Rabu, 27 November 2013
Minggu, 24 November 2013
Gadis Palasik
Cerpen Setiawan Chogah
(Story Magz edisi 25 Sept-24 Okt 2012)
Nayra, di sini sudah pukul 3:08 AM. Begitu angka yang tertera di sudut
kanan komputer lipatku. Aku masih menatap panjang pada satu-satunya
fotomu yang berhasil aku simpan sampai sekarang. Foto yang aku scan
untuk berjaga-jaga agar tak kembali hilang, dan sudah beberapa tahun ini
setia menjadi wallpaper laptopku. Tapi apakah kamu tahu? Bukan aku
namanya kalau sudah tertidur pulas di saat malam yang sudah terlanjur
pekat ini. Aku sendiri bingung, bagaimana bisa aku mengidap insomnia
tingkat dewa seperti ini. Padahal, kalau melihat garis keturunanku,
tidak satu pun dari mereka yang punya sejarah susah tidur. Tapi tunggu,
aku lupa, bukankah insomnia itu tidak tergolong penyakit? Apalagi
penyakit turunan. Ah, aku tidak peduli insomnia itu penyakit atau bukan,
yang pasti kebiasaan susah tidur ini sangat membuat aku tersiksa.
Sangat sangat tersiksa.
Apakah kamu juga tahu, Nay? Beberapa hari ini aku kembali berpikir lebih
jauh tentang hubungan kita. Tentang janji-janji yang pernah kita ucap.
Ah, mengingat soal janji, pikiranku langsung melayang mundur ke waktu
empat tahun yang lalu itu. Kamu masih ingat kan? Kita pernah berucap
janji kalau cinta ini akan kita bawa sampai mati. Janji yang mungkin
terlalu ekstrim untuk kita ulang merapalnya saat ini. Wajar saja, Nay,
waktu itu kita begitu dikuasi oleh perasaan yang namanya cinta. Cinta!
Kolaborasi lima huruf keramat itu sungguh melenakan kita saat itu. Aku
yakin, Fillicium decipiens[1] yang tumbuh di samping Istano Pagaruyuang
itu masih menyimpan nama kita berdua, yang kita ukir dalam bingkai
bergambar hati. Ah, bahasaku terlalu ilmiah, ya, Nay? Hehehe. Maklum
sajalah, Nay. Anggap saja itu sebagai pertanda kalau aku masih seperti
diriku yang dulu. Tidak ada yang berubah dengan aku, Nayra, tidak ada!
Yang berubah itu hanya jalan cerita cinta kita.
Nay, apakah kamu pernah berpikir bahwa hubungan kita akan menjadi
serumit ini? Tidak kan, Nay? Sama, aku juga tidak pernah berpikir
seperti itu. Tidak pernah terlintas di anterior[2]-ku kalau di zaman
yang moderen ini kita masih saja menjadi korban dari cerita-cerita kuno
leluhur kita. Apakah mereka tidak sadar kalau di luar sana orang-orang
sudah begitu maju? Mereka tidak tahu kalau di dunia ini ada yang namanya
dunia maya, setiap orang punya yang namanya facebook dan twitter,
sementara mereka menggunakan handphone saja tidak mau. Mereka! Ya mereka
Nay, orangtua kita.
Kalau soal anti terhadap teknologi itu aku masih bisa memaklumi. Tapi
kalau sudah membawa hal-hal mistis dalam mengekang hubungan kita, itu
yang tidak bisa aku tolerir.
Palasik! Kata itu yang membuat aku susah tidur sebenarnya, Nay. Mengapa
harus ada kata itu? Mengapa kita harus ikut menanggung kutuk akibat
kesalahan yang dilakukan leluhur kita? Aku masih menyimpan adegan yang
sungguh membuat hatiku terasa dicabik-cabik.
Siang itu, aku baru saja sampai di dangau[3] sepulang dari sekolah. Tapi
yang aku dapatkan bukanlah ketenangan. Aku mendapati wajah ibu yang
memerah macam butiran saga.
“Benar kau berpacaran dengan anaknya si Samsidar itu?” ibu langsung
menginterogasiku. Aku tidak menjawabnya. Sengaja aku siapkan jawaban
sebagus dan setepat mungkin, sebab aku tahu urusannya akan panjang.
“Hanya berteman, Bu. Tidak lebih,” jawabku sembari melepas sepatuku.
“Jauhi dia, Zen! Kau tahu dia bukan dari keturunan baik-baik,” kalimat ibu tiba-tiba saja menjadi begitu tajam.
“Apa salahnya berteman, Bu? Bukankah berteman itu perbuatan yang baik?
Ibu kan yang selalu mengajarkan Zen untuk berbuat baik?” aku membela
diri.
“Ini beda perkara. Kau tahu? Ibu takut dari pertemanan itu kalian
termakan rayuan setan, lalu memutuskan untuk berpacaran. Berucap janji
manis, memadu kasih. Apalagi cara berpacaran anak sekarang sungguh
membuat Ibu tak mengerti.”
Ah, aku tidak mengerti perkataan ibu, kalimatnya begitu berat untuk aku cerna saat itu.
“Ibu tidak mau tahu. Pokoknya kau jauhi anaknya si Samsidar itu!”
***
Jauhi, jauhi, dan jauhi. Kata itu begitu menderaku, Nay. Aku tidak bisa menerima alasan ibu yang aku nilai sangat kolot.
“Memangnya kenapa kalau Zen berpacaran dengan Nayra, Bu? Apa yang
salah?” tanyaku pada ibu suatu hari. Penasaranku sudah tak terbendung
lagi.
Ibu menatap. Sebentar. Menghentikan menampi berasnya, lalu beranjak duduk di sampingku.
“Kau tidak tahu kalau Nayra itu keturunan palasik?” jawaban ibu bagai
petir di siang bolong. Palasik? Seketika anganku melayang. Beberapa
cuplikan adegan menyeramkan silih berganti menyerbu ruang imajinasiku.
Ai, sungguh aku tidak tega menceritakan bagian ini, Nay. Tapi aku
berpikir lagi, akan lebih baik bila kamu tahu apa sesungguhnya yang ada
di pikiranku saat itu. Bukankah sebuah hubungan itu harus dilandasi
dengan kejujuran? Dan aku masih menganggap antara kamu dan aku masih
berhubungan. Walau Jawa dan Sumatera begitu jauh memisahkan kita.
Orang-orang di sini menyebutnya long distance relationship. Hubungan
jarak jauh, tapi aku yakin, sekeping hatiku yang aku titipkan padamu itu
masih kamu simpan, kan, Nay?
Imajinasi. Sebenarnya ini bukan saja bualan dari imajinasi liarku, Nay.
Tapi ini sudah melegenda di ranah kita. Semua orang tahu tentang manusia
penganut ilmu hitam itu. Manusia yang dibutakan oleh keserakahan lalu
menjadi pemuja setan. Palasik yang menjadi ketakutan terbesar bagi
setiap ibu yang mempunyai bayi empat belas bulan. Bagaimana tidak,
palasik begitu masyur dikenal sebagai ilmu hitam yang tak tahu belas
kasih. Di antara kisah-kisah mistis di ranah ini seperti gasiang
tangkurak, cindaku, sijundai, sampai orang bunian, palasik barangkali
yang paling menyeramkan. Menghisap darah balita bahkan janin yang berada
di dalam kandungan ibunya, bukankah itu sangat sadis? Oh, aku lemas
sekali Nay, membayangkan sekiranya ilmu itu nyata adanya.
Dan apakah kamu tahu? Bahwa palasik begitu misterius dan bermain sangat
halus dalam mengaplikasikan ilmu bejatnya. Tak kuasa aku
membayangkannya. Aku hanya bergidik dengan bulu punggung yang berdiri
ketika ibu berkisah tentang cara palasik mencari mangsa. Menghisap darah
bayi melalui ujung jempol kaki, lebih halus lagi dengan berpura-pura
manjujai[4] dan menyapa anak tak berdosa itu lalu ketika si ibunya
lengah, palasik menatap dalam-dalam mangsanya, lalu habislah darah anak
kecil tak bersalah itu, Nay. Jika seorang palasik berhasil melakukan
niat bejatnya, maka si anak yang jadi mangsanya akan mengalami panas
tinggi, kejang-kejang, muntah, diare yang tak berkesudahan, lalu malang
tak dapat lagi ditolak, kematianlah yang akan datang selanjutnya. Itu
kisah ibu padaku. Entah benar entah salah, yang jelas kisah itu sungguh
tak bisa diterima nalarku saat ini.
Sejujurnya aku tidak mau percaya begitu saja dengan cerita kuno itu.
Beberapa kali juga aku membatah cerita iniak[5] dan ibu tentang palasik.
Aku katakan itu hanya mitos, legenda, dan cerita bohong yang sudah
terlanjur mendarah daging di bangsa kita, orang Minang. Tapi apa yang
diceritakan iniak selanjutnya sungguh memuat bulu kudukku merinding.
“Niak, sebenarnya apa iniak percaya kalau palasik itu ada?” aku mengusik
wanita basebo[6] yang waktu itu tengah sibuk memilih ata di tampian
beras.
Lalu mengalirlah sebuah kisah dari mulut iniak, yang membuat aku ternganga.
Idris, anaknya Etek[7] Sipah, warga kampuang tangah, beberapa rumah dari
dangauku. Bayi yang baru satu tahun melihat dunia itu harus pergi untuk
selamanya. Ya, dia meninggal dunia, Nay. Dari bisik-bisik orang di
kedai kopi, juga bahan cerita ibu-ibu di sawah, bahwasanya Idris yang
malang itu menjadi korban palasik. Tapi aku tidak mau menyakini cerita
bohong itu. Kamu tahu kenapa, Nay? Itu semata-mata aku ingin membuktikan
kalau palasik itu tidak ada. Kamu dan aku sama, Nay. Kita berhak untuk
menjaga anugerah cinta ini. Bukankah kita sama-sama ciptaan-Nya? Ya kan,
Nay?
Aku mendatangi rumah rumah Etek Sipah keesokan harinya, turut berduka
atas kepergian anak semata wayangnya itu. Sedih betul aku melihat wajah
muram perempuan itu, Nay. Aku dapat merasakan betapa nelangsanya dia
saat itu. Ketika buah hati yang sudah lama dinanti, lalu harus pergi
dengan cara-cara yang tidak wajar. Kalau boleh aku berkata jujur,
ketakutan yang sama yang aku rasakan sekiranya aku harus dipaksa untuk
berpisah denganmu, Nayra. Aku membayangkan kesedihaanku akan melebihi
sedihnya Etek Sipah. Entah mengapa, saat itu, rasa sayangku padamu
semakin hari semakin maha saja rasanya. Di saat kuncup-kuncup cinta di
antara kita baru saja akan mekar, lalu dipatahkan secara paksa, aduhai,
sungguh aku tak siap untuk itu, Nayra.
“Malang sekali dia, Zen. Padahal, sebelumya Idris anak etek itu sangat
sehat. Belum pernah sekali pun dia merengek sakit. Malam itu tiba-tiba
saja badannya panas tak terkira, lalu muntah-muntah.”
“Etek tidak membawanya ke rumah sakit?” selidikku.
“Sudah, Zen. Etek sudah bawa dia ke rumah sakit. Lima hari dia diopname.
Namun kondisinya tak jua kunjung membaik. Malah semakin parah. Etek tak
kuasa melihat badannya yang berisi itu menjadi kurus dalam beberapa
hari saja. Pemandangan selang-selang infus dan makanan yang dipasang di
tubuh mungilnya membuat etek tak kuasa menahan tangis, membayangkan
betapa menderitanya dia, Zen.” Etek Sipah berbata-bata lalu isaknya
benar-benar pecah.
“Kata dokter Dek Idris sakit apa, Tek?” selidikku lagi.
“Dokter tidak tahu namanya penyakitnya apa. Etek juga dibuat bingung.
Panas di badannya begitu tiba-tiba sepulang kami dari desa subarang.”
Desa subarang. Itulah yang menjadi kunci cerita itu, Nay. Desa subarang
yang dikenal sebagai sarangnya palasik. Desa subarang, desa dimana
rumahmu berada.
***
Cerita menyeramkan itu sudah berlalu lima tahun lamanya. Aku berharap
lima tahun cukup membuat kisah itu lenyap dari ranah kita. Aku ingin
orang-orang di kampung kita berpikir maju seperti orang-orang di kotaku
menuntut ilmu.
Ah, tak terasa sudah lima tahun juga kita tak bertemu. Sungguh aku rindu
kamu, Nayra. Aku ingin kembali merajut jalinan cinta kita yang pernah
direnggut diputus. Aku dikirim kuliah ke Bandung, sementara kamu tidak
diizinkan kelurgamu untuk kuliah di luar pulau. Ah, jangankan luar
pulau, keluar kota saja kamu tidak mendapat izin. Tapi itu tidak menjadi
persoalan bagiku. Di satu sisi aku senang, itu artinya kamu masih setia
pada ranah kita, Nay, dan semoga saja masih setia denganku juga.
Semoga. Sebenarnya bisa saja kita berhubungan via telepon kan? Tarif
sellular begitu murah saat ini. Aku kita bisa bersenda gurau di jejaring
sosial Facebook, saling mention dan retweet di Twitter. Tapi itu tidak
pernah ada. Kamu terlalu menurut dengan orangtuamu. Kamu gadis yang
sangat patuh, dan itu salah satu alasan mengapa sampai saat ini aku
tidak bisa berpaling ke lain hati.
***
Kepulanganku ke luhak nan tuo[8] membawa harap yang begitu besar. Harap
ingin bertemu kamu, harap mendapat restu dari orang tua kita, dan harap
kembali menjalin cinta yang sempat terputus. Aku yakin kamu pasti
semakin cantik dan memesona, Nay. Rambutmu yang hitam panjang bak mayang
terurai itu, bibir serupa asam seulas, atau pipimu yang bagai pauh
dilayang selalu saja menari-nari di sepanjang perjalananku ke Padang.
Mengingatmu membuat Bandung tak lagi jadi indah. Megahnya gedung sate
tak semegah sinar matamu, Braga pun tak sempat lagi terlintas di
benakku, hanya kamu yang aku mau saat ini. Kamu, Nayra!
***
Aku bahagia tak terkira. Akhirnya aku dan kamu dapat kembali berjumpa,
di sini. Di bawah pohon kiara payung yang batangnya pernah kita ukir
dengan aksara nama kita. Zendri Love Nayra; tiga kata itu masih ada,
Nay. Beberapa kali jari-jari kita saling bersentuhan ketika menelusuri
setiap lekukan huruf yang terukir di batang pohon.
Aku dapat merasakan desiran darahmu ketika jari-jari kita saling beradu.
Atau ketika bayanganmu jatuh di retinaku saat kita saling bersitatap.
Benar dugaanku, kamu semakin anggun, Nay. Juga terlihat lebih dewasa,
sekarang. Dewasa? Ahh, aku lupa parameter apa yang bisa aku jadikan
indikator untuk sebuah kedewasaan. Menunggu orang tua kita merestui
hubungan ini? Mungkin itu salah satunya.
“Akhirnya Uda[9] pulang juga,” bibir asam seulas itu bergetar pelan,
sementara bola matamu berputar-putar menyiratkan rasa canggung.
“Kamu tidak rindu aku?” godaku.
Kamu tidak menjawab, tapi dari gerak-gerikmu yang malu-malu aku sudah
dapat membacanya, kalau di hatimu masih ada namaku. Dan percayalah, di
hati ini juga masih kuukir namamu dengan begitu indah.
“Aku pulang untuk kamu, Nay. Untuk kita.”
Matamu menatapku. Begitu teduh. Lalu senyum tipis kembali menyungging di
bibir kita, menerjemahkan gejolak rindu ke dalam rona bahagia. Ah
Nayra. Kebahagiaan ini tak mampu aku jabarkan dengan kata-kata. Tapi
izinkanlah aku melabuhkan sebuah kecupan sayang di keningmu. Aku mohon.
Tapi apa yang terjadi di detik selanjutnya benar-benar membuat darahku
terkesiap, berdesir hebat. Kamu menjadi kaku dengan tatapan panjang.
Sorot mata tajam yang membuat cerita lama kembali terulang. Marahkah
kamu dengan keinginannku, Nay? Apa keinginanku begitu tabu untukmu? Oh
maaf, Nayra. Aku lupa kalau aku tengah berada di ranah yang menjunjung
tinggi kodrat wanita. Mengecup keningmu adalah haram bagiku. Sungguh aku
khilaf.
Kamu masih kaku dalam tatapan panjang. Maafku tak mendapat jawab darimu.
Aku terpenjara dalam perasaan bersalah sekaligus menjadi raja di
dinasti tanyaku tentang tatapan panjangmu. Perlahan aku mengikuti arah
pandangmu yang seperti tak berujung itu, Nay. Lalu aku terpana dalam
keadaan hati yang tertohok. Aku kaku dan lidahku kelu. Matamu berlabuh
dalam pelukan seorang perempuan muda. Kamu tengah khusuk memerhatikan
bayinya. Aku kelimpungan. Jadi, palasik itu benar-benar ada? Entahlah...
(*)
Keterangan:
[1] Fillicium decipiens adalah nama latin dari spesies kiara payung.
[2] Anterior adalah daerah pada lobus frontalis berhubungan dengan kemampuan berpikir.
[3] Rumah
[4] Manjujai adalah bertingkahlaku menarik perhatian bayi dan membuatnya tertawa.
[5] Iniak adalah sebutan untuk nenek dalam tata bahasa masyarakat Batusangkar.
[6] Basebo, menggunakan sebo, yaitu tutup kelapa khas bagi kaum perempuan tua di Batusangkar, Sumatera Barat.
[7] Etek adalah sapaan untuk perempuan paruh baya.
[8] Luhak nan tuo adalah sebutan untuk luhak Tanah Datar, salah satu dari 3 wilayah inti Minangkabau (darek).
[9] Uda adalah panggilan sopan kepada laki-laki yang dianggap lebih tua dalam tata bahasa Minang.
Palasik
menurut cerita, legenda atau kepercayaan orang Minangkabau adalah
sejenis makhluk gaib. Menurut kepercayaan Minangkabau palasik bukanlah
hantu tetapi manusia yang memiliki ilmu hitam tingkat tinggi. Palasik
sangat ditakuti oleh ibu-ibu di di Minangkabau yang memiliki balita
karena makanan palasik adalah anak bayi/balita, baik yang masih dalam
kandungan ataupun yang sudah mati (dikubur), tergantung dari jenis
palasik tersebut.
Ilmu palasik dipercayai sifatnya turun-temurun. Apabila orang tuanya adalah seorang palasik maka anaknya pun akan jadi palasik.
Pada umumnya palasik bekerja dengan melepaskan kepalanya. Ada yang badan nya yang berjalan mencari makan dan ada pula yang kepala.
Jenis-jenis palasik
Jenis palasik ada bermacam-macam. Menurut jenis makanannya palasik dapat dibagi sebagai berikut:
* Yang memakan bayi dalam kandungan sehingga bayi tersebut lahir tanpa ubun-ubun / mati dalam kandungan
* Yang memakan bayi yang masih rapuh sehingga bayi tersebut sering sakit-sakitan / meninggal
* Yang memakan mayat bayi yang sudah dikubur
Palasik yang lepas kepalanya disebut Palasik Kuduang. Kuduang artinya terpotong atau buntung. Buntung dalam bahas Minang adalah “kuduang”.
Ini ada sepenggal cerita tentang Palasik....
Andi begitu bahagia ketika tangis bayi melengking dari balik bilik di sebuah klinik. Yah istrinya yang baru saja berjuang hidup mati, telah melahirkan anak pertamanya. Tapi, kebahagiaan itu seketika sirna, setelah setahun kemudian anaknya mengalami sakit, sesaat setelah seorang wanita tua menyapa.
Kalau seorang bayi sakit merupakan hal yang wajar. Daya tahan tubuh yang belum stabil menjadi salau satu pemicunya. Tapi itu tak berlangsung lama, setelah dibawa ke dokter, tak sampai 1 minggu bayi akan sembuh. Tapi yang dialami anak Andi tak begitu. Sakit yang diderita anaknya tak kunjung sembuh setelah 1 bulan. Tak hanya dokter, orang pintar dan tabib pun dikunjunginya, namun penyakit yang diderita sang anak tak jua sembuh.
Suhu badan anaknya tinggi, badan menjadi kurus, kulit mengeriput dan terus mengeluarkan kotoran dari matanya. Cukup menyedihkan. Sementara dokter yang menanganinya sudah angkat tangan untuk mengobatinya. Akhirnya, dengan kondisi lemah, anaknya meninggal dunia. Menurut para tetangga dimana tempat Andi menetap, anaknya terkena palasik.
Palasik sangat tenar di masyarakat Minang Kabau, Sumatera Barat. Masyarakatnya meyakini, bayi yang terkena palasik sangat sulit diobati, namun bukan tak ada penangkalnya.
Palasik merupakan sebutan seorang kanibal, yang memiliki kegemaran memakan daging dan tulang orang mati. Wujudnya seperti manusia biasa, hanya saja memiliki perangai yang aneh.
Menurut kepercayaan masyarakat, jika seorang wanita yang sedang menggendong bayi bertemu dengan palasik, sebaiknya jangan dijauhi, malah sebaliknya, ambil tangan palasik dan katakan "Ini cucumu atau Ini anakmu". Dan ciri umum palasik, tak memiliki parit di atas bibirnya.
Seorang bayi bisa jatuh sakit, hanya dengan tatapan palasik saja. Dan kalau tidak segera diobati orang pintar, tak tertutup kemungkinan anak tersebut meninggal dunia. Diyakini juga, ketika anak tersebut meninggal dunia, dan kemudian dikubur, palasik akan mencuri anak tersebut untuk disantap.
Dizaman modern seperti sekarang ini ,masih patutkah ilmu palasik dipercayai keberadaannya ? Silahkan beri komentar anda...
Ilmu palasik dipercayai sifatnya turun-temurun. Apabila orang tuanya adalah seorang palasik maka anaknya pun akan jadi palasik.
Pada umumnya palasik bekerja dengan melepaskan kepalanya. Ada yang badan nya yang berjalan mencari makan dan ada pula yang kepala.
Jenis-jenis palasik
Jenis palasik ada bermacam-macam. Menurut jenis makanannya palasik dapat dibagi sebagai berikut:
* Yang memakan bayi dalam kandungan sehingga bayi tersebut lahir tanpa ubun-ubun / mati dalam kandungan
* Yang memakan bayi yang masih rapuh sehingga bayi tersebut sering sakit-sakitan / meninggal
* Yang memakan mayat bayi yang sudah dikubur
Palasik yang lepas kepalanya disebut Palasik Kuduang. Kuduang artinya terpotong atau buntung. Buntung dalam bahas Minang adalah “kuduang”.
Ini ada sepenggal cerita tentang Palasik....
Andi begitu bahagia ketika tangis bayi melengking dari balik bilik di sebuah klinik. Yah istrinya yang baru saja berjuang hidup mati, telah melahirkan anak pertamanya. Tapi, kebahagiaan itu seketika sirna, setelah setahun kemudian anaknya mengalami sakit, sesaat setelah seorang wanita tua menyapa.
Kalau seorang bayi sakit merupakan hal yang wajar. Daya tahan tubuh yang belum stabil menjadi salau satu pemicunya. Tapi itu tak berlangsung lama, setelah dibawa ke dokter, tak sampai 1 minggu bayi akan sembuh. Tapi yang dialami anak Andi tak begitu. Sakit yang diderita anaknya tak kunjung sembuh setelah 1 bulan. Tak hanya dokter, orang pintar dan tabib pun dikunjunginya, namun penyakit yang diderita sang anak tak jua sembuh.
Suhu badan anaknya tinggi, badan menjadi kurus, kulit mengeriput dan terus mengeluarkan kotoran dari matanya. Cukup menyedihkan. Sementara dokter yang menanganinya sudah angkat tangan untuk mengobatinya. Akhirnya, dengan kondisi lemah, anaknya meninggal dunia. Menurut para tetangga dimana tempat Andi menetap, anaknya terkena palasik.
Palasik sangat tenar di masyarakat Minang Kabau, Sumatera Barat. Masyarakatnya meyakini, bayi yang terkena palasik sangat sulit diobati, namun bukan tak ada penangkalnya.
Palasik merupakan sebutan seorang kanibal, yang memiliki kegemaran memakan daging dan tulang orang mati. Wujudnya seperti manusia biasa, hanya saja memiliki perangai yang aneh.
Menurut kepercayaan masyarakat, jika seorang wanita yang sedang menggendong bayi bertemu dengan palasik, sebaiknya jangan dijauhi, malah sebaliknya, ambil tangan palasik dan katakan "Ini cucumu atau Ini anakmu". Dan ciri umum palasik, tak memiliki parit di atas bibirnya.
Seorang bayi bisa jatuh sakit, hanya dengan tatapan palasik saja. Dan kalau tidak segera diobati orang pintar, tak tertutup kemungkinan anak tersebut meninggal dunia. Diyakini juga, ketika anak tersebut meninggal dunia, dan kemudian dikubur, palasik akan mencuri anak tersebut untuk disantap.
Dizaman modern seperti sekarang ini ,masih patutkah ilmu palasik dipercayai keberadaannya ? Silahkan beri komentar anda...
Langganan:
Postingan (Atom)