhadap orang lain ketika penculikan tersebut? Kemudian apa maslahat yang dicapai darinya? Dan apakah dibolehkan khianat? Seluruh pertanyaan ini dan yang lainnya, harus dijawab sebelum melaksanakan operasi seperti ini.

Syaikh Shalih As Sadlaan menyatakan: "Ketika mereka berangkat membunuh jiwa-jiwa untuk mewujudkan keinginan mereka, yaitu menyusahkan pemerintah, lalu mereka menghalalkan darah orang-orang Islam yang masih memberikan loyalitas kepada pemerintah dan bekerja di departemen pemerintahan. Terkadang mereka orang-orang Islam yang shalat. Mengapakah mereka menghalalkan darahnya? Karena pemerintah tersebut tidak berhukum dengan syari’at Allah?! Karena pemerintah itu berhukum dengan undang-undang buatan manusia, dan karena pemerintah itu memperbolehkan keberadaan minuman keras di negerinya dan perzinahan secara terang-terangan di negerinya?!"[2]

Beliau menyatakan lagi:
Kita bertanya kepada mereka yang melakukan perbuatan seperti ini. Apa kejahatan mereka? Apa yang mereka dapatkan dari aksi ini? Dan apa hasil yang dicapai dari pembunuhan jiwa muslim? Padahal dijelaskan dalam hadits:

لذَهَابُ الدُّنْيَا كلهَا أَهْوَنُ مِنْ سَفْكِ دَمِّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ ِ

"Hancurnya seluruh dunia lebih ringan dari penumpahan darah seorang muslim".[3]

Sungguh mereka yang melakukan perbuatan itu tidak mampu mengukur atau melihat hasilnya tersebut. Kami mengajak mereka untuk menjelaskan hasil sejak pertama memberontak kepada pemerintah dan akibat yang terjadi dari perbuatan merusak, seperti pemboman, pembunuhan dan pembajakan serta yang sejenisnya. Bukankah hasil yang dirasakan adalah kerusakan dan madharat yang besar kepada orang umum dan khusus? Sungguh kerusakan yang dihasilkan akibat manhaj ini jauh lebih besar dari kemaslahatan yang mereka inginkan, jika disana ada maslahat yang mu’tabar.[4]

Disini ada permasalahan penting, yaitu sebagian orang memandang perbuatan ini termasuk bagian dari jihad. Dan pelakunya, seperti pemboman atau pembunuhan tersebut, jika terbunuh maka dianggap syahid di jalan Allah. Untuk menjelaskan masalah ini, dan apakah termasuk mati syahid, maka wajib bagi kita untuk mengetahui, apa yang dimaksud mati syahid di jalan Allah?

Syaikh Abu Bakar Al Jazairi, juru nasihat Masjid Nabawi di Madinah berkata: “Apabila terjadi, seorang mujahid terbunuh di medan pertempuran yang terjadi antara kaum muslimin dengan musuhnya, yaitu orang kafir, maka terdapat dua keadaan. Pertama. Kaum muslimin menyerang negeri kafir untuk memasukkan penduduknya ke dalam rahmat Allah, yaitu Islam agama Allah dan kebahagian dunia akhirat. Kedua. Orang kafir menyerang negeri kaum muslimin, seperti perang Uhud, lalu kaum muslimin melawannya, sehingga orang yang gugur dalam perang tersebut sebagai orang yang mati syahid.

Maka yang kedua ini seperti yang pertama, yaitu menurut syari’at termasuk mati syahid, sehingga tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak dishalatkan, serta dikuburkan bersama darah dan pakaiannya tersebut. Di sisi Allah, mereka ini hidup dan tidak mati, berdasarkan firmanNya, yang artinya: "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikanNya kepada mereka". [Ali Imran :169, 170].

Disana terdapat satu syarat yang harus ada pada kedua keadaan tersebut. Yaitu, peperangan tersebut harus dengan izin imam kaum muslimin dan di bawah panji penglima mereka. Seandainya seorang muslim berperang sendirian, atau bersama beberapa orang tanpa izin imam kaum muslimin, maka peperangan tersebut batil. Jika ia mati, maka tidak dianggap syahid selamanya. Hal itu karena kurangnya syarat, (yakni) izin imam tersebut. Apalagi jika disana terdapat perjanjian damai antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir tersebut untuk gencatan senjata dan tidak saling mengganggu.

Dari sini, maka pembunuhan dan pemboman yang membunuh anak kecil, orang tua, laki-laki atau perempuan yang dilakukan sebagian pemuda Islam di negeri kaum muslimin, dan dilakukan dengan membawa syi’ar jihad dan memerangi orang zhalim yang tidak berhukum dengan hukum Islam, serta menuntut penerapan hukum Islam dan menegakkan pemerintahan Islam, semuanya adalah amalan yang batil dan rusak. Sama sekali tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Islam, syari’at Allah dan agamaNya yang benar. Demikian juga, serorang muslim tidak dibolehkan membenarkan dan mendukungnya, meskipun dengan satu kata atau satu dirham. Itu semua hanyalah kezhaliman, kejelekan dan kerusakan di muka bumi ini.

Lebih dari itu -demi Allah- sama sekali tidak akan menumbuhkan kebaikan, apalagi mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islami. Kenyataan telah membuktikannya. Karena jalan mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islamiyah, ialah dengan cara masyarakat dan umat ini menyerahkan dan menghadapkan hati dan wajah mereka kepada Allah, sehingga hati dan jiwa mereka menjadi suci, terwujud persatuan dan lurusnya perkara mereka. Hal ini tampak pada kebangkitan mereka melaksanakan kewajiban, meninggalkan yang haram, memenuhi cahaya ilmu Ilahi pada diri mereka dan seluruh aspek kehidupan mereka.

Wahai hamba Allah! Inilah jalan menuju penerapan hukum Islam dan mewujudkan pemerintahan Islami.

Pandangan selayang kepada sirah (sejarah) Rasulullah dan sahabatnya mendukung hakikat ini dan mengharuskannya. Sungguh, Nabi n menghabiskan 13 tahun di Mekkah setelah kenabiannya, dengan merasakan gangguan, penentangan dan kecongkakan orang-orang musyrik. Tidak pernah sekalipun Beliau mengatakan kepada salah seorang sahabatnya “Culik fulan!” atau “Bunuh fulan”. Lalu Beliau berhijrah membawa agama dan dirinya ke Madinah, tinggal dan menetap disana. Dan tidak pernah memerintahkan seseorang dari sahabatnya untuk membunuh atau menculik seorang dari musuhnya, sampai turun perintah Allah untuk itu dalam firmanNya, yang artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnaya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Al Hajj:39). Itu setelah terbentuk satu umat di bawah kepemimpinan Beliau yang bijaksana.

Ini hukum umum. Hendaklah kaum muslimin mengetahuinya, khususnya para ulama mereka yang memilih bolehnya hukum pengeboman dan penculikan ini, dan perbuatan yang menghasilkan pertumpahan jiwa, dan terpenuhinya penjara-penjara serta kejadian-kejadian yang mencoret Islam dengan aib dan kejelekan. Islam berlepas diri dari itu semua”.[5]

Demikianlah mati syahid di jalan Allah, sebagaimana dijelaskan Syaikh Abu Bakar Al Jazairi. Tidaklah ada setelah kebenaran, kecuali kesesatan!

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya: Apakah gerakan bawah tanah disyari’atkan dalam Islam? Khususnya di negeri yang Islam dan kaum muslimin ditekan?

Beliau menjawab: “Allah berfirman, yang artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al Baqarah : 286) dan : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (At Taghabun : 16).

Kaum muslimin dengan para musuhnya, memiliki dua keadaan. Pertama. Kaum muslimin tidak memiliki negara yang melindungi mereka dan tidak memiliki kekuatan yang membela mereka dari para musuhnya. Pada keadaan seperti ini, wajib bagi kaum muslimin berdakwah kepada Allah dan menjelaskan Islam dengan lisan saja, sebagaimana keadaan kaum muslimin bersama Nabi di Makkah sebelum hijrah. Dalam keadaan seperti ini, mereka tidak boleh melakukan penculikan dan gerakan bawah tanah yang menyeret kepada kemudharatan dan dijajah musuh. Karena, mudharat penculikan dan gerakan bawah tanah ini lebih besar dari kemaslahatannya. Kedua. Kaum muslimin memiliki negara dan kekuatan serta kemampuan. Dalam keadan seperti ini, diwajibkan atas mereka dua hal, yaitu berdakwah dan jihad di jalan Allah tanpa dusta dan khianat, seperti keadaan Nabi dan kaum muslimin setelah hijrah ke Madinah.

Pembagian yang saya sampaikan ini diambil dari sirah (sejarah) Nabi bersama kaum kafir. Beliau merupakan contoh teladan bagi kaum muslimin sampai hari kiamat, sebagaimana firman Allah, yang artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [Al Ahzab:21].

Sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk berhijrah dari negeri kafir ke negeri kaum muslimin jika memungkinkannya. Apabila tidak mungkin, maka ke negeri kafir yang lebih ringan bahayanya terhadap agamanya, sedapat mungkin dalam rangka mempertahankan agamanya”.[6]

CONTOH SEBAGIAN PERUSAKAN DAN HUKUMNYA
Berikut ini kami jelaskan sebagian contoh operasi perusakan yang kita saksikan dan kita dengar setiap hari melalui alat komunikasi, dengan menjelaskan hukumnya dan pendapat para ulama dalam masalah tersebut.

1. Pembunuhan Duta Besar dan Korp Diplomatik.
Tidak boleh membunuh atau merampas harta para duta besar dan korp diplomatik bila masuk ke negara Islam dengan perjanjian keamanan.

Dalam masalah ini, Imam Ibnu Qudamah berkata : “Jika seorang kafir harbi masuk ke negeri Islam dengan perjanjian keamanan, lalu menyimpan hartanya kepada seorang muslim, atau seorang ahli dzimmah, atau menghutangkan keduanya, kemudian ia kembali ke negara kafir harbi, maka kita lihat, jika ia masuk sebagai pedagang atau utusan (delegasi) atau wisata atau karena hajat kebutuhan yang ia tunaikan, kemudian kembali ke negara Islam, maka ia aman dalam jiwa dan hartanya, karena ia tidak keluar demikian dari niat tinggal di negeri Islam, sehingga disamakan dengan ahli dzimmah, jika masuk negeri dengan sebab tersebut.

Seorang duta besar atau delegasi, seperti mukmin, baik ia membawa risalah atau berjalan diantara dua kelompok yang berperang untuk perdamaian, atau berusaha menghentikan peperangan dalam waktu yang memungkinkan untuk memindahkan orang yang terluka dan terbunuh, atau karena tugas-tugasnya sebagai diplomatik, dan juga pada orang yang melaksanakan sesuatu dengan nama diplomatik dalam istilah modern.

Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan hadits Nu’aim bin Mas’ud, bahwa Rasulullah berkata kepada utusan (delegasi) Musailamah :

لَوْلَا أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ لَضَرَبْتُ أَعْنَاقَكُمَا

"Seandainya para utusan (delegasi) boleh dibunuh, tentulah aku akan memotong leher kalian berdua".[7]

Rasulullah, setelah membaca surat Musailamah, berkata kepada kedua utusan tersebut:

مَا تَقُولَانِ أَنْتُمَا قَالَا نَقُولُ كَمَا قَالَ

"Apa pendapat kalian berdua?” Keduanya menjawab: “Kami berpendapat sebagaimana yang ia sampaikan”. Maksudnya, kedua utusan itu mengakui kenabian Musailamah Al Kadzab.

Ketika kaum Quraisy mengutus Abu Rafi’ kepada Rasulullah, lalu masuklah iman ke hatinya, maka ia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي وَاللَّهِ لَا أَرْجِعُ إِلَيْهِمْ وَ أَبْقَى مَعَكُمْ مُسْلِمًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَا أَخِيسُ بِالْعَهْدِ وَلَا أَحْبِسُ الْبُرُدَ فَارْجِعْ إِلَيْهِمْ آمِيْنًا فَإِنْ وَجَدْتَ بَعْدَ ذَلِكَ فِي قَلْبِكَ مَا فِيْهِ الْآنَ فَارْجِعْ إِلَيْنَا

"Wahai, Rasulullah. Saya tidak ingin kembali, dan ingin tinggal bersama kalian sebagai muslim”. Lalu Rasulullah bersabda, “Saya tidak akan melanggar perjanjian, dan tidak akan menahan utusan (delegasi). Maka kembalilah kepada mereka dalam keadaan aman. Jika kamu dapati setelah itu di hatimu apa yang ada sekarang, maka kembalilah kepada kami." [8]

Dalam kitab Al Kharaj, karya Abu Yusuf dan kitab As Siyar Al Kabir, karya Muhammad, terdapat pernyataan: Apabila utusan tersebut memiliki persyaratan, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menunaikannya dan mereka tidak dibenarkan berkhianat terhadap utusan musuh. Meskipun orang kafir membunuhi tawanan muslim yang ditahan mereka, maka utusan mereka tidak boleh dibunuh, dengan dasar sabda Rasulullah:

وَفَاءٌ بِغَدَرٍ خَيْرٌ مِنْ غَدَرٍ بِغَدَرٍ

"Menunaikan sesuatu yang orang lain mengkhianati, lebih baik dari mengkhianati karena dikhianati".

Ibnu Qudamah berkata: “Jika orang yang mendapat keamanan (dari kaum muslimin) di negeri Islam mencuri atau membunuh atau merampok, kemudian kembali ke negaranya di negeri kafir, kemudian pulang kembali dalam keadaan mendapatkan keamanan kedua kali, maka ditunaikan apa yang menjadi keharusannya pada keamanan yang awal”.[9]

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya : Apakah diangap membunuh para tokoh negara dan selainnya termasuk khianat? Apakah boleh membunuh orang kafir?

Beliau menjawab: “Tidak boleh membunuh orang yang diberi keamanan (musta’man) atau mu’ahid (yang punya perjanjian keamanan) atau ahli dzimah, apalagi seorang muslim. Telah dijelaskan dalam satu hadits:

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يُرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

"Barangsiapa yang membunuh mu’ahid, tidak akan mencium bau syurga".[10]

Jika yang dimaksud kepala negara atau pejabat tinggi, maka dosanya lebih besar. Hal itu karena sudah pasti, yaitu seperti kepala satu perusahan yang besar atau yayasan, sehingga pembunuhannya menimbulkan kerugian terhadap negara. Jika seandainya ia berbuat sesuatu yang mengganggu, maka hal itu dilaporkan kepada mahkamah syari’at untuk diterapkan padanya hukum Allah”.[11]

2. Pembajakan Pesawat Dan Kapal Laut Serta Penyanderaan.
Ini salah satu terorisme dan mengikuti langkah orang-orang jahat, ketika menjadikan orang-orang yang tidak berdosa sebagai perisai dan menyerahkan jiwa-jiwa mereka kepada bahaya, baik mereka itu laki-laki atau perempuan, besar atau kecil, dari kaum muslimin atau orang yang tidak boleh dibunuh. Dalam perbuatan ini terdapat tipuan yang tercela dan merusak keamanan, menghancurkan kemaslahatan negara dan manusia. Pada umumnya, perbuatan ini tidak menghasilkan kemaslahatan yang berarti. Karena itu, kita memandangnya sebagai sesuatu yang terlarang dan kejahatan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

عُذِّبَتْ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ حَبَسَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ قِيْلَ لهَا لَا أَنْتِ أَطْعَمْتِهَا وَلَا سَقَيْتِهَا حِينَ حَبَسْتِيهَا وَلَا أَنْتِ أَرْسَلْتِهَا فَأَكَلَتْ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ

"Seorang wanita diadzab karena kucing yang ia kurung sampai mati, lalu ia masuk neraka karena itu. Dikatakan kepadanya: Tidak kamu beri makan dan minum ketika kamu mengurungnya, dan tidak pula kamu lepas sehingga makan dari serangga tanah".[12]

Perbuatan wanita ini menunjukkan kekerasan hati dan hilangnya rahmat darinya. Sedangkan rahmat tidak hilang, kecuali dari hati orang yang celaka. Perbuatan mereka, tidak lebih baik dari perbuatan wanita tersebut.

Sebaliknya dari kisah di atas, terdapat riwayatkan Al Bukhari dari hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِي فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا قَالَ فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

"Ketika seseorang berjalan, lalu merasa sangat dahaga. Kemudian ia turun ke satu sumur dan minum darinya, kemudian keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing menjulurkan lidahnya makan tanah karena kehausan. Lalu ia berkata: “Sungguh anjing ini telah tertimpa seperti yang menimpaku,” maka ia memenuhi khuf (kaus kaki kulitnya), kemudian ia gigit dengan mulutnya, kemudian naik dan memberi minum anjing tersebut. Kemudian Allah menerima amalannya sehingga mengampuninya. Maka para sahabat bertanya: “Wahai, Rasulullah! Apakah kami akan mendapat pahala dari binatang?” Beliau menjawab,”Setiap (memberi minum) makhluk hidup, ada pahalanya." [13]

Wahai, orang yang berakal! Ambillah pelajaran dari semua ini.[14]

Syaikh Ibnu Baz berkata: “Sudah dimaklumi, semua orang yang mempunyai pengetahuan, bahwa pembajakan pesawat dan menghalangi manusia dari bepergian dan lain-lainnya termasuk kejahatan besar dunia yang mengakibatkan kerusakan besar, kemadharatan yang banyak, mengorbankan orang yang tidak berdosa, dan sangat mengganggu mereka.

Sebagaimana telah dimaklumi, madharat dan keburukan kejahatan ini tidak hanya menimpa satu negara saja dan satu kelompok saja, melainkan juga menimpa seluruh dunia. Sudah pasti, demikianlah akibat kejahatan ini. Maka wajib bagi pemerintah dan para pemimpin dari kalangan para ulama dan yang lainnya, agar memberikan perhatian serius dan mengeluarkan segala kekuatan untuk menghentikan kejelekan kejahatan ini dan menghancurkannya.

Allah telah menurunkan kitabNya yang mulia sebagai penjelas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin, dan mengutus NabiNya Muhammad sebagai rahmat bagi alam semesta, hujjah atas hamba-hambaNya. Allah juga mewajibkan seluruh jin dan manusia untuk berhukum dan mengembalikan hukum kepada syari’at Muhammad, serta mengembalikan perselisihan kepada KitabNya dan Sunnah RasulNya Muhammad, sebagaimana firmanNya, yang artinya: Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An Nisa’:65), dan firmanNya, yang artinya: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? (Al Maidah:50), serta firmanNya, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisa’:59).

Para ulama bersepakat, makna mengembalikan kepada Allah, adalah kembali kepada KitabNya yang mulia, dan mengembalikan kepada RasulNya, yaitu kembali kepada Beliau n pada masa hidupnya dan kepada Sunnah Beliau yang shahih setelah wafatnya.

Demikian juga Allah befirman, yang artinya: Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Asy Syura:10).

Seluruh ayat di atas dan yang semakna dengannya menunjukkan wajibnya mengembalikan perselisihan manusia kepada Allah dan RasulNya. Hal itu dengan merujuk kepada hukum Allah dan menghindari semua yang menyelisihinya dalam semua perkara. Yang terpenting lagi seperti perkara yang madharat dan kejelakannya bersifat umum, seperti pembajakan.

Sudah menjadi kewajiban bagi negara yang berhasil menangkap para pembajak untuk menghukum mereka dengan syari’at Allah, karena akibat yang ditimbulkan kejahatan besar mereka berupa hak-hak Allah dan hambaNya, madharat yang banyak dan kerusakan yang besar. Tidak ada solusi yang dapat menghancurkan dan menghentikan keburukannya, kecuali yang ditetapkan Allah dalam KitabNya dan yang disampaikan oleh sebaik-baik makhluk, Nabi Muhammad n . Itulah solusi yang wajib difahami oleh para pembajak, korban pembajak dan orang yang memiliki hubungan dengan mereka serta lainnya. Demikian juga, jika mereka mukmin, hendaknya berlapang dada dengan hukum tersebut. Apabila mereka bukan kaum mukminin, maka Allah telah memerintahkan NabiNya untuk menerapkan hukum pada mereka, sebagaimana firman Allah, yang artinya: dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. ( Al Maidah : 49), dan firmanNya, yang artinya : Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil. (Al Maidah:42).

Berdasarkan keterangan di atas, maka wajib atas negara tempat beradanya para pembajak membentuk komisi yang terdiri dari para ulama syari’at Islam untuk meneliti perkara ini dan mempelajari aspek-aspeknya, serta hukum syari’atnya. Para ulama tersebut memiliki kewajiban untuk menghukumi perkara ini sesuai dengan dalil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan memperhatikan penjelasan para ulama tentang ayat muharabah (ayat tentang hukuman bagi pelaku kerusakan di bumi, seperti perampok dll.) dari surat Al Maidah, juga penjelasan para ulama dalam seluruh madzhab dalam bab hukmu qutha’ ath thariq, kemudian mengeluarkan hukum yang dikuatkan dengan dalil-dalil syari’at.

Sedangkan pemerintah (penguasa) yang menjadi tempat berlindung para pembajak, berkewajiban menerapkan hukum syar’i karena taat kepada Allah, mengagungkan perintahNya menerapkan syari’atNya, menghapus kejahatan besar, semangat memberi keamanan dan merahmati korban pembajakan serta menenangkan mereka.

Adapun undang-undang yang dibuat manusia tentang hal itu tanpa bersandar kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, maka semuanya merupakan buatan manusia, dan orang Islam tidak boleh berhukum dengannya. Sebagiannya tidak lebih baik dari yang lainnya untuk dijadikan hukum, karena semuanya termasuk hukum jahiliyah dan hukum thaghut, yang Allah peringatkan dan nasabkan kepada orang munafik yang senang berhukum kepadanya, sebagaimana firman Allah, yang artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (An Nisa’:60-61).

Orang Islam tidak boleh menyerupai musuh-musuhnya (kaum munafiqin) dengan berhukum kepada selain Allah dan menolak hukum Allah dan RasulNya. Tidak boleh juga berhujjah (berdalih) dengan keadaan kebanyakan kaum muslimin sekarang yang berhukum kepada undang-undang buatan manusia, karena hal ini tidak menghalalkan dan menjadikannya boleh. Bahkan itu termasuk kemungkaran yang paling besar, walaupun kebanyakan orang terjerumus padanya. Dan terpuruknya kebanyakan orang pada satu perkara, tidak menunjukkan dibolehakannya (perkara tersebut), sebagaimana firman Allah, yang artinya: Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya dan mereka hanya mengikuti prasangka dan mereka hanya mengira-ngira saja. (Al An’am:116).

Setiap hukum yang menyelisihi syari’at Allah, adalah termasuk hukum jahiliyah. Allah berfirman, yang artinya: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al Maidah:50).

Allah mengkhabarkan, bahwa berhukum kepada selain hukum Allah adalah kufur, zhalim dan fasiq dalam firmanNya, yang artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al Maidah:44) dan, Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. (Al Maidah:45) dan, Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (Al Maidah:47).

Ayat-ayat di atas dan yang semakna, mewajibkan kaum muslimin agar waspada, sehingga tidak berhukum dengan selain hukum Allah, berlepas darinya, bersegera kepada hukum Allah dan RasulNya. berlapang dada dan pasrah menerimanya.

Apabila kejadiannya memiliki madharat yang merata, seperti pembajakan, maka kewajiban merujuk kepada Allah dan RasulNya lebih kuat dari selainnya dan lebih wajib lagi. Karena, Allah adalah Al Hakim Al Khabir, Ahkamul Hakimin, Arhamur Rahimin. Allah mengetahui apa saja yang menjadi kemaslahatan hambaNya, dan menolak madharat dari mereka, serta menghentikan kerusakan pada saat itu atau yang akan datang. Sehingga wajib mengembalikan hukum dalam perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, karena pada keduanya terdapat kecukupan, pelega dan solusi terbaik atas segala permasalahan, serta penghilang semua kejelekan bagi orang yang berpegang teguh kepadanya, istiqamah, menghukum dengannya dan berhukum kepadanya. Sebagaimana telah dijelaskan hal itu dalam ayat-ayat muhkam.

Karena besar dan bahayanya kejahatan ini, saya memandang wajibnya menyebarkan pernyataan seperti ini untuk menasihati umat dan melepas tanggung jawab, serta mengingatkan orang umum akan kewajiban ini. Juga untuk tolong-menolong bersama para pemimpin umat dalam kebaikan dan taqwa”.[15]

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya: Sebagian orang melakukan pembajakan pesawat atau kapal laut dengan maksud menekan instansi yang bertanggung jawab terhadap pesawat dan kapal tersebut, dan terkadang mengancam membunuh para penumpangnya. Bahkan kadang-kadang dibunuh langsung hingga tuntutannya dipenuhi. Apa hukum perbuatan ini? Khususnya perbuatan ini membuat ketakukan para penumpang?

Beliau menjawab:
Negara berkewajiban memberikan tindakan prefentif secukupnya, untuk menahan para pemberontak tersebut dan menangkap mereka. Sebagaimana juga wajib menambah personil kelompok penerbang dengan orang yang dapat melindungi mereka, dan dapat melawan orang-orang yang berusaha membajak tersebut. Demikian juga, mereka harus melakukan pemeriksaan yang sempurna sebelum terbang, jangan membiarkan seorangpun melewati satu tempat, kecuali setelah dipastikan tidak membawa senjata atau hanya sekedar besi, kecuali setelah diketahui. Walaupun demikian, sebagian kejadian dapat dilakukan dengan upaya penyelamatan yang dilakukan sebagian pilot dengan merubah arah penerbangan. Sehingga bila disana ada tentara atau penumpang yang mampu mengalahkan mereka, maka rencana para pembajak tersebut bisa digagalkan.

Sudah pasti pembajakan ini merupakan kesalahan, kebodohan, kesesatan di luar batas, mengganggu keamanan para penumpang dan mengancam dengan sesuatu, yang para penumpang tersebut tidak mampu melaksanakan dan menunaikannya. Wallahu a’lam.

3. Bom Bunuh Diri. [17]
Yazid bin Abi Habib meriwayatkan dari Aslam Abu Imran, beliau berkata:

غَزَوْنَا الْقُسْطَنْطِينِيَّةَ وَعَلَى الْجَمَاعَةِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَالرُّومُ مُلْصِقُو ظُهُورِهِمْ بِحَائِطِ الْمَدِينَةِ فَحَمَلَ رَجُلٌ عَلَى الْعَدُوِّ فَقَالَ النَّاسُ مَهْ مَهْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يُلْقِي بِيَدَيْهِ إِلَى التَّهْلُكَةِ فَقَالَ أَبُو أَيُّوبَ سُبْحَانَ الله! إِنَّمَا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِينَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ لَمَّا نَصَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ وَأَظْهَرَ الْإِسْلَامَ قُلْنَا هَلُمَّ نُقِيمُ فِي أَمْوَالِنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ فَالْإِلْقَاءُ بِالْأَيْدِي إِلَى التَّهْلُكَةِ أَنْ نُقِيمَ فِي أَمْوَالِنَا وَنُصْلِحَهَا وَنَدَعَ الْجِهَادَ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو أَيُّوبَ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى دُفِنَ بِالْقُسْطَنْطِينِيَّةِ فَقَبْرُهُ هُنَاكَ.

"Kami memerangi Konstantinopel yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Khalid bin Al Walid. Sedangkan tentara Rumawi menyandarkan punggung mereka ke tembok kota (menanti kaum muslimin menyerang). Lalu ada seorang yang menyerang musuh sendirian. Orang-orang berkata: “Mah mah!! La ilaha illallah, ia ingin menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan!” Abu Ayyub berkata: “Subhanallah! Ayat ini turun pada kami, kaum Anshar, ketika Allah memenangkan NabiNya dan agamaNya,” kami menyatakan: “Marilah kita urusi harta kita, lalu turunlah firman Allah: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al Baqarah:195)”. Menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan adalah dengan berdiam mengurusi harta dan mengembangkannya dan meninggalkan jihad di jalan Allah. Lalu Abu Ayyub terus berjihad di jalan Allah sampai dikubur di Konstantinopel dan kuburannya ada disana".

Abu Ayyub mengkhabarkan kepada kita, bahwa menjatuhkan diri sendiri dalam kebinasaan itu adalah meninggalkan jihad di jalan Allah, dan ayat turun berkaitan dengan hal itu. Diriwayatkan semisal ini dari Hudzaifah, Al Hasan, Qatadah, Mujahid dan Adh Dhahak. Imam At Tirmidzi meriwayatkan yang semakna dengan hadits ini, dan berkata: “Ini hadits hasan gharib shahih”.

Para ulama berselisih pendapat tentang seseorang yang dalam peperangan melakukan penyerangan terhadap musuh sendirian. Al Qasim bin Mukhaimarah, Al Qasim bin Muhammad dan Abdul Malik dari ulama madzhab Malikiyah berpendapat, seseorang diperbolehkan sendirian menyerang tentara yang banyak jika memiliki kemampuan dan niatnya ikhlas untuk Allah. Apabila tidak memiliki kekuatan, maka itu termasuk menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. (Tahlukah). Sedangkan yang lain ada yang berpendapat, jika menginginkan mati syahid dan berniat ikhlas, maka menyeranglah. Karena, maksudnya ia menyerang seorang dari mereka, dan itu jelas dalam firmanNya, yang artinya: Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah (Al Baqarah:207).

Ibnu Khawaiz Mandad berkata: “Apabila seseorang menyerang seratus atau sejumlah tentara atau sekelompok maling dan perampok serta khawarij, maka memiliki dua keadaan. (Yaitu) jika ia tahu dan diperkirakan ia akan membunuh yang diserang dan ia selamat, maka itu baik. Demikian juga seandainya ia tahu atau diperkirakan ia akan terbunuh [18], namun akan merusak atau memberikan bala’ (kepada musuh) atau memberikan pengaruh yang bermanfaat bagi kaum muslimin, maka boleh juga.

Al Qurthubi berkata,”Telah sampai berita kepada saya, bahwa tentara kaum muslimin, ketika berjumpa dengan tentara Persia, kuda-kuda perang kaum muslimin lari karena ada gajah. Lalu seorang dari mereka sengaja membuat patung gajah dari tanah dan membiasakan kudanya sampai terbiasa (melihat gajah). Ketika esoknya kudanya tidak lari dari gajah, lalu ia menyerang gajah yang menyerangnya. Maka ada yang menyatakan, ‘Sungguh ia akan membunuhmu,’ maka ia menjawab,’Tidak mengapa aku terbunuh asal kaum muslimin menang’.”

Demikian juga pada perang Yamamah. Ketika Banu Hanifah berlindung di Hadiqah, seorang muslimin (yaitu Al Bara’ bin Malik) berkata: “Letakkan saya di Al Juhfah, dan lemparkan saya kepada mereka,” lalu mereka lakukan dan ia memerangi Banu Hanifah sendirian, dan berhasil membuka pintu bentengnya.

Saya (Al Qurthubi) berkata,”Termasuk dalam masalah ini juga, diriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,’Bagaiman pendapatmu jika saya terbunuh di jalan Allah dengan sabar dan mengharap pahala?’ Beliau menjawab,’Engkau mendapat Syurga’. Lalu ia terjun ke tengah-tengah musuh sampai terbunuh”.

Al Qurthubi berkata lagi: “Muhammad bin Al Hasan berkata: ‘Seandainya seorang sendirian menyerang seribu kaum musyrikin, maka tidak mengapa selama ia masih berharap selamat atau memberikan kekalahan kepada musuh. Apabila tidak demikian, maka itu dilarang. Karena, ia membiarkan dirinya untuk binasa tanpa memberi manfaat kepada kaum muslimin. Jika tujuannya untuk memotivasi kaum muslimin agar berani menyerang mereka, sehingga berbuat seperti yang ia perbuat, maka tidak jauh dari kebolehan dan karena ada kemanfaatan kepada kaum muslimin pada sebagian aspek. Adapun bila tujuannya menanamkan ketakutan pada musuh dan untuk menampakkan ketabahan dan kehebatan kaum muslimin dalam agamanya maka tidak jauh juga dari kebolehan. Apabila ada padanya kemanfaatan bagi kaum muslimin, lalu jiwanya hilang untuk kemulian agama dan merendahkan kekufuran, maka inilah kedudukan mulia, yang Allah memuji kaum mukminin dengan firmanNya, yang artinya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka. (At Taubah:111), dan yang lainnya dari ayat-ayat pujian Allah bagi orang yang berbuat demikian.

Berdasarkan hal ini, sudah sepatutnya hukum amar ma’ruf nahi munkar diharapkan memberikan manfaat pada agama, maka memperjuangkannya sampai mati merupakan derajat tertinggi orang yang mati syahid. Allah berfirman, yang artinya : Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Luqman:17).

Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda:

أَفْضَلُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ وَ رَجُلٌ تَكَلَّمَ بِكَلِمَةِ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ فَقَتَلَهُ

"Seutama-utama orang yang mati syahid adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib dan orang yang menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang jahat, lalu pemimpin itu membunuhnya".[19]

Adapun membunuh sebagian tentara dan masyarakat dalam operasi seperti ini dengan kondisi kita sekarang ini, maka ia termasuk mengikuti jalan para pelaku kejahatan, karena semua itu tidak lepas dari tipu daya yang diharamkan, menimbulkan gangguan dan madharat terhadap orang yang tidak berdosa, tanpa kemaslahatan yang mu’tabar.

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya : Ada seseorang yang mengikat dirinya dengan bom, kemudian masuk ke bangunan pemerintah atau non pemerintah, atau masuk ke kerumunan manusia yang berisi orang kafir dan yang lainnya, kemudian meledakkan dirinya. Bagaimana hukum perbuatan ini? Apakah perbuatan seperti ini dianggap jihad? Apakah pelakunya dapat dikatakan syahid, ataukah dianggap bunuh diri?

Beliau menjawab : “Secara zhahir itu termasuk bunuh diri, karena ia yakin jika hal itu akan membunuh dirinya sendiri sebelum yang lainnya. Namun terkadang dibolehkan jika dilakukan di wilayah kafir harbi, dan ia tahu akan terbunuh di tangan musuh tersebut, baik cepat atau lambat, atau akan mendapatkan adzab yang keras. Dan tidak mendapatkan jalan keluar, kecuali meledakkan dirinya dan membunuh selainnya dari kalangan musuh yang menyiksa kaum muslimin, sehingga dari mereka terbunuh sejumlah orang yang dapat melemahkan kekuatan mereka, atau mengurangi gangguan dan memberikan rasa takut atas mereka. Terkadang hal itu dimubahkan walaupun membunuh dirinya sendiri, jika ia tahu pasti akan dibunuh atau dijajah, lalu bermaksud melepaskan gangguan dan menyelamatkan dirinya. Perkaranya diserahkan kepada Allah.

Beliau ditanya lagi : Sebagian orang menyatakan dibolehkannya meledakkan diri sendiri dengan menganalogikan kepada kisah Ghulam Ukhdud. Bagaimana jawaban dalam hal itu?[20]

Dalam hal ini tidak ada Qiyas (analogi). Dalam kisah ghulam tersebut tidak ada bunuh diri. Yang ada, mereka membawanya untuk melemparkannya dari atas gunung, lalu Allah menyelamatkan. Kemudian mereka membawa ke laut untuk ditenggelamkan, dan Allah juga menyelamatkannya. Kemudian, ketika ia mengetahui bahwa mereka terus berusaha membunuhnya dan pasti membunuhnya dengan segala cara yang mereka miliki, dengan mengucapkan Bismillahi Rabbi Al Ghulam, maka ia berkata: “Kalian tidak akan bisa membunuhku sampai melakukan apa yang aku perintahkan. Kumpulkan orang di lapangan luas, kemudian ucapkan “Bismilahi Rabbi Al Ghulam”, kemudian panahlah aku”. Dia bermaksud memperdengarkan penyebutan nama Allah kepada orang-orang agar beriman sebagaimana akhirnya terjadi.

Adapun pemboman ini bersandar pada bunuh diri, walaupun maksudnya mencelakakan dan membunuh musuh. Terkadang bunuh diri yang demikian ini diperbolehkan, jika ia tahu akan diadzab sebelum dibunuh, dan pembunuhannya pasti terjadi. Wallahu a’lam.

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Sebagian orang berkata “Dia melakukan amal jihad dalam bentuk bunuh diri. Contohnya, seorang dari mereka memasang bom dalam mobilnya dan menyerang musuhnya dalam keadaan tahu, ia pasti akan mati dalam kejadian itu?”[21]

Beliau menjawab : “Pendapat saya dalam hal ini, bahwa ia telah bunuh diri dan akan diadzab di neraka jahannam dengan alat yang dipakai bunuh diri tersebut, sebagaimana telah disabdakan Rasulullah dalam hadits yang shahih. Namun orang yang tidak mengetahui dan melakukannya dengan anggapan itu baik dan diridhai Allah, saya berharap Allah mengampuninya, karena ia berbuat dengan ijtihadnya, walaupun saya pandang tidak ada udzur baginya pada zaman sekarang ini, karena bentuk bunuh diri ini telah terkenal dan diketahui orang, dan wajib bagi seseorang untuk menanyakannya kepada ulama, hingga jelas baginya yang benar dari yang tidak benar.

Ajaibnya, mereka membunuh diri mereka sendiri, padahal Allah melarangnya, sebagaimana firmanNya, yang artinya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An Nisa’:29).

Kebanyakan mereka hanya ingin membalas dendam kepada musuhnya dengan segala cara, baik haram atau halal. Sehingga ia hanya ingin melampiaskan dendamnya saja. Kita memohon kepada Allah untuk memberikan kepada kita pengetahuan dalam agama ini dan beramal dengan amal yang Dia ridhai. Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.

KESIMPULAN
Telah jelas bagi kita, bahwa masalah pemboman, pembajakan, penculikan dan sejenisnya termasuk amalan yang merusak dan ditolak secara agama dan akal. Tidak melakukannya, kecuali pengikut hawa nafsu atau musuh Islam dan kaum muslimin yang tidak menginginkan kebaikan untuk kaum muslimin. Adapun orang yang melakukannya dengan keyakinan pemerintahnya telah kafir, sehingga wajib baginya untuk memberontak, maka demikian ini merupakan pendapat yang menyelisihi agama Allah dan RasulNya, juga menyelisihi amalan para salaf umat ini.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan dari kitab Kaifa Nu’alij Waqiana Al Alim? karya Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz, Cetakan Pertama, Tahun 1418 H, tanpa penerbit, hlm. 98-121.
[2]. Syaikh Shalih As Sadlan, Muraja’at Fi Fiqh Al Waqi’ As Siyasi Wal Fikri, disusun oleh Dr. Abdullah Ar Rifa’i, hlm. 78.
[3]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no. 1.395; An Nasa’i, no. 3.997, 3.998 dan 4.000 dari hadits Abdullah bin Amru. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 2.619 dari hadits Al Bara’ bin ‘Azib. At Tirmidzi berkata,”Dalam bab ini ada hadits dari Sa’ad, Ibnu Abbas, Abu Sa’id, Abu Hurairah, Uqbah bin ‘Amir, Abdullah bin Mas’ud dan Buraidah.
[4]. Syaikh Shalih As Sadlan, Muraja’aat Fi Fiqh Al Waqi’ As Siyasi Wal Fikri, disusun oleh Dr. Abdullah Al Rifa’i, hlm. 78.
[5]. Surat kabar Al Muslimun, Edisi 590, Jum’at, 7 Muharram 1417 H atau 24 Mei 1996 M.
[6]. Surat kabar Al Muslimun, Edisi 32.
[7]. Diriwayatkan Abu Dawud, no. 2.761 dari hadits Nu’aim bin Mas’ud, dan Abu Dawud juga, no. 2.762 dan Ahmad dalam Musnad (1/391) dari hadits Abdullah bin Mas’ud. Ahmad Syakir berkata,”Sanadnya shahih.”
[8]. Diriwayatkan Abu Dawud, no. 2.758; Ahmad dalam Musnad (6/8), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, no. 1.630-Mawarid dan Al Hakim (3/598). Syaikh Al Albani berkata dalam Silsilah Ash Shahihah (702),”Isnadnya shahih. Para perawinya seluruhnya tsiqat, para perawi syaikhan, kecuali Al Hasan bin Ali bin Abi Rafi’, dan beliau tsiqat sebagaimana disebutkan dalam kitab At Taqrib. Hadits ini dibawakan Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (11/163); Al Arnaauth berkata,”Isnadnya shahih.”
[9]. Al Mughni, karya Ibnu Qudamah (8/401).
[10]. Diriwayatkan oleh Al Bukhari, 3.166 dari hadits Abdullah bin Umar.
[11]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Asy Syaikh Ibnu Jibrin, Al ‘Aqidah (juz delapan) – manuskrip.
[12]. Diriwayatkan oleh Al Bukhari, 3.486 dan Muslim, 2.242 dari hadits Abdullah bin Umar.
[13]. Diriwayatkan Al Bukhari, 2.363 dan Muslim, 2.244.
[14]. Tahshil Az Zaad Li Tahqiq Al Jihad, disusun oleh Sa’id Abdulazhim, hlm. 206 dan 207.
[15]. Makalah Syaikh Bin Baaz yang dipublikasikan dalam Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawi’ah (1/276-289), sebagaimana juga dipunlikasikan oleh Majalah At Tauhid, diterbitkan Anshar As Sunnah Al Muhamadiyah, Mesir, hlm. 8, Edisi 10, Tahun 1393 H.
[16]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu Jibrin, Al ‘Aqidah (juz delapan) – manuskrip.
[17]. Tahshil Az Zaad Li Tahqiq Al Jihad, karya Sa’id Abdulazhim, hlm. 302-304.
[18]. Perkiraan kuat akan mendapat kebinasaan, tidak berarti melakukan pembelaan dengan memasang sabuk bom pemusnah. Karena yang wajib atasnya, ialah mencari sebab keselamatan semampunya, dengan tetap berusaha keras memberikan madharat dan gangguan terhadap musuh, meskipun hingga mengantarnya kepada kematian.
[19]. Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Ausath (1/245), Al Hakim (3/195) dan dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 374. Sampai disini penukilan dari Tahshil Az Zaad, Pent.
[20]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Asy Syaikh Ibnu Jibrin, (Aqidah juz delapan) –manuskrip.
[21]. Wawancara dengan Syaikh Ibnu Utsaimin yang dilakukan Majalah Ad Dakwah, Edisi 1.598, 28/2/1418H atau 3/7/1997M.

Bermula Dari Pengkafiran, Akhirnya Peledakan

PENGANTAR
Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh syari’at merupakan sikap ekstrim, dan akan selalu memicu persoalan, yang ujung-ujungnya ialah tertumpahnya darah kaum muslimin secara semena-mena. Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan).

Makalah berikut ini diterjemahkan dari sebuah booklet yang dikeluarkan oleh Markaz Al Imam Al Albani, Yordania, tentang Bayan Hai’ah Kibar Al Ulama Fi Dzammi Al Ghuluwwi Fi At Takfir (Penjelasan Lembaga Perkumpulan Ulama Besar Saudi Arabia tentang celaan terhadap sikap ghuluw –ekstrim- dalam mengkafirkan orang lain).

Lembaga ini diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah. Kemudian penjelasan Lembaga tersebut disajikan ulang dan diberi catatan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari. Selamat menyimak.
____________________________________________

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين ، والصلاة والسلام أشرف المرسلين، وعلى آله وصحبه أجمعين، ولا عدوان إلا على الظالمين، أما بعد :

Berikut ini adalah sebuah penjelasan ilmiah yang akurat. Di dalamnya terdapat kupasan yang jeli dan teliti. Mengukuhkan masalah yang teramat penting, bermanfaat bagi sekalian umat dan dapat menolak fitnah yang gelap gulita.

(Atas dasar itu), saya memandang perlu dan penting untuk menyebar luaskannya, sebagai nasihat dan sebagai amanat. Hal itu disebabkan oleh dua alasan:

Pertama : Karena banyak orang yang tidak mengetahuinya dan tidak memahaminya. Sedangkan yang mengetahuinya, tidak mau menyebar luaskannya, [1] dan enggan menunjukkannya –kecuali yang mendapat rahmat Allah-.

Kedua : (Juga) karena di dalam penjelasan itu terdapat (usaha telaah) untuk membongkar rahasia keadaan sebagian orang ghuluw yang ekstrim. Yaitu orang-orang yang karena kebodohannya telah membuat citra agama menjadi buruk, dan karena penyimpangannya telah merusak kaum muslimin secara umum.

Padahal Islam –alhamdulillah- jauh lebih tinggi dan lebih agung. Islam lebih memberikan bimbingan dan petunjuk kepada kebenaran.

Hanya kepada Allah aku memohon, agar Dia menjadikan penjelasan [2] ini bermanfaat bagi orang-orang pada umumnya, maupun secara khusus bagi orang-orang tertentu. Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berfirman :

وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ

Takutlah kamu akan suatu fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zhalim saja di antara kamu [Al Anfal : 25].

Akhir do’a kami ialah, Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
(Demikian pengantar dari Syaikh Ali bin Hasan Al Halabi, Red.).


PENJELASAN HAI’AH KIBAR AL ULAMA
Lembaga Perkumpulan Tokoh-tokoh Ulama Saudi Arabia [3]

الحمدلله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن اهتدى بهداه. أما بعد:

Sesungguhnya Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama, pada pertemuannya yang ke-49 di Thaif, yang dimulai pada tanggal 2/4/1419 H [4] telah mengkaji apa yang kini berlangsung di banyak negeri Islam dan negeri-negeri lain, tentang takfir (penetapan hukum kafir terhadap seseorang) dan tafjir (peledakan) serta konsekwensi yang diakibatkannya, berupa penumpahan darah dan perusakan fasilitas-fasilitas umum.

Karena berbahayanya persoalan ini, begitu pula akibat yang ditimbulkannya, berupa melenyapkan nyawa orang-orang yang tidak bersalah, perusakan harta benda yang mestinya terpelihara, menimbulkan rasa takut bagi banyak orang dan menimbulkan keresahan bagi keamanan serta ketenteraman orang banyak, maka majelis Hai’ah memandang perlu untuk menerbitkan penjelasan ini, guna menerangkan hukum sebenarnya dari persoalan tersebut. Sebagai nasihat bagi Allah, bagi hamba-hambaNya dan sebagai pelepas tanggung jawab di hadapan Allah, serta sebagai upaya menghilangkan kerancuan pemahaman di kalangan orang-orang yang kacau pemahamannya.

Maka dengan –taufiq Allah- kami katakan:

PERTAMA
Takfir (menetapkan hukum kafir atau mengkafirkan) merupakan hukum syar’i. Tempat kembalinya adalah Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, kembalinya kepada Allah dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam ; begitu pula penetapan hukum kafir.

Tidak setiap perkataan atau perbuatan yang disebut kufur, berarti kufur akbar yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama. [5]

Karena sumber penetapan hukum pengkafiran kembalinya kepada Allah dan RasulNya, maka kita tidak boleh mengkafirkan seseorang, kecuali jika Al Qur’an dan Sunnah telah membuktikan kekafirannya dengan bukti yang jelas. Maka (mengkafirkan orang) tidak cukup hanya berdasarkan syubhat dan dugaan-dugaan saja, sebab akan berakibat pada konsekwensi hukum-hukum yang berbahaya.

Apabila hukum hudud (pidana) saja dapat terhapus dengan adanya syubhat (ketidak jelasan bukti) -padahal konsekwensinya lebih ringan daripada takfir-, apalagi masalah pengkafiran orang, tentu lebih dapat terhapuskan lagi dengan adanya syubhat (ketidak jelasan bukti).

Itulah sebabnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan umatnya agar jangan sampai menghukumi kafir kepada seseorang yang tidak kafir. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَيمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيْهِ : يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أحَدُهُمَا. إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإلا رَجَعَتْ عَلَيْهِ

Siapapun orangnya yang mengatakan kepada saudaranya “Hai Kafir”, maka perkataan itu akan mengenai salah satu diantara keduanya. Jika perkataannya benar, (maka benar). Tetapi jika tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada diri orang yang mengatakannya. [Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar].

Kadang di dalam Al Qur’an dan Sunnah terdapat nash yang dapat difahami darinya, bahwa perkataan ini, perbuatan itu atau keyakinan itu adalah kufur, tetapi orang yang melakukannya tidak kafir, disebabkan adanya penghalang yang menghalangi kekafirannya.

Hukum pengkafiran ini, sama seperti hukum-hukum lainnya. Yaitu tidak akan terjadi, kecuali jika sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada [6] dan penghalang-penghalangnya tidak ada. Umpamanya dalam masalah waris. Sebabnya (misalnya) adalah adanya hubungan kerabat. Kadang-kadang seseorang (yang mempunyai hubungan kerabat) tidak bisa mewarisi disebabkan oleh adanya penghalang, yaitu perbedaan agama. Begitu pula masalah kekafiran. Seorang mukmin dipaksa melakukan perbuatan kufur –misalnya-, maka ia tidak kafir karenanya.

Kadang seorang muslim mengucapkan kalimat kufur disebabkan oleh kesalahan lidah karena sangat gembiranya, atau sangat marahnya atau karena sebab-sebab lainnya. Iapun tidak kafir karenanya. Sebab ia tidak sengaja mengucapkannya. Seperti kisah orang yang mengatakan : “Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah TuhanMu”. (Dia tidak kafir, Red). Dia salah mengucapkan kalimat itu karena sangat gembiranya (menemukan kembali ontanya yang hilang ditengah kesendiriannya, Red). [7] [Hadits shahih Riwayat Muslim, dari sahabat Anas bin Malik]

Tergesa-gesa menghukumi kafir terhadap seseorang akan mengakibatkan banyak perkara yang berbahaya. Di antaranya menghalalkan darah dan harta Muslim, dilarangannya saling mewarisi, pembatalan pernikahan dan lain-lainnya yang merupakan konsekwensi hukum orang murtad.

Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin boleh lancang menetapkan hukum kafir hanya berdasarkan syubhat yang sangat sederhana sekalipun?

Dan apabila ternyata (tuduhan kafir, Red) ini ditujukan kepada para penguasa [8] maka persoalannya jelas lebih parah lagi. Sebab akibatnya akan menimbulkan sikap pembangkangan terhadap penguasa, angkat senjata melawan mereka, menebarkan issu kekacauan, mengalirkan darah dan membuat kerusakan terhadap manusia dan negara.

Karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang penentangan kepada penguasa. Beliau bersabda :

...إلا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ

……kecuali bila kalian lihat kekafiran yang nyata (bawaah), yang tentanginya kalian memiliki bukti yang jelas dari Allah. [Muttafaq ‘alaih, dari ‘Ubadah].

• Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : إلا أَنْ تَرَوْا (kecuali jika kalian lihat), memberikan pengertian bahwa tidak cukup (pengkafiran, Red) hanya berdasarkan dugaan dan issu.
• Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : كُفْرًا (kekafiran), memberikan pengertian bahwa tidak cukup (penentangan terhadap penguasa, Red) hanya karena fasiknya penguasa, walaupun kefasikannya besar seperti zhalim, meminum khamr, berjudi dan dominan berbuat perkara haram.
• Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : بَوَاحًا (nyata), memberikan pengertian bahwa tidaklah cukup kekafiran yang tidak nyata. Arti bawaah ialah jelas dan nyata.
• Sabda beliau Shallallaahu 'alaihi wa sallam : عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ (kalian memiliki bukti jelas mengenai kekafiran yang nyata itu dari Allah). Ini memberikan pengertian bahwa pengkafiran harus berdasarkan dalil yang sharih (jelas dan terang). Dalil itu harus shahih adanya dan sharih (jelas dan terang) pembuktiannya. Sehingga tidak cukup bila dalil itu lemah sanadnya atau tidak tegas pembuktiannya.
• Kemudian sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam : مِنَ اللهِ (dari Allah), memberikan pengertian bahwa perkataan ulama manapun (dalam pengkafiran, Red) tidak bisa dianggap, meski betapapun tinggi ilmu dan sikap amanahnya, apabila perkataannya tidak berdasarkan dalil yang sharih (nyata dan terang) pembuktiannya dan shahih berasal dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ikatan-ikatan syarat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam hadits) di atas menunjukkan betapa gentingnya permasalahan takfir (pengkafiran terhadap seseorang).

Kesimpulannya, tergesa-gesa menghukumi seseorang sebagai kafir mempunyai bahaya yang besar. Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla :

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَابَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَالَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَالاَتَعْلَمُونَ

Katakanlah : Sesungguhnya Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau yang tersembunyi, dan (mengharamkan) perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (juga mengharamkan kalian) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (juga mengharamkan) kalian mengadakan-adakan perkataan terhadap Allah apa yang kalian tidak ketahui. [Al A’raf : 32].

KEDUA:
Apa yang timbul dari keyakinan salah ini? Yaitu menghalalkan darah, perusakan kehormatan, perampasan harta milik orang-orang tertentu atau orang umum, peledakan tempat-tempat hunian serta angkutan-angkutan umum dan perusakan bangunan-bangunan.

Kegiatan-kegiatan ini dan yang semisalnya adalah haram menurut syari’at berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Sebab di dalamnya terdapat perusakan terhadap kehormatan jiwa-jiwa manusia yang terpelihara, perusakan terhadap kehormatan harta benda, perusakan terhadap kehormatan keamanan dan ketenteraman. (Perusakan terhadap) hak hidup orang banyak secara aman dan tenteram di rumah-rumah mereka, di tempat-tempat mata pencaharian mereka, di saat keberangkatan mereka pada pagi hari dan di saat kepulangan mereka pada sore hari. Juga perusakan terhadap kepentingan-kepentingan umum yang selalu dibutuhkan oleh orang banyak dalam kehidupan mereka.

Padahal Islam telah memberikan pemeliharaan kepada kaum muslimin berkaitan dengan harta benda, kehormatan dan jiwa raga mereka. Islam mengharamkan perusakan terhadap semua ini dan sangat menekankan pengharamannya.

Bahkan di antara hal terakhir yang disampaikan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada umatnya ialah sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pada haji wada’ :

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَاَلكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta benda kalian dan kehormatan-kehormatan kalian adalah haram atas kalian, seperti haram (mulia)nya hari kalian (hari haji wada’) ini, di bulan kalian ini dan di negeri (tanah haram) kalian ini.

ِAkhirnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menutup sabdanya :

ألاَ هَلْ بَلَّغْتُ؟ اَللَّهُمَّ فَاشْهَدْ

Ketahuilah, adakah aku telah menyampaikan? Ya Allah saksikanlah. [Muttafaq ‘alaih, dari Abi Bakrah].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

كُلُّ اْلمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ : دَمُهُ، وَمَالُهُ ، وَعِرْضُهُ

Setiap muslim bagi muslim lainnya adalah haram : darahnya, hartanya dan kehormatannya. [HR Muslim, dari Abu Hurairah].

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pula :

اِتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Takutlah kalian akan kezhaliman, sesungguhnya kezhaliman itu adalah kegelapan-kegelapan pada hari kiamat. [HR Muslim, dari Jabir].

Sesungguhnya Allah telah memberikan ancaman sangat keras terhadap orang yang membunuh seseorang yang terpelihara jiwanya.

Berkenaan dengan jiwa seorang mukmin, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar baginya. [An Nisa’ : 93].

Kemudian berkenaan dengan jiwa orang kafir yang berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin, jika dibunuh secara tidak sengaja, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُم مِّيثَاقُُ فَدِيَةُُ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللهِ وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum kafir yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat (ganti rugi) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh), serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memiliki hamba sahaya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. [An Nisa’:92].

Apabila orang kafir yang memiliki jaminan keamanan dari kaum muslimin dibunuh secara tidak sengaja saja harus ada pembayaran diat (ganti rugi) dan memerdekakan hamba sahaya oleh si pembunuh, maka apalagi jika ia dibunuh secara sengaja. Jelas kejahatannya lebih berat dan dosanya lebih besar.

Dan sesungguhnyalah terdapat riwayat shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :

مَنْ قَتَلَ مُعَاهِدًا : لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian (damai), maka ia tidak akan mencium baunya sorga. [Muttafaq ‘alaih, dari Abdullah bin Amr].

KETIGA:
Sesungguhnya jika sebuah majelis menyatakan ketetapan hukum kafir terhadap manusia –tanpa bukti dari Kitab Allah dan Sunnah Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam serta tanpa menyebutkan bahayanya penyebutan hukum itu karena mengandung akibat buruk dan dosa, berarti majelis tersebut tengah mengumumkan kepada dunia, bahwa Islam berlepas diri dari keyakinan yang salah ini. Begitu pula apa yang tengah berlangsung di berbagai negeri berupa penumpahan darah orang yang tidak bersalah, peledakan tempat-tempat hunian, kendaraan-kendaraan, fasilitas-fasilitas umum maupun khusus, serta perusakan bangunan-bangunan, semua itu merupakan tindakan kriminal. Islam berlepas diri dari tindakan semacam itu.

Demikian juga setiap muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhirat-pun berlepas diri dari tindakan seperti itu. Tindakan-tindakan tersebut tidak lain hanyalah tindakan orang yang mempunyai pemikiran menyimpang dan aqidah sesat. Dia sendirilah yang memikul dosa dan kejahatannya. Tindakannya itu tidak bisa dibebankan kepada Islam dan tidak pula kepada kaum muslimin yang berpegang pada petunjuk Islam, berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah dan berpegang teguh pada tali Allah yang kokoh.

Tindakan-tindakan tersebut murni merupakan perusakan dan kejahatan. Syari’at serta fitrah menolaknya. Oleh karenanyalah, nash-nash syari’at telah datang untuk mengharamkannya dan memperingatkan agar tidak mempergauli para pelaku tindakan demikian.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَمِنَ النَّاسِ مَن يُعْجِبُكَ قَوْلُهُ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللهَ عَلَى مَافِي قَلْبِهِ وَهُوَ أَلَدُّ الْخِصَامِ. وَإِذَا تَوَلَّى سَعَى فِي اْلأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ . وَإِذَا قِيلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهُ الْعِزَّةُ بِاْلأِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ

Dan di antara manusia ada yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di muka bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman dan binatang ternak. Dan Allah tidak menyukai kebinasaan. Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertaqwalah kepada Allah!”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya. [Al Baqarah:204-206].

(Intinya) kewajiban seluruh kaum muslimin –di manapun mereka berada- ialah saling ingat-mengingatkan dalam hal kebenaran, saling menasihati, saling tolong-menolong dalam hal kebaikan dan ketaqwaan, amar ma’ruf nahi munkar– dengan cara hikmah (bijaksana) serta nasihat yang baik, dan memberikan bantahan dengan cara yang lebih baik. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketaqwaan, dan jangan tolong-menolonglah dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya. [Al Ma’idah:2].

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman :

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ

Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. [At Taubah:71].

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالْعَصْرِ إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ. إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal shalih, dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran, dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran. [Al Ashr : 1-3].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الدِّينُ النَّصِيحَةُ (ثلاثا). ِقْيلَ : لِمَنْ يارسولَ اللهِ ؟ قَالَ : لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

“Agama adalah nasihat” (Rasulullah mengatakannya tiga kali). Ditanyakan oleh sahabat: “Bagi siapa, wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab,”Bagi Allah, bagi kitabNya, bagi RasulNya, bagi para pemimpin umat Islam dan bagi umumnya umat Islam.” [HR Muslim dari Tamim Ad Dari. Imam Bukhari meriwayatkannya secara mu’allaq dalam kitab Shahih-nya, tanpa menyebutkan sahabat].

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ والحُمَّى

Perumpamaan kaum mukminin dalam (hubungan) saling cinta, saling kasih sayang dan saling lemah lembutnya, ibarat satu tubuh, apabila salah satu anggauta tubuh mengeluh karena sakit, maka seluruh anggauta tubuh lainnya akan ikut tidak bisa tidur dan merasa demam. [Muttafaq ‘alaih, dari An Nu’man bin Basyir].

(Demikianlah), ayat-ayat serta hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak.

Akhirnya, kami memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala –dengan nama-namaNya yang husna dan dengan sifat-sifatNya yang mulia- agar Dia mencegah seluruh kaum muslimin dari kesengsaraan.

Kami memohon agar Allah l memberikan taufiq kepada seluruh pemegang kendali kekuasaan kaum muslimin untuk melakukan apa yang baik bagi umat dan negara, serta melakukan pemberantasan terhadap segala kerusakan serta para perusaknya.

Kami memohon agar Allah memenangkan agamaNya dan meninggikan kalimatNya melalui para pemegang kendali kekuasaan itu. Juga agar Allah memperbaiki keadaan seluruh umat Islam di manapun mereka berada, serta memenangkan kebenaran melalui mereka. Sesungguhnya Allah adalah Pemilik semua itu dan Maha Kuasa untuk melakukannya. Semoga Allah senantiasa mencurahkan shalawat serta salamNya kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H/2004M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Sebab banyak di antara persoalan itu yang bagi sebagian orang hanya persoalan “mana suka”. Jika sesuai dengan hawa nafsu, disebar luaskan. Dan jika tidak sesuai, disembunyikan dan ditimbun. Fatwa-fatwa ulama yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka akan dikatakan bahwa ulama yang berfatwa itu tidak mengerti (bodoh terhadap) realitas, situasi dan kondisi, atau dikatakan bahwa ulama itu terkontaminasi dengan pemikiran Murji’ah. Demi Allah, ini merupakan bencana besar
[2]. Penjelasan ini termasuk penjelasan dan fatwa ilmiah dari Hai’ah Kibar Al Ulama yang paling akhir di bawah kepemimpinan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah. Penjelasan (fatwa) ini dikeluarkan kurang dari sembilan bulan sebelum wafat beliau. Dan penjelasan ini dimuat di majalah Al Buhuts Al Islamiyah, Edisi 56 Safar 1420 H, langsung setelah wafat beliau
[3]. Tentang penjelasan lembaga ini, saya (Syaikh Ali Hasan) telah memberikan catatan dan penjelasan pada sebuah risalah tersendiri yang saya beri judul “Kalimatun Sawa’ Fi An Nushrati Wa Ats Tsana’i ‘Ala Bayan Hai’ah Kibar Al Ulama, Wa Fatwa Al Lajnah Da’imah Lil Ifta’ Fi Naqdhi Ghuluwwi At Takfir Wa Dzammi Dhalalati Al Irja’. Risalah ini sedang dicetak, alhamdulillah. Di dalamnya digabungkan pula Fatwa Lajnah Da’imah tentang celaan terhadap firqah Murji’ah dan faham Murji’ah.
[4]. Wafatnya guru kami, Syaikh Al Imam Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah ialah pada tanggal 27/1/1420 H
[5]. Sesungguhnya, kufur terbagai menjadi dua. Kufur asghar (kecil), tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam, dan kufur akbar (besar), mengeluarkan pelakunya dari Islam. Kufur akbar ini ada beberapa macam, yaitu: menghalalkan (terhadap perkara yang jelas haramnya, Red.), penolakan, pengingkaran, pendustaan (menolak untuk percaya), munafik, dan ragu-ragu (terhadap kebenaran yang sudah jelas, Red.). Dalam hal ini ada beberapa sebab yang dapat menjerumuskan ke dalam kufur akbar itu. Yaitu sebab-sebab yang berupa perkataan, perbuatan dan keyakinan.
[6]. Pada perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa XIV/118 terdapat penjelasan tentang syarat-syarat itu. Beliau rahimahullah , berkaitan dengan hukum orang yang berbicara tentang kekafiran, telah mengatakan: “Adapun bila orang tersebut: (1) mengetahui atau memahami apa yang diucapkannya, maka bila ia (2) dengan senang hati (tidak terpaksa) dan (3) sengaja dalam mengucapkan apa yang dikatakannya; maka inilah yang perkataannya terhitung ……” (maksudnya, pengkafiran terhadap orang itu dapat dianggap). Saya (Syaikh Ali Hasan) berkata,”Sebagai kebalikannya adalah penghalang-penghalangnya.”
[7]. Jadi kegembiraan yang luar biasa itulah yang menjadi sebab adanya penghalang yang menghalangi hukum kafir terhadapnya, yaitu : ketidak sengajaan. Maksudnya, ia tidak bermaksud melakukan kekafiran. Perhatikanlah ini hendaknya. Jika tidak, sesungguhnya orang yang sengaja –dan tanpa ada unsur paksaan- mengucapkan perkataan sejenis yang dapat menyebabkan kekafiran –yaitu yang sama sekali berlawanan dengan keimanan dari segala sisi-, baik secara ucapan maupun secara perbuatan, misalnya : mencaci Allah atau RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam atau yang semisalnya, maka orang ini kafir, keluar dari agama. Murtad.
[8]. Yaitu para penguasa muslim –semoga Allah memperbaiki negara dan hamba Allah- melalui tangan mereka. Tentang dalil yang dijadikan hujjah oleh orang-orang yang menyimpang untuk mengkafirkan para penguasa secara total, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآأَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir. [Al Ma’idah:44].

Maka tidak ada jawaban mencakup yang lebih indah daripada perkataan Imam Ahmad rahimahullah. (Beliau berkata): “ (Maksud ayat itu ialah), kufur yang tidak mengeluarkan dari agama. Seperti halnya iman, sebagiannya lebih rendah dari sebagian yang lain (bertingkat-tingkat, Red), demikian pula kufur. Sampai akhirnya datang suatu bukti yang tidak diperselisihkan lagi di dalamnya”. (Termuat dalam) Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam VII/254.