Sabtu, 07 Desember 2013

Asal Usul Orang Minang



Menyoal Asal Nenek Moyang penduduk Minangkabau
Pertanyaan soal asal-usul leluhur penduduk Minangkabau sesungguhnya bukan isu baru karena sudah sejak lama menjadi perbincangan. Namun sayangnya, jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidak ada yang meyakinkan, banyak yang masih mereka-reka dan berupa hipotesa belaka. Ketidak pastian ini barangkali ada kaitannya dengan tidak terbiasanya orang Minang jaman dahulu dengan budaya sejarah tulisan.
Kenyataan ini membuat tim penyusun buku Sejarah Minangkabau oleh drs. M.D. Mansoer dkk di tahun 1970 harus bekerja ekstra keras. Yang banyak beredar adalah buku-buku tambo seperti “Tambo Alam Minangkabau” dan “kaba” yang cukup banyak jumlahnya, namun hanya selintas menyinggung perihal kehidupan orang Minangkabau di masa lalu. Hingga tahun 1970 masih belum ada usaha yang serius dan efektif untuk menyelidiki dan menyaring fakta-fakta sejarah Minangkabau dari tambo-tambo dan kaba-kaba itu. Cerita-cerita rakyat yang dipusakai (sebagian besar secara lisan), turun temurun dan baru sebagian kecil yang dibukukan, setidak-tidaknya berisi “2% fakta sejarah” yang tenggelam dalam “98% mitologi”. Bagaimana menggali dan menyisihkan 2% fakta sejarah dari 98% (lumpur) mitologi itu merupakan persoalan tersendiri. Pada umumnya tambo-tambo dan kaba-kaba itu baru diusahakan (sebagian kecil) penulisannya, ketika Minangkabau telah mengenal tulisan. Tulisan itu, abjad Arab, lazim disebut “huruf Melayu.” Kenyataan ini mengandung makna, bahwa orang Minangkabau baru pandai tulis baca, setelah mereka beragama Islam.
Berikut ini marilah kita ikuti rangkuman pandangan dan kesimpulan dari para sejarawan terhadap asal penduduk Minangkabau di Sumatera Barat.
Menurut sebagian sejarawan, kebudayaan Minang diperkirakan bermula sekitar 500 tahun SM, ketika rumpun bangsa Melayu Muda masuk ke Ranah Minang membawa kebudayaan Perunggu. Pembauran bangsa Melayu Tua dan Melayu Muda menurunkan leluhur suku Minangkabau sebagai pendukung kebudayaan Perunggu dan Megalitikum.
Adapun peninggalan jaman pra-sejarah berupa situs-situs Menhir hanya ditemukan di kabupaten Limapuluh Kota (kecamatan Suliki dan Guguk). Situs-situs Megalith tersebut tersebar di daerah Koto Tinggi, Balubus, Sungai Talang, Koto Gadang, Ateh Sudu dan Talang Anau. Di desa Parit (daerah Koto Tinggi) berhasil ditemukan situs Megalith terbanyak yakni 380 Menhir, yang diantaranya mencapai tinggi 3,26m.
Di Minangkabau istilah yang dipakai untuk menhir adalah batu tagak. Istilah ini biasa dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti batu berdiri.
Menhir merupakan bagian dari produk tradisi megalitik yang menggunakan batu-batu besar sebagai material kebudayaannya; mega berarti besar dan lithosberarti batu. Sejarah pendirian menhir telah berlangsung sejak zaman neolitik sekitar 4500 tahun yang lalu. Awal kemunculannya hampir bersamaan dengan produk tradisi megalitik lainnya yang seangkatan seperti dolmen, teras berundak (bertingkat) dan lain-lain.
Di daerah darek, daerah inti kebudayaan Minangkabau, menhir ditemukan paling banyak di kabupaten Limapuluh Kota, kemudian disusul dengan kabupaten Tanah Datar. Di kabupaten Tanah Datar dijumpai ribuan menhir bersamaan dengan temuan-temuan lain seperti batu dakon dan lumpang batu. Menhir-menhir tersebut  muncul dalam bentuk yang beragam, ada yang berbentuk tanduk, pedang, phallus dan beberapa bentuk kepala binatang.
Di kabupaten Tanah Datar juga terdapat menhir-menhir yang sebetulnya sudah difungsikan sebagai nisan kubur Islam yang hampir semuanya berorientasi menghadap ke utara-selatan. Dengan demikian dapat dipastikan menhir-menhir di Kabupaten Tanah Datar umurnya jauh lebih muda jika dibandingkan dengan menhir-menhir di Kabupaten Limapuluh Kota.

Melayu Purba Pembawa Tradisi Megalitik ke Minangkabau?
Pada ekskavasi arkeologis yang dilakukan di situs megalitik Ronah, Bawah Parit, Belubus berhasil ditemukan rangka manusia dari penggalian menhir di lokasi tersebut. Di Bawah Parit dan Belubus ditemukan rangka manusia yang berorientasi hadap barat laut – tenggara, sementara di Ronah sebagian berorientasi timur laut – barat daya, dan sebagian lagi berorientasi utara – selatan (Boedhisampurno 1991).
Jenis rangka manusia tersebut dapat digolongkan sebagai ras Mongoloid (Boedisampurno 1991: 41), yang mengandung unsur Austromelanesoid yang diperkirakan hidup 2000-3000 tahun lalu (Aziz 1999).
Menurut Kern dan Heine Geldern, seperti yang dikutip Soekmono (1973), migrasi ras Mongoloid dari daratan Asia ke Nusantara telah berlangsung dalam dua gelombang besar. Gelombang pertama mulai pada masa neolitikum yang membawa budaya kapak bersegi terjadi sekitar 2000 SM yang oleh para ahli digolongkan sebagai kelompok Melayu Tua (Proto Melayu), sementara itu gelombang kedua muncul pada zaman logam yang membawa kebudayaan Dongson yang dimulai 500 SM, digolongkan sebagai kelompok Melayu Muda (Deutro Melayu). Soekmono mengatakan bahwa pada zaman logam ini disamping kebudayaan logam, juga dibawa kebudayaan megalitik (kebudayaan yang menghasilkan bangunan dari batu-batu besar) sebagai cabang kebudayaan Dongson (Soekmono 1973).
(Dongson adalah nama tempat di selatan Hanoi yang dianggap sebagai asal kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Konon kebudayaan Dongson ini dipengaruhi oleh kebudayaan Hallstatt, Austria).
Tampaknya kebudayaan ini dikembangkan oleh ras Mongoloid yang berpangkalan di Indo China dan berkembang dengan pesatnya di zaman Megalitikum dan zaman Hindu. Nenek moyang orang Minangkabau itu datang dari daratan Indo China terus mengarungi Lautan Cina Selatan, menyeberangi Selat Malaka dan kemudian memudiki Sungai Kampar, Siak dan Indragiri. Sebagian diantaranya mengembangkan kebudayaan serta peradaban mereka di sekitar Kabupaten Limapuluh Kota sekarang.
Dengan ditemukannya rangka manusia tersebut telah memperkuat teori bahwa telah terjadi migrasi ras Melayu Purba (yang berbahasa Austronesia) ke Sumatera, terutama Sumatera bagian Tengah. Oleh sebab itu barangkali kita sepakat bahwa nenek moyang bangsa Minangkabau yang berasal dari daratan Asia, yang telah datang ke wilayah ini mulai sejak zaman pra-sejarah dapat digolongkan ke dalam Melayu Muda (Deutro Melayu).
Di dalam historiografis tradisional, seperti kaba (tradisi lisan) dan tambo (yang bagi kalangan tertentu mempercayainya 100%) dikatakan Minangkabau terdiri atas tiga luhak, selalu dikatakan dan sudah menjadi paradigma tunggal bahwa Tanah Datar adalah luhak tertua tempat dirintis dan disusun pertama kali adat istiadat Minangkabau (Agam sebagai yang tengah dan Limapuluh Kota dianggap sebagai Luhak Nan Bungsu). Dengan adanya temuan tradisi megalitik di Limapuluh Kota yang lebih tua dari Tanah Datar, paradigma tradisional itu kini dipertanyakan kembali (Herwandi 2006).
Sementara menurut Bellwood (1985), penduduk Sumatera adalah imigran dari Taiwan dengan jalur dari Taiwan ke Pilipina, melalui Luzon terus ke Kalimantan dan kemudian ke Sumatera. Kesimpulan ini diambil Bellwood berdasarkan perbandingan bahasa. Bahasa yang digunakan oleh penduduk Sumatera, menurut Bellwood termasuk kelompok Western Malayo Polynesian (WMP) yang merupakan turunan dari Proto Malayo Polynesian (PMP). PMP adalah turunan dari Proto Austronesian (PAN) yang diperkirakan digunakan oleh penduduk Taiwan pada sekitar tahun 3000 SM.
Dari hasil penelitian, bahasa Minangkabau 50% kognat dengan PMP.
Jadi menurut kajian awal dan bukti linguistis, disimpulkan bahwa dialek bahasa yang konservatif ditemui di kabupaten Limapuluh Kota. Daerah tersebut dihipotesiskan sebagai daerah pertama yang didiami oleh orang Minangkabau di Sumatera Barat, sesuai dengan bukti arkeologis yang dibahas di awal artikel ini.
Dengan demikian cerita yang ada dalam tambo dan kaba bahwa Tanah Datar merupakan daerah tertua di Minangkabau tidaklah masuk akal, hanya suatu mitos belaka. Logikanya, perluasan wilayah Minangkabau dari daratan rendah ke daratan tinggi; melalui sungai atau pantai ke pegunungan (Nadra, 1999).

Pandangan kontroversial Professor Stephen Oppenheimer
Buku Eden in The East karya Professor Stephen Oppenheimer yang mengulas soal  Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara mengisahkan bahwa Indonesia dan sekitarnya pernah menjadi benua dan tempat peradaban manusia di penghujung Zaman Es. Professor Stephen Oppenheimer adalah seorang peneliti dari Universitas Oxford di Inggris, pakar genetika yang juga mendalami antropologi dan folklore yang mengkaji dongeng-dongeng dunia. Oppenheimer meyakini bahwa Indonesia dan sekitarnya pernah menjadi benua dan tempat peradaban manusia di penghujung Zaman Es. Benua ini disebutnya dengan istilah Sundaland.
Dalam buku tersebut, Oppenheimer seolah memutar balik sejarah dunia. Bila selama ini sejarah mencatat bahwa induk peradaban manusia modern itu berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia, maka Oppenheimer punya tesis sendiri.
Buku Eden in the East merupakan hasil penelitian Oppenheimer selama bertahun-tahun yang dilakukannya di berbagai negara. Benua Sundaland yang disebut oleh Oppenheimer tentu saja tidak bisa dibayangkan seperti bentuk wilayah ASEAN saat ini yang terdiri dari Indonesia, Semenanjung Malaysia dan Laut China Selatan. Wilayah ini dulunya masih menjadi satu, yaitu Sundaland.
Benua ini menurut Oppenheimer ada pada sekitar 14.000 tahun yang silam, sudah didiami oleh manusia.  Saat itu, Taiwan terhubung langsung dengan China. Tidak ada Laut Jawa, Selat Malaka dan Laut China Selatan. Semua adalah daratan kering yang menghubungkan Sumatera, Jawa, Kalimantan dan China. Yang dari dahulu sudah terpisah lautan adalah Sulawesi, Maluku dan Papua yang memiliki laut dalam.
Menurut Oppenheimer, dari 14.000 tahun lalu itulah Zaman Es mulai berakhir. Oppenheimer menyebutnya banjir besar. Namun menurut dia, banjir ini bukannya terjadi mendadak, melainkan naik perlahan-lahan.
Dalam periode banjir pertama, air laut naik sampai 50 meter. Ini terjadi dalam 3.000 tahun. Separuh daratan yang menghubungkan China dengan Kalimantan, terendam air.
Kemudian terjadilah banjir kedua pada 11.000 tahun lalu. Air laut naik lagi 30 meter selama 2.500 tahun. Semenanjung Malaysia masih menempel dengan Sumatera. Namun Jawa dan Kalimantan sudah terpisah. Laut China Selatan mulai membentuk seperti yang ada hari ini.
Oppenheimer lantas menambahkan, banjir ketiga terjadi pada 8.500 tahun lalu. Benua Sundaland akhirnya tenggelam sepenuhnya karena air naik lagi 20 meter. Terbentuklah jajaran pulau-pulau Indonesia, dan Semenanjung Malaysia terpisah dengan Nusantara.
Meskipun naik perlahan, Oppenheimer mengatakan kenaikan air laut ini sangat berpengaruh kepada seluruh manusia penghuni Sundaland. Mereka pun terpaksa berimigrasi, menyebar ke seluruh dunia.
Pandangan kontroversial dari Oppenheimer ditanggapi beragam oleh para koleganya. Sebagian arkeolog percaya pada bukti-bukti yang dikemukakan Oppenheimer, sementara sejumlah arkeolog yang tetap yakin bahwa orang Indonesia berasal dari Taiwan. Tapi belakangan ini sejumlah arkeolog juga menunjukkan bukti betapa keterampilan lokal, seperti berlayar dan menangkap ikan, telah ada sepuluh ribu tahun lalu, dan bercocok tanam di Indonesia sudah ada lebih dari empat ribu tahun lalu.
Belakangan, kelompok peneliti yang merupakan teman sejawat dari University of Oxford dan University of Leeds mengumumkan hasil penelitiannya dalam jurnal “Molecular Biology and Evolution” edisi Maret dan Mei 2008 dalam makalah berjudul:
Climate Change and Postglacial Human Dispersals in Southeast Asia” (Soares et al., 2008) dan “New DNA Evidence Overturns Population Migration Theory in Island Southeast Asia” (Richards et al., 2008).
Richards et al. (2008) berdasarkan penelitian DNA menantang teori konvensional saat ini bahwa penduduk Asia Tenggara saat ini (Filipina, Indonesia, dan Malaysia) datang dari Taiwan 4000 (Neolitikum) tahun yang lalu. Tim peneliti menunjukkan justru yang terjadi adalah sebaliknya dan lebih awal, bahwa penduduk Taiwan berasal dari penduduk Sundaland yang bermigrasi akibat Banjir Besar di Sundaland.
Pemecahan garis-garis mitochondrial DNA (yang diwarisi para perempuan) telah berevolusi cukup lama di Asia Tenggara sejak manusia modern pertama kali datang ke wilayah ini sekitar 50.000 tahun yang lalu.
Ciri garis-garis DNA menunjukkan penyebaran populasi pada saat yang bersamaan dengan naiknya muka laut di wilayah ini dan juga menunjukkan migrasi ke Taiwan, ke timur ke New Guinea dan Pasifik, dan ke barat ke daratan utama Asia Tenggara – dalam 10.000 tahun.
Sementara itu Soares et al. (2008) menunjukkan bahwa haplogroup E, suatu komponen penting dalam keanekaragaman mtDNA (DNA mitokondria), berevolusi selama 35.000 tahun terakhir, dan secara dramatik tiba-tiba menyebar ke seluruh pulau-pulau Asia Tenggara pada periode sekitar awal Holosen, pada saat yang bersamaan dengan tenggelamnya Sundaland menjadi laut-laut Jawa, Malaka, dan sekitarnya. Lalu komponen ini mencapai Taiwan dan Oceania lebih baru, sekitar 8000 tahun yang lalu. Ini membuktikan bahwa global warming dan naiknya permukaan laut di ujung Zaman Es 15.000–7.000 tahun yang lalu, sebagai penggerak utama human diversity di wilayah ini.
Nah, kini Anda lebih percaya kepada teori yang mana?
Apakah condong kepada pendapat yang selama ini dipegang oleh mayoritas sejarawan bahwa nenk moyang orang Minangkabau berasal dari Melayu Purba yang membawa kebudayaan Dongson, atau teori Oppenheimer yang beranggapan sebaliknya, justru  penduduk Sundaland (Nusantara) yang bermigrasi ke Taiwan dan lain-lain akibat Banjir Besar di Sundaland? Kalau Anda setuju dengan Oppenheimer, artinya bangsa kita yang menjadi saudara tua dari bangsa Cina, Taiwan dan Jepang.
Wallahualam.
Sumber informasi:
§  Sejarah Minangkabau, Drs. M.D. Mansoer dkk, Bhratara, 1970
§  Nadra, Daerah Pertama Yang Didiami oleh Orang Minangkabau Berdasarkan Bukti Linguistis: Kajian Awal, 1999
§  Herwandi, Limopuluah Koto Luhak Nan Tuo: Menhir, Jejak Budaya Minangkabau Membalik Paradigma Tradisional, 2006
§  http://blogs.itb.ac.id/iban/2012/01/31/sundaland-part-2/

Mantra Pantun dan Tambo

Mantra, Pantun, dan Tambo Minang Kabau

A.    MANTRA

1.      Pengertian Mantra
            Mantra adalah puisi yang tertua dalam sastra Minangkabau dan dalam bahasa daerah lainnya. Puisi ini diciptakan untuk mendapatkan kekuatan ghaib dan sakti. Dengan demikian, dalam mantra tercermin kepercayaan masyarakat yang menggunakan mantra tersebut, yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme.
2.      Fungsi dan kegunaan Mantra zaman dahulu dan zaman sekarang
a.       Fungsi dan kegunaan Mantra zaman dahulu
Pada zaman dahulu masyarakat percaya bahwa setiap benda mempunyai Roh, seperti gunung, pohon besargua, dan lembah yang dalam. Disamping itu masyarakat zaman dahulu percaya bahwa benda-benda tertentu kekuatan magis, kekuatan luar biasa yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan keinginan pembaca mantra. Mantra biasanya digunankan dalam berbagai kesempatan namun diantaranya pada waktu panen supaya panen melimpah, pada waktu berburu supaya buruan banyak hasilnya. Pada waktu mengobati supaya menyembuhkan orang sakit, pada waktu menyemaikan benih supaya tanaman subur, pada waktu orang ingin berbuat jahat untuk mencelakakan orang.
b.      Fungsi dan kegunaan Mantra zaman sekarang.
Dengan zaman yang semakin canggih dan serba IPTEK seperti saat sekarang ini mantra jarang digunakan masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat golongan muda, karena merasa tidak modern dan tidak logis tetapi masih ada masyarakat golongan tua yang menggunakan mantra dalam kehidupan sehari-hari yang didapat/diturunkan oleh leluhur mereka.

Medan (1975) dalam esainya yang berjudul “Mantra dalam Kesusastraan MinangKabau”, menjelaskan bahwa mantra masih digunakan oleh dukun dan pawang dalam masyarakat Minangkabau, diantaranya pada waktu memasang tiang utama pembangunan rumah, pada waktu mengobati orang sakit, pada waktu menangkap harimau, menangkap ikan dilaut, menahan hujan bila ada kenduri. Pada waktu menyemai benih, atau pada waktu memulai menanam padi disawah.

Artinya dizaman yang modern seperti saat ini masih ada masyarakat yang membaca mantra, walaupun tidak sepopuler pada zaman dahulu. Seharusnya masyarakat golongan muda tetap mengetahui mantra-mantra peninggalan leluhur agar tidak punah/hilang saat zaman yang lebih modern lagi nantinya.

Contoh Mantra :
1.      Mantra Menuai Padi
Hai si lansari – baginda sari
Si lansari – sari bagadun
Angkau banamo – banyak namo
Si lansari – ka aku tuai
Urang Kinari – pai barameh
Urang Singkarank – pai mandulang
Si lansari aku – jaanlah cameh
Ka ku tuai – ku bao pulang
Hai si lansari – bagindo sari
Molah kito – pulang ka rumah
Sarato jo rajo – rajo angkau

Panggia-mamanggia – molah angkau
Kabik-mengkabiak – molah angkau
Dari Siuak – dari siatang
Dari Agam – dari Batipuah
Dari kasiak – sumaniak
Taluak ranah – rang sungai pagu
Rang nak padi – tak baampo
Rang nak ameh – tak batintiang

Hai si lansari – bagindo sari
Lolah kito – pulang ka rumah
Sarato jo raja – rajo angkau
Nan babaku – hadun tamadun
Bakain kambang – ka marindu
Biliak dalam – alah mananti
Kalambu tirai - alah mananti
Siupiak itam – alah mananti
Bujang kinangan – alah mananti
Hu hu huuu – si lansari aku

Maknanya : Petani yang telah tiba waktu panen membaca mantra ini berharap padi hasil panen mereka yaitu padi yang akan dibawa pulang mendapat berkah.

2.      Mantra Menyemaikan Benih
Allahumma salli ‘ala – muhammad
Daulu alun – banamo padi
Banamo – nur allah
Urang di sabuang – bidodari
Camin tasari – namo batangnyo
Induang barek – namo daunnyo
Ganto sarugo – namo bungonyo
Mako batambun-tanbun – tambunlah urek
Camarelang – di dado adam
Langsuang dijawek – jibirain
Pancaran insan – bagindo insan
Insan banamo – akia saman
Dalam gurijah – waliullah
Salalluhu alaihi wa sallam

Maknanya : Petani yang akan menanam benih padi membaca mantra ini berharap tanaman yang ia tebarkan menjadi subur dan mendapat hasil yang melimpah dengan izin allah.

B.     PANTUN

1.      Pantun dewasa
Asam kondih asam golugua
Katigo asam siriang-riang
Manogih maik dalam kubua
Takana badan ndak sumbahyang

Maknanya : merugi bagi orang islam yang tidak sembahyang dikala ia masih hidup, dan didalam kubur kelak ia sangatlah merugi.

Di mano pamatang sawah
Lumba-lumba dapek tapanciang
Di mano tampeknyo allah
Di dada kito masiang-masiang

Maknanya : jika orang menanyakan tempat allah dimana ? tempat allah adalah dalam keyakinan/keimanan manusia itu sendiri.

2.      Pantun Anak – anak
Tolong serumpun jo marapalam
Hanyuik sabatang ka muaro
Tulang dilua dagiang didalam
Cubolah takak jo sudaro

Maknanya : pantun ini berisi teka – teki yang menyuruh menebak tulang diluar daging didalam.

Anak ikan dalam kualo
Umpan talatak ateh batu
Ado batangan bakaki tido
Cubolah takak apokah itu

Maknanya : pantun ini berisi teka – teki yang menyuruh menebak ada bertangan kaki tiada.

3.      Pantun Jenaka
Antah madang antah tapai
Bapuluik-puluik kuahnyo
Entah lamang entah tapai
Jangguik lah kutuik dek kuahnyo

Maknanya : tidak tau lemang/tapai banyak kuahnya janggut sudah berlepotan terkena kuahnya.

Anak rang dikampuang baruah
Nak lalu ka aia angek
Mandanga durian jatuah
Malonjak – lonjak lamang angek

Maknanya : anak orang dikampung baru mau pergi ke air hangat mendengar durian jatuh bergelora lemang hangat ingin menyantap.

4.      Pantun Sindiran
Dek ribuik basah ilalang
Di paya padi satangkai
Iduik usah mangapalang
Kok tak kayo barani pakai

Maknanya : hidup didunia ini tidak usah dipaksakan lebihbaik mensyukuri apa yang kita miliki.

Urang solok nak disalonyo
Rami galanggang nak rang magek
Rang kayo nak dikayonyo
Nan mikin ansua bakulambek

Maknanya : orang kaya itu bertindaksesuka hatinya saja karena dia mengandalkan kekayaannya saja.



5.      Pantun Percintaan
Disabun anak urang cino
Mahampeh pacah ka tapian
Bialah makan dibagi duo
Asa kan adiak jaan bajalan

Maknanya : walaupun saya susah tapi asalkan adik jangan berjalan. Biarlah saya antar.

Maampeh pacah ka tapian
Tapian tampek urang mandi
Kalau adiak pai bajalan
Denai pasti baibo hati

Maknanya : jikalau adik pergi jalan kaki pasti saya bersedih hati, maksudnya biar saya yang mengantar adik pergi.

C.    TAMBO

Contoh Tambo :

Basa Empat Balai
            Raja alam di pagaruyung selaku kepala pemerintahan dibantu oleh suatu lembaga yang dinamakan Basa Empat Balai (Pembesar Empat Balai). Keempat pembesar yang membantu raja itu adalah seperti berikut : (1)Bandaro di Sungai Tarab, pembesar pemerintahan yang berkedudukan di Nagari Sungai Tarab. Ia dijuluki sebagaiPamuncak Koto Pilian. (2) Andomo si Saruaso, pembesar perbendaharaan. Ia dijuluki sebagai Puro Pannah Koto Piliang (Pura Penuh Koto Piliang) yang berkedudukan di Nagari Saruaso. (3) Mangkudum di Sumanik,pembesar keamanan yang berkedudukan di Nagari Sumanik. Ia dijuluki Aluang Bunian Koto Piliang (Alung Bunian Koto Piliang). (4) Tuan Kadi di Padang Genting,  pembesar keagamaan yang berkedudukan di Nagari Padang Gantiang. Ia dijuluki dengan Suliah Bendang Koto Piliang (Suluh Benderang Koto Piliang).
            Sebagai pejabat tertinggi, bandaro di sungai Tarab dibantu enam orang gadang (enam orang besar). Bersama – sama mereka dinamakan Gadang Batujuah (Besar yang Bertujuh). Ketujuhnya ialah (1) Pamuncak Koto Piliangyang berkedudukan di Sungai Tarab yang bertugas sebagai pimpinan. (2) Panlamanan Koto Piliang, yang berkedudukan di Simawang/Bukit Kandung yang bertugas sebagai pendamai nagari-nagari yang bersengketa. (3)Parak Kangkung Koto Piliang, dengan kedudukan di Nagari Batipuh. Tugasnya ialah Pengawas keamanan dalam negeri. (4) Camin Taruih Koto Piliang (Cermin Terus Koto Piliang), yang berkedudukan di Nagari Cameti Senangbakar koto Piliang, bertugas sebagai Badan Penyelidik. Ialah sebagai Panglima Perang. (5) Harimau Campo Koto Piliang (Harimau Campa Koto Piliang) dengan kedudukan di Nagari Batipuh. Tugasnya (6) Cumati Koto Piliang, (Cemati Koto Piliang) dengan kedudukan di Nagari Sulit Air, bertugas sebagai pelaksana hukum. (7) Gajah Tungga Koto Piliang (Gajah Tunggal Koto Piliang) dengan kedudukan di Nagari Silungkang. Bertugas sebagai Kurir.
            Wilayah diluar luhak yang dipimpin penghulu pada nagari yang berstrata otonomi dinamakan wilayah Rantau. Statusnya langsung dibawah raja. Dalam mamang diungkapkan dengan Luhak Bapanghulu Rantau Barajo (Luhak Berpenghulu Rantau Beraja), kepala pemerintahan diwilayah rantau adalah orang yang diangkat raja. Yang pada umumnya adalah anggota kerabatnya sendiri. Baik karena hubungan darah maupun karena hubungan perkawinan, panggilan atau kepala pemirintahan itu tidak seragam. Tampaknya disesuaikan dengan panggilan setempat yang telah ada sebelumnya.