Oleh
Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz
Sebagian anak muda dan jama’ah dakwah menerapkan matode perjuangan
dengan cara pemboman terhadap bangunan pemerintah atau swasta, dan
pembunuhan terhadap tokoh-tokoh pejabat atau yang lainnya. Mereka
menyatakan bahwa ini termasuk jihad, lalu menghalalkan harta, jiwa serta
melaksanakan amalan jihad menentang pemerintah atau penguasa yang
dianggap kafir, dengan anggapan mendapatkan pahala atas perbuatan
tersebut.
Sudah pasti, fenomena pemboman, pembunuhan dan penculikan tersebut
menimbulkan kekacauan, ketakutan dan ketidak amanan. Serta menyebabkan
orang-orang dalam keadaan takut dan tidak tenang. Karena, orang yang
ingin masuk ke dalam bengunan pemerintah atau selainnya, menjadi takut
bila terjadi peledakan di bangunan tersebut. Jika mengendarai kendaraan,
maka ditakutkan terjadi penculikan, pembunuhan atau peledakan atas
mobilnya. Jika bepergian dengan pesawat, mengkhawatirkan pesawat
tersebut sebelumnya telah direncanakan dibajak atau diledakkan.
Demikianlah, sehingga kehidupanpun berhenti, orang tidak dapat bekerja
dengan lapang dan tenang.
Disini mesti kita pertanyakan, mengapa dibunuh dan diculik? Apakah
karena kekufuran dan kemurtadannya? Atau karena ia telah merampas harta,
kehormatan dan agama? Apakah ia telah diminta bertaubat? Siapa yang
telah memintanya bertaubat? Apakah tidak memungkinkan terjadinya
pembunuhan terhadap orang lain ketika penculikan tersebut? Kemudian apa
maslahat yang dicapai darinya? Dan apakah dibolehkan khianat? Seluruh
pertanyaan ini dan yang lainnya, harus dijawab sebelum melaksanakan
operasi seperti ini.
Syaikh Shalih As Sadlaan menyatakan: "Ketika mereka berangkat membunuh
jiwa-jiwa untuk mewujudkan keinginan mereka, yaitu menyusahkan
pemerintah, lalu mereka menghalalkan darah orang-orang Islam yang masih
memberikan loyalitas kepada pemerintah dan bekerja di departemen
pemerintahan. Terkadang mereka orang-orang Islam yang shalat. Mengapakah
mereka menghalalkan darahnya? Karena pemerintah tersebut tidak berhukum
dengan syari’at Allah?! Karena pemerintah itu berhukum dengan
undang-undang buatan manusia, dan karena pemerintah itu memperbolehkan
keberadaan minuman keras di negerinya dan perzinahan secara
terang-terangan di negerinya?!"[2]
Beliau menyatakan lagi:
Kita bertanya kepada mereka yang melakukan perbuatan seperti ini. Apa
kejahatan mereka? Apa yang mereka dapatkan dari aksi ini? Dan apa hasil
yang dicapai dari pembunuhan jiwa muslim? Padahal dijelaskan dalam
hadits:
لذَهَابُ الدُّنْيَا كلهَا أَهْوَنُ مِنْ سَفْكِ دَمِّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ ِ
"Hancurnya seluruh dunia lebih ringan dari penumpahan darah seorang muslim".[3]
Sungguh mereka yang melakukan perbuatan itu tidak mampu mengukur atau
melihat hasilnya tersebut. Kami mengajak mereka untuk menjelaskan hasil
sejak pertama memberontak kepada pemerintah dan akibat yang terjadi dari
perbuatan merusak, seperti pemboman, pembunuhan dan pembajakan serta
yang sejenisnya. Bukankah hasil yang dirasakan adalah kerusakan dan
madharat yang besar kepada orang umum dan khusus? Sungguh kerusakan yang
dihasilkan akibat manhaj ini jauh lebih besar dari kemaslahatan yang
mereka inginkan, jika disana ada maslahat yang mu’tabar.[4]
Disini ada permasalahan penting, yaitu sebagian orang memandang
perbuatan ini termasuk bagian dari jihad. Dan pelakunya, seperti
pemboman atau pembunuhan tersebut, jika terbunuh maka dianggap syahid di
jalan Allah. Untuk menjelaskan masalah ini, dan apakah termasuk mati
syahid, maka wajib bagi kita untuk mengetahui, apa yang dimaksud mati
syahid di jalan Allah?
Syaikh Abu Bakar Al Jazairi, juru nasihat Masjid Nabawi di Madinah
berkata: “Apabila terjadi, seorang mujahid terbunuh di medan pertempuran
yang terjadi antara kaum muslimin dengan musuhnya, yaitu orang kafir,
maka terdapat dua keadaan. Pertama. Kaum muslimin menyerang negeri kafir
untuk memasukkan penduduknya ke dalam rahmat Allah, yaitu Islam agama
Allah dan kebahagian dunia akhirat. Kedua. Orang kafir menyerang negeri
kaum muslimin, seperti perang Uhud, lalu kaum muslimin melawannya,
sehingga orang yang gugur dalam perang tersebut sebagai orang yang mati
syahid.
Maka yang kedua ini seperti yang pertama, yaitu menurut syari’at
termasuk mati syahid, sehingga tidak dimandikan, tidak dikafani dan
tidak dishalatkan, serta dikuburkan bersama darah dan pakaiannya
tersebut. Di sisi Allah, mereka ini hidup dan tidak mati, berdasarkan
firmanNya, yang artinya: "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang
gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya
dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia
Allah yang diberikanNya kepada mereka". [Ali Imran :169, 170].
Disana terdapat satu syarat yang harus ada pada kedua keadaan tersebut.
Yaitu, peperangan tersebut harus dengan izin imam kaum muslimin dan di
bawah panji penglima mereka. Seandainya seorang muslim berperang
sendirian, atau bersama beberapa orang tanpa izin imam kaum muslimin,
maka peperangan tersebut batil. Jika ia mati, maka tidak dianggap syahid
selamanya. Hal itu karena kurangnya syarat, (yakni) izin imam tersebut.
Apalagi jika disana terdapat perjanjian damai antara kaum muslimin
dengan orang-orang kafir tersebut untuk gencatan senjata dan tidak
saling mengganggu.
Dari sini, maka pembunuhan dan pemboman yang membunuh anak kecil, orang
tua, laki-laki atau perempuan yang dilakukan sebagian pemuda Islam di
negeri kaum muslimin, dan dilakukan dengan membawa syi’ar jihad dan
memerangi orang zhalim yang tidak berhukum dengan hukum Islam, serta
menuntut penerapan hukum Islam dan menegakkan pemerintahan Islam,
semuanya adalah amalan yang batil dan rusak. Sama sekali tidak bisa
dibenarkan penisbatannya kepada Islam, syari’at Allah dan agamaNya yang
benar. Demikian juga, serorang muslim tidak dibolehkan membenarkan dan
mendukungnya, meskipun dengan satu kata atau satu dirham. Itu semua
hanyalah kezhaliman, kejelekan dan kerusakan di muka bumi ini.
Lebih dari itu -demi Allah- sama sekali tidak akan menumbuhkan kebaikan,
apalagi mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islami. Kenyataan telah
membuktikannya. Karena jalan mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan
Islamiyah, ialah dengan cara masyarakat dan umat ini menyerahkan dan
menghadapkan hati dan wajah mereka kepada Allah, sehingga hati dan jiwa
mereka menjadi suci, terwujud persatuan dan lurusnya perkara mereka. Hal
ini tampak pada kebangkitan mereka melaksanakan kewajiban, meninggalkan
yang haram, memenuhi cahaya ilmu Ilahi pada diri mereka dan seluruh
aspek kehidupan mereka.
Wahai hamba Allah! Inilah jalan menuju penerapan hukum Islam dan mewujudkan pemerintahan Islami.
Pandangan selayang kepada sirah (sejarah) Rasulullah dan sahabatnya
mendukung hakikat ini dan mengharuskannya. Sungguh, Nabi n menghabiskan
13 tahun di Mekkah setelah kenabiannya, dengan merasakan gangguan,
penentangan dan kecongkakan orang-orang musyrik. Tidak pernah sekalipun
Beliau mengatakan kepada salah seorang sahabatnya “Culik fulan!” atau
“Bunuh fulan”. Lalu Beliau berhijrah membawa agama dan dirinya ke
Madinah, tinggal dan menetap disana. Dan tidak pernah memerintahkan
seseorang dari sahabatnya untuk membunuh atau menculik seorang dari
musuhnya, sampai turun perintah Allah untuk itu dalam firmanNya, yang
artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena sesungguhnaya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah,
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Al Hajj:39). Itu setelah
terbentuk satu umat di bawah kepemimpinan Beliau yang bijaksana.
Ini hukum umum. Hendaklah kaum muslimin mengetahuinya, khususnya para
ulama mereka yang memilih bolehnya hukum pengeboman dan penculikan ini,
dan perbuatan yang menghasilkan pertumpahan jiwa, dan terpenuhinya
penjara-penjara serta kejadian-kejadian yang mencoret Islam dengan aib
dan kejelekan. Islam berlepas diri dari itu semua”.[5]
Demikianlah mati syahid di jalan Allah, sebagaimana dijelaskan Syaikh
Abu Bakar Al Jazairi. Tidaklah ada setelah kebenaran, kecuali kesesatan!
Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya: Apakah gerakan bawah tanah
disyari’atkan dalam Islam? Khususnya di negeri yang Islam dan kaum
muslimin ditekan?
Beliau menjawab: “Allah berfirman, yang artinya: Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al Baqarah : 286) dan
: Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (At
Taghabun : 16).
Kaum muslimin dengan para musuhnya, memiliki dua keadaan. Pertama. Kaum
muslimin tidak memiliki negara yang melindungi mereka dan tidak memiliki
kekuatan yang membela mereka dari para musuhnya. Pada keadaan seperti
ini, wajib bagi kaum muslimin berdakwah kepada Allah dan menjelaskan
Islam dengan lisan saja, sebagaimana keadaan kaum muslimin bersama Nabi
di Makkah sebelum hijrah. Dalam keadaan seperti ini, mereka tidak boleh
melakukan penculikan dan gerakan bawah tanah yang menyeret kepada
kemudharatan dan dijajah musuh. Karena, mudharat penculikan dan gerakan
bawah tanah ini lebih besar dari kemaslahatannya. Kedua. Kaum muslimin
memiliki negara dan kekuatan serta kemampuan. Dalam keadan seperti ini,
diwajibkan atas mereka dua hal, yaitu berdakwah dan jihad di jalan Allah
tanpa dusta dan khianat, seperti keadaan Nabi dan kaum muslimin setelah
hijrah ke Madinah.
Pembagian yang saya sampaikan ini diambil dari sirah (sejarah) Nabi
bersama kaum kafir. Beliau merupakan contoh teladan bagi kaum muslimin
sampai hari kiamat, sebagaimana firman Allah, yang artinya: Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [Al Ahzab:21].
Sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk berhijrah dari negeri kafir
ke negeri kaum muslimin jika memungkinkannya. Apabila tidak mungkin,
maka ke negeri kafir yang lebih ringan bahayanya terhadap agamanya,
sedapat mungkin dalam rangka mempertahankan agamanya”.[6]
CONTOH SEBAGIAN PERUSAKAN DAN HUKUMNYA
Berikut ini kami jelaskan sebagian contoh operasi perusakan yang kita
saksikan dan kita dengar setiap hari melalui alat komunikasi, dengan
menjelaskan hukumnya dan pendapat para ulama dalam masalah tersebut.
1. Pembunuhan Duta Besar dan Korp Diplomatik.
Tidak boleh membunuh atau merampas harta para duta besar dan korp
diplomatik bila masuk ke negara Islam dengan perjanjian keamanan.
Dalam masalah ini, Imam Ibnu Qudamah berkata : “Jika seorang kafir harbi
masuk ke negeri Islam dengan perjanjian keamanan, lalu menyimpan
hartanya kepada seorang muslim, atau seorang ahli dzimmah, atau
menghutangkan keduanya, kemudian ia kembali ke negara kafir harbi, maka
kita lihat, jika ia masuk sebagai pedagang atau utusan (delegasi) atau
wisata atau karena hajat kebutuhan yang ia tunaikan, kemudian kembali ke
negara Islam, maka ia aman dalam jiwa dan hartanya, karena ia tidak
keluar demikian dari niat tinggal di negeri Islam, sehingga disamakan
dengan ahli dzimmah, jika masuk negeri dengan sebab tersebut.
Seorang duta besar atau delegasi, seperti mukmin, baik ia membawa
risalah atau berjalan diantara dua kelompok yang berperang untuk
perdamaian, atau berusaha menghentikan peperangan dalam waktu yang
memungkinkan untuk memindahkan orang yang terluka dan terbunuh, atau
karena tugas-tugasnya sebagai diplomatik, dan juga pada orang yang
melaksanakan sesuatu dengan nama diplomatik dalam istilah modern.
Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan hadits Nu’aim bin Mas’ud, bahwa Rasulullah berkata kepada utusan (delegasi) Musailamah :
لَوْلَا أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ لَضَرَبْتُ أَعْنَاقَكُمَا
"Seandainya para utusan (delegasi) boleh dibunuh, tentulah aku akan memotong leher kalian berdua".[7]
Rasulullah, setelah membaca surat Musailamah, berkata kepada kedua utusan tersebut:
مَا تَقُولَانِ أَنْتُمَا قَالَا نَقُولُ كَمَا قَالَ
"Apa pendapat kalian berdua?” Keduanya menjawab: “Kami berpendapat
sebagaimana yang ia sampaikan”. Maksudnya, kedua utusan itu mengakui
kenabian Musailamah Al Kadzab.
Ketika kaum Quraisy mengutus Abu Rafi’ kepada Rasulullah, lalu masuklah iman ke hatinya, maka ia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي وَاللَّهِ لَا أَرْجِعُ إِلَيْهِمْ وَ أَبْقَى
مَعَكُمْ مُسْلِمًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنِّي لَا أَخِيسُ بِالْعَهْدِ وَلَا أَحْبِسُ الْبُرُدَ
فَارْجِعْ إِلَيْهِمْ آمِيْنًا فَإِنْ وَجَدْتَ بَعْدَ ذَلِكَ فِي قَلْبِكَ
مَا فِيْهِ الْآنَ فَارْجِعْ إِلَيْنَا
"Wahai, Rasulullah. Saya tidak ingin kembali, dan ingin tinggal bersama
kalian sebagai muslim”. Lalu Rasulullah bersabda, “Saya tidak akan
melanggar perjanjian, dan tidak akan menahan utusan (delegasi). Maka
kembalilah kepada mereka dalam keadaan aman. Jika kamu dapati setelah
itu di hatimu apa yang ada sekarang, maka kembalilah kepada kami." [8]
Dalam kitab Al Kharaj, karya Abu Yusuf dan kitab As Siyar Al Kabir,
karya Muhammad, terdapat pernyataan: Apabila utusan tersebut memiliki
persyaratan, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menunaikannya dan
mereka tidak dibenarkan berkhianat terhadap utusan musuh. Meskipun orang
kafir membunuhi tawanan muslim yang ditahan mereka, maka utusan mereka
tidak boleh dibunuh, dengan dasar sabda Rasulullah:
وَفَاءٌ بِغَدَرٍ خَيْرٌ مِنْ غَدَرٍ بِغَدَرٍ
"Menunaikan sesuatu yang orang lain mengkhianati, lebih baik dari mengkhianati karena dikhianati".
Ibnu Qudamah berkata: “Jika orang yang mendapat keamanan (dari kaum
muslimin) di negeri Islam mencuri atau membunuh atau merampok, kemudian
kembali ke negaranya di negeri kafir, kemudian pulang kembali dalam
keadaan mendapatkan keamanan kedua kali, maka ditunaikan apa yang
menjadi keharusannya pada keamanan yang awal”.[9]
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya : Apakah diangap membunuh para tokoh negara
dan selainnya termasuk khianat? Apakah boleh membunuh orang kafir?
Beliau menjawab: “Tidak boleh membunuh orang yang diberi keamanan
(musta’man) atau mu’ahid (yang punya perjanjian keamanan) atau ahli
dzimah, apalagi seorang muslim. Telah dijelaskan dalam satu hadits:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يُرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
"Barangsiapa yang membunuh mu’ahid, tidak akan mencium bau syurga".[10]
Jika yang dimaksud kepala negara atau pejabat tinggi, maka dosanya lebih
besar. Hal itu karena sudah pasti, yaitu seperti kepala satu perusahan
yang besar atau yayasan, sehingga pembunuhannya menimbulkan kerugian
terhadap negara. Jika seandainya ia berbuat sesuatu yang mengganggu,
maka hal itu dilaporkan kepada mahkamah syari’at untuk diterapkan
padanya hukum Allah”.[11]
2. Pembajakan Pesawat Dan Kapal Laut Serta Penyanderaan.
Ini salah satu terorisme dan mengikuti langkah orang-orang jahat, ketika
menjadikan orang-orang yang tidak berdosa sebagai perisai dan
menyerahkan jiwa-jiwa mereka kepada bahaya, baik mereka itu laki-laki
atau perempuan, besar atau kecil, dari kaum muslimin atau orang yang
tidak boleh dibunuh. Dalam perbuatan ini terdapat tipuan yang tercela
dan merusak keamanan, menghancurkan kemaslahatan negara dan manusia.
Pada umumnya, perbuatan ini tidak menghasilkan kemaslahatan yang
berarti. Karena itu, kita memandangnya sebagai sesuatu yang terlarang
dan kejahatan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
عُذِّبَتْ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ حَبَسَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ
فِيهَا النَّارَ قِيْلَ لهَا لَا أَنْتِ أَطْعَمْتِهَا وَلَا سَقَيْتِهَا
حِينَ حَبَسْتِيهَا وَلَا أَنْتِ أَرْسَلْتِهَا فَأَكَلَتْ مِنْ خَشَاشِ
الْأَرْضِ
"Seorang wanita diadzab karena kucing yang ia kurung sampai mati, lalu
ia masuk neraka karena itu. Dikatakan kepadanya: Tidak kamu beri makan
dan minum ketika kamu mengurungnya, dan tidak pula kamu lepas sehingga
makan dari serangga tanah".[12]
Perbuatan wanita ini menunjukkan kekerasan hati dan hilangnya rahmat
darinya. Sedangkan rahmat tidak hilang, kecuali dari hati orang yang
celaka. Perbuatan mereka, tidak lebih baik dari perbuatan wanita
tersebut.
Sebaliknya dari kisah di atas, terdapat riwayatkan Al Bukhari dari hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَنَزَلَ بِئْرًا
فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ
الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي
بَلَغَ بِي فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقِيَ
فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا قَالَ فِي كُلِّ
كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
"Ketika seseorang berjalan, lalu merasa sangat dahaga. Kemudian ia turun
ke satu sumur dan minum darinya, kemudian keluar. Tiba-tiba ada seekor
anjing menjulurkan lidahnya makan tanah karena kehausan. Lalu ia
berkata: “Sungguh anjing ini telah tertimpa seperti yang menimpaku,”
maka ia memenuhi khuf (kaus kaki kulitnya), kemudian ia gigit dengan
mulutnya, kemudian naik dan memberi minum anjing tersebut. Kemudian
Allah menerima amalannya sehingga mengampuninya. Maka para sahabat
bertanya: “Wahai, Rasulullah! Apakah kami akan mendapat pahala dari
binatang?” Beliau menjawab,”Setiap (memberi minum) makhluk hidup, ada
pahalanya." [13]
Wahai, orang yang berakal! Ambillah pelajaran dari semua ini.[14]
Syaikh Ibnu Baz berkata: “Sudah dimaklumi, semua orang yang mempunyai
pengetahuan, bahwa pembajakan pesawat dan menghalangi manusia dari
bepergian dan lain-lainnya termasuk kejahatan besar dunia yang
mengakibatkan kerusakan besar, kemadharatan yang banyak, mengorbankan
orang yang tidak berdosa, dan sangat mengganggu mereka.
Sebagaimana telah dimaklumi, madharat dan keburukan kejahatan ini tidak
hanya menimpa satu negara saja dan satu kelompok saja, melainkan juga
menimpa seluruh dunia. Sudah pasti, demikianlah akibat kejahatan ini.
Maka wajib bagi pemerintah dan para pemimpin dari kalangan para ulama
dan yang lainnya, agar memberikan perhatian serius dan mengeluarkan
segala kekuatan untuk menghentikan kejelekan kejahatan ini dan
menghancurkannya.
Allah telah menurunkan kitabNya yang mulia sebagai penjelas segala
sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin, dan
mengutus NabiNya Muhammad sebagai rahmat bagi alam semesta, hujjah atas
hamba-hambaNya. Allah juga mewajibkan seluruh jin dan manusia untuk
berhukum dan mengembalikan hukum kepada syari’at Muhammad, serta
mengembalikan perselisihan kepada KitabNya dan Sunnah RasulNya Muhammad,
sebagaimana firmanNya, yang artinya: Maka demi Rabb-mu, mereka (pada
hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya. (An Nisa’:65), dan firmanNya, yang
artinya: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum)
siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin?
(Al Maidah:50), serta firmanNya, yang artinya: Hai orang-orang yang
beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(Nya), dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An
Nisa’:59).
Para ulama bersepakat, makna mengembalikan kepada Allah, adalah kembali
kepada KitabNya yang mulia, dan mengembalikan kepada RasulNya, yaitu
kembali kepada Beliau n pada masa hidupnya dan kepada Sunnah Beliau yang
shahih setelah wafatnya.
Demikian juga Allah befirman, yang artinya: Tentang sesuatu apapun kamu
berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Asy Syura:10).
Seluruh ayat di atas dan yang semakna dengannya menunjukkan wajibnya
mengembalikan perselisihan manusia kepada Allah dan RasulNya. Hal itu
dengan merujuk kepada hukum Allah dan menghindari semua yang
menyelisihinya dalam semua perkara. Yang terpenting lagi seperti perkara
yang madharat dan kejelakannya bersifat umum, seperti pembajakan.
Sudah menjadi kewajiban bagi negara yang berhasil menangkap para
pembajak untuk menghukum mereka dengan syari’at Allah, karena akibat
yang ditimbulkan kejahatan besar mereka berupa hak-hak Allah dan
hambaNya, madharat yang banyak dan kerusakan yang besar. Tidak ada
solusi yang dapat menghancurkan dan menghentikan keburukannya, kecuali
yang ditetapkan Allah dalam KitabNya dan yang disampaikan oleh
sebaik-baik makhluk, Nabi Muhammad n . Itulah solusi yang wajib difahami
oleh para pembajak, korban pembajak dan orang yang memiliki hubungan
dengan mereka serta lainnya. Demikian juga, jika mereka mukmin,
hendaknya berlapang dada dengan hukum tersebut. Apabila mereka bukan
kaum mukminin, maka Allah telah memerintahkan NabiNya untuk menerapkan
hukum pada mereka, sebagaimana firman Allah, yang artinya: dan hendaklah
kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. ( Al Maidah :
49), dan firmanNya, yang artinya : Dan jika kamu memutuskan perkara
mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil. (Al
Maidah:42).
Berdasarkan keterangan di atas, maka wajib atas negara tempat beradanya
para pembajak membentuk komisi yang terdiri dari para ulama syari’at
Islam untuk meneliti perkara ini dan mempelajari aspek-aspeknya, serta
hukum syari’atnya. Para ulama tersebut memiliki kewajiban untuk
menghukumi perkara ini sesuai dengan dalil Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah, dan memperhatikan penjelasan para ulama tentang ayat
muharabah (ayat tentang hukuman bagi pelaku kerusakan di bumi, seperti
perampok dll.) dari surat Al Maidah, juga penjelasan para ulama dalam
seluruh madzhab dalam bab hukmu qutha’ ath thariq, kemudian mengeluarkan
hukum yang dikuatkan dengan dalil-dalil syari’at.
Sedangkan pemerintah (penguasa) yang menjadi tempat berlindung para
pembajak, berkewajiban menerapkan hukum syar’i karena taat kepada Allah,
mengagungkan perintahNya menerapkan syari’atNya, menghapus kejahatan
besar, semangat memberi keamanan dan merahmati korban pembajakan serta
menenangkan mereka.
Adapun undang-undang yang dibuat manusia tentang hal itu tanpa bersandar
kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, maka semuanya merupakan
buatan manusia, dan orang Islam tidak boleh berhukum dengannya.
Sebagiannya tidak lebih baik dari yang lainnya untuk dijadikan hukum,
karena semuanya termasuk hukum jahiliyah dan hukum thaghut, yang Allah
peringatkan dan nasabkan kepada orang munafik yang senang berhukum
kepadanya, sebagaimana firman Allah, yang artinya : Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa
yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu.
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah
mengingkari thaghut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka
(dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada
mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan
dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik
menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (An
Nisa’:60-61).
Orang Islam tidak boleh menyerupai musuh-musuhnya (kaum munafiqin)
dengan berhukum kepada selain Allah dan menolak hukum Allah dan
RasulNya. Tidak boleh juga berhujjah (berdalih) dengan keadaan
kebanyakan kaum muslimin sekarang yang berhukum kepada undang-undang
buatan manusia, karena hal ini tidak menghalalkan dan menjadikannya
boleh. Bahkan itu termasuk kemungkaran yang paling besar, walaupun
kebanyakan orang terjerumus padanya. Dan terpuruknya kebanyakan orang
pada satu perkara, tidak menunjukkan dibolehakannya (perkara tersebut),
sebagaimana firman Allah, yang artinya: Dan jika kamu menuruti
kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalanNya dan mereka hanya mengikuti prasangka dan
mereka hanya mengira-ngira saja. (Al An’am:116).
Setiap hukum yang menyelisihi syari’at Allah, adalah termasuk hukum
jahiliyah. Allah berfirman, yang artinya: Apakah hukum jahiliyah yang
mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin? (Al Maidah:50).
Allah mengkhabarkan, bahwa berhukum kepada selain hukum Allah adalah
kufur, zhalim dan fasiq dalam firmanNya, yang artinya: Barangsiapa yang
tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir. (Al Maidah:44) dan, Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zhalim. (Al Maidah:45) dan, Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang fasik. (Al Maidah:47).
Ayat-ayat di atas dan yang semakna, mewajibkan kaum muslimin agar
waspada, sehingga tidak berhukum dengan selain hukum Allah, berlepas
darinya, bersegera kepada hukum Allah dan RasulNya. berlapang dada dan
pasrah menerimanya.
Apabila kejadiannya memiliki madharat yang merata, seperti pembajakan,
maka kewajiban merujuk kepada Allah dan RasulNya lebih kuat dari
selainnya dan lebih wajib lagi. Karena, Allah adalah Al Hakim Al Khabir,
Ahkamul Hakimin, Arhamur Rahimin. Allah mengetahui apa saja yang
menjadi kemaslahatan hambaNya, dan menolak madharat dari mereka, serta
menghentikan kerusakan pada saat itu atau yang akan datang. Sehingga
wajib mengembalikan hukum dalam perkara yang diperselisihkan kepada
Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, karena pada keduanya terdapat
kecukupan, pelega dan solusi terbaik atas segala permasalahan, serta
penghilang semua kejelekan bagi orang yang berpegang teguh kepadanya,
istiqamah, menghukum dengannya dan berhukum kepadanya. Sebagaimana telah
dijelaskan hal itu dalam ayat-ayat muhkam.
Karena besar dan bahayanya kejahatan ini, saya memandang wajibnya
menyebarkan pernyataan seperti ini untuk menasihati umat dan melepas
tanggung jawab, serta mengingatkan orang umum akan kewajiban ini. Juga
untuk tolong-menolong bersama para pemimpin umat dalam kebaikan dan
taqwa”.[15]
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya: Sebagian orang melakukan pembajakan pesawat
atau kapal laut dengan maksud menekan instansi yang bertanggung jawab
terhadap pesawat dan kapal tersebut, dan terkadang mengancam membunuh
para penumpangnya. Bahkan kadang-kadang dibunuh langsung hingga
tuntutannya dipenuhi. Apa hukum perbuatan ini? Khususnya perbuatan ini
membuat ketakukan para penumpang?
Beliau menjawab:
Negara berkewajiban memberikan tindakan prefentif secukupnya, untuk
menahan para pemberontak tersebut dan menangkap mereka. Sebagaimana juga
wajib menambah personil kelompok penerbang dengan orang yang dapat
melindungi mereka, dan dapat melawan orang-orang yang berusaha membajak
tersebut. Demikian juga, mereka harus melakukan pemeriksaan yang
sempurna sebelum terbang, jangan membiarkan seorangpun melewati satu
tempat, kecuali setelah dipastikan tidak membawa senjata atau hanya
sekedar besi, kecuali setelah diketahui. Walaupun demikian, sebagian
kejadian dapat dilakukan dengan upaya penyelamatan yang dilakukan
sebagian pilot dengan merubah arah penerbangan. Sehingga bila disana ada
tentara atau penumpang yang mampu mengalahkan mereka, maka rencana para
pembajak tersebut bisa digagalkan.
Sudah pasti pembajakan ini merupakan kesalahan, kebodohan, kesesatan di
luar batas, mengganggu keamanan para penumpang dan mengancam dengan
sesuatu, yang para penumpang tersebut tidak mampu melaksanakan dan
menunaikannya. Wallahu a’lam.
3. Bom Bunuh Diri. [17]
Yazid bin Abi Habib meriwayatkan dari Aslam Abu Imran, beliau berkata:
غَزَوْنَا الْقُسْطَنْطِينِيَّةَ وَعَلَى الْجَمَاعَةِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَالرُّومُ مُلْصِقُو ظُهُورِهِمْ بِحَائِطِ
الْمَدِينَةِ فَحَمَلَ رَجُلٌ عَلَى الْعَدُوِّ فَقَالَ النَّاسُ مَهْ مَهْ
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يُلْقِي بِيَدَيْهِ إِلَى التَّهْلُكَةِ
فَقَالَ أَبُو أَيُّوبَ سُبْحَانَ الله! إِنَّمَا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ
فِينَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ لَمَّا نَصَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ وَأَظْهَرَ
الْإِسْلَامَ قُلْنَا هَلُمَّ نُقِيمُ فِي أَمْوَالِنَا فَأَنْزَلَ
اللَّهُ تَعَالَى وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا
بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ فَالْإِلْقَاءُ بِالْأَيْدِي إِلَى
التَّهْلُكَةِ أَنْ نُقِيمَ فِي أَمْوَالِنَا وَنُصْلِحَهَا وَنَدَعَ
الْجِهَادَ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو أَيُّوبَ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
حَتَّى دُفِنَ بِالْقُسْطَنْطِينِيَّةِ فَقَبْرُهُ هُنَاكَ.
"Kami memerangi Konstantinopel yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Khalid
bin Al Walid. Sedangkan tentara Rumawi menyandarkan punggung mereka ke
tembok kota (menanti kaum muslimin menyerang). Lalu ada seorang yang
menyerang musuh sendirian. Orang-orang berkata: “Mah mah!! La ilaha
illallah, ia ingin menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan!” Abu
Ayyub berkata: “Subhanallah! Ayat ini turun pada kami, kaum Anshar,
ketika Allah memenangkan NabiNya dan agamaNya,” kami menyatakan:
“Marilah kita urusi harta kita, lalu turunlah firman Allah: Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al
Baqarah:195)”. Menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan adalah
dengan berdiam mengurusi harta dan mengembangkannya dan meninggalkan
jihad di jalan Allah. Lalu Abu Ayyub terus berjihad di jalan Allah
sampai dikubur di Konstantinopel dan kuburannya ada disana".
Abu Ayyub mengkhabarkan kepada kita, bahwa menjatuhkan diri sendiri
dalam kebinasaan itu adalah meninggalkan jihad di jalan Allah, dan ayat
turun berkaitan dengan hal itu. Diriwayatkan semisal ini dari Hudzaifah,
Al Hasan, Qatadah, Mujahid dan Adh Dhahak. Imam At Tirmidzi
meriwayatkan yang semakna dengan hadits ini, dan berkata: “Ini hadits
hasan gharib shahih”.
Para ulama berselisih pendapat tentang seseorang yang dalam peperangan
melakukan penyerangan terhadap musuh sendirian. Al Qasim bin
Mukhaimarah, Al Qasim bin Muhammad dan Abdul Malik dari ulama madzhab
Malikiyah berpendapat, seseorang diperbolehkan sendirian menyerang
tentara yang banyak jika memiliki kemampuan dan niatnya ikhlas untuk
Allah. Apabila tidak memiliki kekuatan, maka itu termasuk menjatuhkan
diri sendiri ke dalam kebinasaan. (Tahlukah). Sedangkan yang lain ada
yang berpendapat, jika menginginkan mati syahid dan berniat ikhlas, maka
menyeranglah. Karena, maksudnya ia menyerang seorang dari mereka, dan
itu jelas dalam firmanNya, yang artinya: Dan diantara manusia ada orang
yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah (Al
Baqarah:207).
Ibnu Khawaiz Mandad berkata: “Apabila seseorang menyerang seratus atau
sejumlah tentara atau sekelompok maling dan perampok serta khawarij,
maka memiliki dua keadaan. (Yaitu) jika ia tahu dan diperkirakan ia akan
membunuh yang diserang dan ia selamat, maka itu baik. Demikian juga
seandainya ia tahu atau diperkirakan ia akan terbunuh [18], namun akan
merusak atau memberikan bala’ (kepada musuh) atau memberikan pengaruh
yang bermanfaat bagi kaum muslimin, maka boleh juga.
Al Qurthubi berkata,”Telah sampai berita kepada saya, bahwa tentara kaum
muslimin, ketika berjumpa dengan tentara Persia, kuda-kuda perang kaum
muslimin lari karena ada gajah. Lalu seorang dari mereka sengaja membuat
patung gajah dari tanah dan membiasakan kudanya sampai terbiasa
(melihat gajah). Ketika esoknya kudanya tidak lari dari gajah, lalu ia
menyerang gajah yang menyerangnya. Maka ada yang menyatakan, ‘Sungguh ia
akan membunuhmu,’ maka ia menjawab,’Tidak mengapa aku terbunuh asal
kaum muslimin menang’.”
Demikian juga pada perang Yamamah. Ketika Banu Hanifah berlindung di
Hadiqah, seorang muslimin (yaitu Al Bara’ bin Malik) berkata: “Letakkan
saya di Al Juhfah, dan lemparkan saya kepada mereka,” lalu mereka
lakukan dan ia memerangi Banu Hanifah sendirian, dan berhasil membuka
pintu bentengnya.
Saya (Al Qurthubi) berkata,”Termasuk dalam masalah ini juga,
diriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam,’Bagaiman pendapatmu jika saya terbunuh di jalan Allah dengan
sabar dan mengharap pahala?’ Beliau menjawab,’Engkau mendapat Syurga’.
Lalu ia terjun ke tengah-tengah musuh sampai terbunuh”.
Al Qurthubi berkata lagi: “Muhammad bin Al Hasan berkata: ‘Seandainya
seorang sendirian menyerang seribu kaum musyrikin, maka tidak mengapa
selama ia masih berharap selamat atau memberikan kekalahan kepada musuh.
Apabila tidak demikian, maka itu dilarang. Karena, ia membiarkan
dirinya untuk binasa tanpa memberi manfaat kepada kaum muslimin. Jika
tujuannya untuk memotivasi kaum muslimin agar berani menyerang mereka,
sehingga berbuat seperti yang ia perbuat, maka tidak jauh dari kebolehan
dan karena ada kemanfaatan kepada kaum muslimin pada sebagian aspek.
Adapun bila tujuannya menanamkan ketakutan pada musuh dan untuk
menampakkan ketabahan dan kehebatan kaum muslimin dalam agamanya maka
tidak jauh juga dari kebolehan. Apabila ada padanya kemanfaatan bagi
kaum muslimin, lalu jiwanya hilang untuk kemulian agama dan merendahkan
kekufuran, maka inilah kedudukan mulia, yang Allah memuji kaum mukminin
dengan firmanNya, yang artinya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk
mereka. (At Taubah:111), dan yang lainnya dari ayat-ayat pujian Allah
bagi orang yang berbuat demikian.
Berdasarkan hal ini, sudah sepatutnya hukum amar ma’ruf nahi munkar
diharapkan memberikan manfaat pada agama, maka memperjuangkannya sampai
mati merupakan derajat tertinggi orang yang mati syahid. Allah
berfirman, yang artinya : Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah) (Luqman:17).
Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda:
أَفْضَلُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ وَ رَجُلٌ تَكَلَّمَ بِكَلِمَةِ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ فَقَتَلَهُ
"Seutama-utama orang yang mati syahid adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib
dan orang yang menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang jahat, lalu
pemimpin itu membunuhnya".[19]
Adapun membunuh sebagian tentara dan masyarakat dalam operasi seperti
ini dengan kondisi kita sekarang ini, maka ia termasuk mengikuti jalan
para pelaku kejahatan, karena semua itu tidak lepas dari tipu daya yang
diharamkan, menimbulkan gangguan dan madharat terhadap orang yang tidak
berdosa, tanpa kemaslahatan yang mu’tabar.
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya : Ada seseorang yang mengikat dirinya dengan
bom, kemudian masuk ke bangunan pemerintah atau non pemerintah, atau
masuk ke kerumunan manusia yang berisi orang kafir dan yang lainnya,
kemudian meledakkan dirinya. Bagaimana hukum perbuatan ini? Apakah
perbuatan seperti ini dianggap jihad? Apakah pelakunya dapat dikatakan
syahid, ataukah dianggap bunuh diri?
Beliau menjawab : “Secara zhahir itu termasuk bunuh diri, karena ia
yakin jika hal itu akan membunuh dirinya sendiri sebelum yang lainnya.
Namun terkadang dibolehkan jika dilakukan di wilayah kafir harbi, dan ia
tahu akan terbunuh di tangan musuh tersebut, baik cepat atau lambat,
atau akan mendapatkan adzab yang keras. Dan tidak mendapatkan jalan
keluar, kecuali meledakkan dirinya dan membunuh selainnya dari kalangan
musuh yang menyiksa kaum muslimin, sehingga dari mereka terbunuh
sejumlah orang yang dapat melemahkan kekuatan mereka, atau mengurangi
gangguan dan memberikan rasa takut atas mereka. Terkadang hal itu
dimubahkan walaupun membunuh dirinya sendiri, jika ia tahu pasti akan
dibunuh atau dijajah, lalu bermaksud melepaskan gangguan dan
menyelamatkan dirinya. Perkaranya diserahkan kepada Allah.
Beliau ditanya lagi : Sebagian orang menyatakan dibolehkannya meledakkan
diri sendiri dengan menganalogikan kepada kisah Ghulam Ukhdud.
Bagaimana jawaban dalam hal itu?[20]
Dalam hal ini tidak ada Qiyas (analogi). Dalam kisah ghulam tersebut
tidak ada bunuh diri. Yang ada, mereka membawanya untuk melemparkannya
dari atas gunung, lalu Allah menyelamatkan. Kemudian mereka membawa ke
laut untuk ditenggelamkan, dan Allah juga menyelamatkannya. Kemudian,
ketika ia mengetahui bahwa mereka terus berusaha membunuhnya dan pasti
membunuhnya dengan segala cara yang mereka miliki, dengan mengucapkan
Bismillahi Rabbi Al Ghulam, maka ia berkata: “Kalian tidak akan bisa
membunuhku sampai melakukan apa yang aku perintahkan. Kumpulkan orang di
lapangan luas, kemudian ucapkan “Bismilahi Rabbi Al Ghulam”, kemudian
panahlah aku”. Dia bermaksud memperdengarkan penyebutan nama Allah
kepada orang-orang agar beriman sebagaimana akhirnya terjadi.
Adapun pemboman ini bersandar pada bunuh diri, walaupun maksudnya
mencelakakan dan membunuh musuh. Terkadang bunuh diri yang demikian ini
diperbolehkan, jika ia tahu akan diadzab sebelum dibunuh, dan
pembunuhannya pasti terjadi. Wallahu a’lam.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Sebagian orang berkata “Dia melakukan
amal jihad dalam bentuk bunuh diri. Contohnya, seorang dari mereka
memasang bom dalam mobilnya dan menyerang musuhnya dalam keadaan tahu,
ia pasti akan mati dalam kejadian itu?”[21]
Beliau menjawab : “Pendapat saya dalam hal ini, bahwa ia telah bunuh
diri dan akan diadzab di neraka jahannam dengan alat yang dipakai bunuh
diri tersebut, sebagaimana telah disabdakan Rasulullah dalam hadits yang
shahih. Namun orang yang tidak mengetahui dan melakukannya dengan
anggapan itu baik dan diridhai Allah, saya berharap Allah mengampuninya,
karena ia berbuat dengan ijtihadnya, walaupun saya pandang tidak ada
udzur baginya pada zaman sekarang ini, karena bentuk bunuh diri ini
telah terkenal dan diketahui orang, dan wajib bagi seseorang untuk
menanyakannya kepada ulama, hingga jelas baginya yang benar dari yang
tidak benar.
Ajaibnya, mereka membunuh diri mereka sendiri, padahal Allah
melarangnya, sebagaimana firmanNya, yang artinya: Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An
Nisa’:29).
Kebanyakan mereka hanya ingin membalas dendam kepada musuhnya dengan
segala cara, baik haram atau halal. Sehingga ia hanya ingin melampiaskan
dendamnya saja. Kita memohon kepada Allah untuk memberikan kepada kita
pengetahuan dalam agama ini dan beramal dengan amal yang Dia ridhai.
Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
KESIMPULAN
Telah jelas bagi kita, bahwa masalah pemboman, pembajakan, penculikan
dan sejenisnya termasuk amalan yang merusak dan ditolak secara agama dan
akal. Tidak melakukannya, kecuali pengikut hawa nafsu atau musuh Islam
dan kaum muslimin yang tidak menginginkan kebaikan untuk kaum muslimin.
Adapun orang yang melakukannya dengan keyakinan pemerintahnya telah
kafir, sehingga wajib baginya untuk memberontak, maka demikian ini
merupakan pendapat yang menyelisihi agama Allah dan RasulNya, juga
menyelisihi amalan para salaf umat ini.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan dari kitab Kaifa Nu’alij Waqiana Al Alim? karya Abu
Anas Ali bin Husain Abu Lauz, Cetakan Pertama, Tahun 1418 H, tanpa
penerbit, hlm. 98-121.
[2]. Syaikh Shalih As Sadlan, Muraja’at Fi Fiqh Al Waqi’ As Siyasi Wal Fikri, disusun oleh Dr. Abdullah Ar Rifa’i, hlm. 78.
[3]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no. 1.395; An Nasa’i, no. 3.997,
3.998 dan 4.000 dari hadits Abdullah bin Amru. Juga diriwayatkan oleh
Ibnu Majah, no. 2.619 dari hadits Al Bara’ bin ‘Azib. At Tirmidzi
berkata,”Dalam bab ini ada hadits dari Sa’ad, Ibnu Abbas, Abu Sa’id, Abu
Hurairah, Uqbah bin ‘Amir, Abdullah bin Mas’ud dan Buraidah.
[4]. Syaikh Shalih As Sadlan, Muraja’aat Fi Fiqh Al Waqi’ As Siyasi Wal Fikri, disusun oleh Dr. Abdullah Al Rifa’i, hlm. 78.
[5]. Surat kabar Al Muslimun, Edisi 590, Jum’at, 7 Muharram 1417 H atau 24 Mei 1996 M.
[6]. Surat kabar Al Muslimun, Edisi 32.
[7]. Diriwayatkan Abu Dawud, no. 2.761 dari hadits Nu’aim bin Mas’ud,
dan Abu Dawud juga, no. 2.762 dan Ahmad dalam Musnad (1/391) dari hadits
Abdullah bin Mas’ud. Ahmad Syakir berkata,”Sanadnya shahih.”
[8]. Diriwayatkan Abu Dawud, no. 2.758; Ahmad dalam Musnad (6/8), Ibnu
Hibban dalam Shahih-nya, no. 1.630-Mawarid dan Al Hakim (3/598). Syaikh
Al Albani berkata dalam Silsilah Ash Shahihah (702),”Isnadnya shahih.
Para perawinya seluruhnya tsiqat, para perawi syaikhan, kecuali Al Hasan
bin Ali bin Abi Rafi’, dan beliau tsiqat sebagaimana disebutkan dalam
kitab At Taqrib. Hadits ini dibawakan Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah
(11/163); Al Arnaauth berkata,”Isnadnya shahih.”
[9]. Al Mughni, karya Ibnu Qudamah (8/401).
[10]. Diriwayatkan oleh Al Bukhari, 3.166 dari hadits Abdullah bin Umar.
[11]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Asy Syaikh Ibnu Jibrin, Al ‘Aqidah (juz delapan) – manuskrip.
[12]. Diriwayatkan oleh Al Bukhari, 3.486 dan Muslim, 2.242 dari hadits Abdullah bin Umar.
[13]. Diriwayatkan Al Bukhari, 2.363 dan Muslim, 2.244.
[14]. Tahshil Az Zaad Li Tahqiq Al Jihad, disusun oleh Sa’id Abdulazhim, hlm. 206 dan 207.
[15]. Makalah Syaikh Bin Baaz yang dipublikasikan dalam Majmu’ Fatawa Wa
Maqalat Mutanawi’ah (1/276-289), sebagaimana juga dipunlikasikan oleh
Majalah At Tauhid, diterbitkan Anshar As Sunnah Al Muhamadiyah, Mesir,
hlm. 8, Edisi 10, Tahun 1393 H.
[16]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu Jibrin, Al ‘Aqidah (juz delapan) – manuskrip.
[17]. Tahshil Az Zaad Li Tahqiq Al Jihad, karya Sa’id Abdulazhim, hlm. 302-304.
[18]. Perkiraan kuat akan mendapat kebinasaan, tidak berarti melakukan
pembelaan dengan memasang sabuk bom pemusnah. Karena yang wajib atasnya,
ialah mencari sebab keselamatan semampunya, dengan tetap berusaha keras
memberikan madharat dan gangguan terhadap musuh, meskipun hingga
mengantarnya kepada kematian.
[19]. Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Ausath (1/245), Al Hakim
(3/195) dan dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 374.
Sampai disini penukilan dari Tahshil Az Zaad, Pent.
[20]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Asy Syaikh Ibnu Jibrin, (Aqidah juz delapan) –manuskrip.
[21]. Wawancara dengan Syaikh Ibnu Utsaimin yang dilakukan Majalah Ad Dakwah, Edisi 1.598, 28/2/1418H atau 3/7/1997M.