Oleh
Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz
Sebagian anak muda dan jama’ah dakwah menerapkan matode perjuangan dengan cara pemboman terhadap bangunan pemerintah atau swasta, dan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh pejabat atau yang lainnya. Mereka menyatakan bahwa ini termasuk jihad, lalu menghalalkan harta, jiwa serta melaksanakan amalan jihad menentang pemerintah atau penguasa yang dianggap kafir, dengan anggapan mendapatkan pahala atas perbuatan tersebut.
Sudah pasti, fenomena pemboman, pembunuhan dan penculikan tersebut menimbulkan kekacauan, ketakutan dan ketidak amanan. Serta menyebabkan orang-orang dalam keadaan takut dan tidak tenang. Karena, orang yang ingin masuk ke dalam bengunan pemerintah atau selainnya, menjadi takut bila terjadi peledakan di bangunan tersebut. Jika mengendarai kendaraan, maka ditakutkan terjadi penculikan, pembunuhan atau peledakan atas mobilnya. Jika bepergian dengan pesawat, mengkhawatirkan pesawat tersebut sebelumnya telah direncanakan dibajak atau diledakkan. Demikianlah, sehingga kehidupanpun berhenti, orang tidak dapat bekerja dengan lapang dan tenang.
Disini mesti kita pertanyakan, mengapa dibunuh dan diculik? Apakah karena kekufuran dan kemurtadannya? Atau karena ia telah merampas harta, kehormatan dan agama? Apakah ia telah diminta bertaubat? Siapa yang telah memintanya bertaubat? Apakah tidak memungkinkan terjadinya pembunuhan terhadap orang lain ketika penculikan tersebut? Kemudian apa maslahat yang dicapai darinya? Dan apakah dibolehkan khianat? Seluruh pertanyaan ini dan yang lainnya, harus dijawab sebelum melaksanakan operasi seperti ini.
Syaikh Shalih As Sadlaan menyatakan: "Ketika mereka berangkat membunuh jiwa-jiwa untuk mewujudkan keinginan mereka, yaitu menyusahkan pemerintah, lalu mereka menghalalkan darah orang-orang Islam yang masih memberikan loyalitas kepada pemerintah dan bekerja di departemen pemerintahan. Terkadang mereka orang-orang Islam yang shalat. Mengapakah mereka menghalalkan darahnya? Karena pemerintah tersebut tidak berhukum dengan syari’at Allah?! Karena pemerintah itu berhukum dengan undang-undang buatan manusia, dan karena pemerintah itu memperbolehkan keberadaan minuman keras di negerinya dan perzinahan secara terang-terangan di negerinya?!"[2]
Beliau menyatakan lagi:
Kita bertanya kepada mereka yang melakukan perbuatan seperti ini. Apa kejahatan mereka? Apa yang mereka dapatkan dari aksi ini? Dan apa hasil yang dicapai dari pembunuhan jiwa muslim? Padahal dijelaskan dalam hadits:
لذَهَابُ الدُّنْيَا كلهَا أَهْوَنُ مِنْ سَفْكِ دَمِّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ ِ
"Hancurnya seluruh dunia lebih ringan dari penumpahan darah seorang muslim".[3]
Sungguh mereka yang melakukan perbuatan itu tidak mampu mengukur atau melihat hasilnya tersebut. Kami mengajak mereka untuk menjelaskan hasil sejak pertama memberontak kepada pemerintah dan akibat yang terjadi dari perbuatan merusak, seperti pemboman, pembunuhan dan pembajakan serta yang sejenisnya. Bukankah hasil yang dirasakan adalah kerusakan dan madharat yang besar kepada orang umum dan khusus? Sungguh kerusakan yang dihasilkan akibat manhaj ini jauh lebih besar dari kemaslahatan yang mereka inginkan, jika disana ada maslahat yang mu’tabar.[4]
Disini ada permasalahan penting, yaitu sebagian orang memandang perbuatan ini termasuk bagian dari jihad. Dan pelakunya, seperti pemboman atau pembunuhan tersebut, jika terbunuh maka dianggap syahid di jalan Allah. Untuk menjelaskan masalah ini, dan apakah termasuk mati syahid, maka wajib bagi kita untuk mengetahui, apa yang dimaksud mati syahid di jalan Allah?
Syaikh Abu Bakar Al Jazairi, juru nasihat Masjid Nabawi di Madinah berkata: “Apabila terjadi, seorang mujahid terbunuh di medan pertempuran yang terjadi antara kaum muslimin dengan musuhnya, yaitu orang kafir, maka terdapat dua keadaan. Pertama. Kaum muslimin menyerang negeri kafir untuk memasukkan penduduknya ke dalam rahmat Allah, yaitu Islam agama Allah dan kebahagian dunia akhirat. Kedua. Orang kafir menyerang negeri kaum muslimin, seperti perang Uhud, lalu kaum muslimin melawannya, sehingga orang yang gugur dalam perang tersebut sebagai orang yang mati syahid.
Maka yang kedua ini seperti yang pertama, yaitu menurut syari’at termasuk mati syahid, sehingga tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak dishalatkan, serta dikuburkan bersama darah dan pakaiannya tersebut. Di sisi Allah, mereka ini hidup dan tidak mati, berdasarkan firmanNya, yang artinya: "Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb-nya dengan mendapat rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikanNya kepada mereka". [Ali Imran :169, 170].
Disana terdapat satu syarat yang harus ada pada kedua keadaan tersebut. Yaitu, peperangan tersebut harus dengan izin imam kaum muslimin dan di bawah panji penglima mereka. Seandainya seorang muslim berperang sendirian, atau bersama beberapa orang tanpa izin imam kaum muslimin, maka peperangan tersebut batil. Jika ia mati, maka tidak dianggap syahid selamanya. Hal itu karena kurangnya syarat, (yakni) izin imam tersebut. Apalagi jika disana terdapat perjanjian damai antara kaum muslimin dengan orang-orang kafir tersebut untuk gencatan senjata dan tidak saling mengganggu.
Dari sini, maka pembunuhan dan pemboman yang membunuh anak kecil, orang tua, laki-laki atau perempuan yang dilakukan sebagian pemuda Islam di negeri kaum muslimin, dan dilakukan dengan membawa syi’ar jihad dan memerangi orang zhalim yang tidak berhukum dengan hukum Islam, serta menuntut penerapan hukum Islam dan menegakkan pemerintahan Islam, semuanya adalah amalan yang batil dan rusak. Sama sekali tidak bisa dibenarkan penisbatannya kepada Islam, syari’at Allah dan agamaNya yang benar. Demikian juga, serorang muslim tidak dibolehkan membenarkan dan mendukungnya, meskipun dengan satu kata atau satu dirham. Itu semua hanyalah kezhaliman, kejelekan dan kerusakan di muka bumi ini.
Lebih dari itu -demi Allah- sama sekali tidak akan menumbuhkan kebaikan, apalagi mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islami. Kenyataan telah membuktikannya. Karena jalan mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islamiyah, ialah dengan cara masyarakat dan umat ini menyerahkan dan menghadapkan hati dan wajah mereka kepada Allah, sehingga hati dan jiwa mereka menjadi suci, terwujud persatuan dan lurusnya perkara mereka. Hal ini tampak pada kebangkitan mereka melaksanakan kewajiban, meninggalkan yang haram, memenuhi cahaya ilmu Ilahi pada diri mereka dan seluruh aspek kehidupan mereka.
Wahai hamba Allah! Inilah jalan menuju penerapan hukum Islam dan mewujudkan pemerintahan Islami.
Pandangan selayang kepada sirah (sejarah) Rasulullah dan sahabatnya mendukung hakikat ini dan mengharuskannya. Sungguh, Nabi n menghabiskan 13 tahun di Mekkah setelah kenabiannya, dengan merasakan gangguan, penentangan dan kecongkakan orang-orang musyrik. Tidak pernah sekalipun Beliau mengatakan kepada salah seorang sahabatnya “Culik fulan!” atau “Bunuh fulan”. Lalu Beliau berhijrah membawa agama dan dirinya ke Madinah, tinggal dan menetap disana. Dan tidak pernah memerintahkan seseorang dari sahabatnya untuk membunuh atau menculik seorang dari musuhnya, sampai turun perintah Allah untuk itu dalam firmanNya, yang artinya: Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnaya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (Al Hajj:39). Itu setelah terbentuk satu umat di bawah kepemimpinan Beliau yang bijaksana.
Ini hukum umum. Hendaklah kaum muslimin mengetahuinya, khususnya para ulama mereka yang memilih bolehnya hukum pengeboman dan penculikan ini, dan perbuatan yang menghasilkan pertumpahan jiwa, dan terpenuhinya penjara-penjara serta kejadian-kejadian yang mencoret Islam dengan aib dan kejelekan. Islam berlepas diri dari itu semua”.[5]
Demikianlah mati syahid di jalan Allah, sebagaimana dijelaskan Syaikh Abu Bakar Al Jazairi. Tidaklah ada setelah kebenaran, kecuali kesesatan!
Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya: Apakah gerakan bawah tanah disyari’atkan dalam Islam? Khususnya di negeri yang Islam dan kaum muslimin ditekan?
Beliau menjawab: “Allah berfirman, yang artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al Baqarah : 286) dan : Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (At Taghabun : 16).
Kaum muslimin dengan para musuhnya, memiliki dua keadaan. Pertama. Kaum muslimin tidak memiliki negara yang melindungi mereka dan tidak memiliki kekuatan yang membela mereka dari para musuhnya. Pada keadaan seperti ini, wajib bagi kaum muslimin berdakwah kepada Allah dan menjelaskan Islam dengan lisan saja, sebagaimana keadaan kaum muslimin bersama Nabi di Makkah sebelum hijrah. Dalam keadaan seperti ini, mereka tidak boleh melakukan penculikan dan gerakan bawah tanah yang menyeret kepada kemudharatan dan dijajah musuh. Karena, mudharat penculikan dan gerakan bawah tanah ini lebih besar dari kemaslahatannya. Kedua. Kaum muslimin memiliki negara dan kekuatan serta kemampuan. Dalam keadan seperti ini, diwajibkan atas mereka dua hal, yaitu berdakwah dan jihad di jalan Allah tanpa dusta dan khianat, seperti keadaan Nabi dan kaum muslimin setelah hijrah ke Madinah.
Pembagian yang saya sampaikan ini diambil dari sirah (sejarah) Nabi bersama kaum kafir. Beliau merupakan contoh teladan bagi kaum muslimin sampai hari kiamat, sebagaimana firman Allah, yang artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. [Al Ahzab:21].
Sudah menjadi kewajiban seorang muslim untuk berhijrah dari negeri kafir ke negeri kaum muslimin jika memungkinkannya. Apabila tidak mungkin, maka ke negeri kafir yang lebih ringan bahayanya terhadap agamanya, sedapat mungkin dalam rangka mempertahankan agamanya”.[6]
CONTOH SEBAGIAN PERUSAKAN DAN HUKUMNYA
Berikut ini kami jelaskan sebagian contoh operasi perusakan yang kita saksikan dan kita dengar setiap hari melalui alat komunikasi, dengan menjelaskan hukumnya dan pendapat para ulama dalam masalah tersebut.
1. Pembunuhan Duta Besar dan Korp Diplomatik.
Tidak boleh membunuh atau merampas harta para duta besar dan korp diplomatik bila masuk ke negara Islam dengan perjanjian keamanan.
Dalam masalah ini, Imam Ibnu Qudamah berkata : “Jika seorang kafir harbi masuk ke negeri Islam dengan perjanjian keamanan, lalu menyimpan hartanya kepada seorang muslim, atau seorang ahli dzimmah, atau menghutangkan keduanya, kemudian ia kembali ke negara kafir harbi, maka kita lihat, jika ia masuk sebagai pedagang atau utusan (delegasi) atau wisata atau karena hajat kebutuhan yang ia tunaikan, kemudian kembali ke negara Islam, maka ia aman dalam jiwa dan hartanya, karena ia tidak keluar demikian dari niat tinggal di negeri Islam, sehingga disamakan dengan ahli dzimmah, jika masuk negeri dengan sebab tersebut.
Seorang duta besar atau delegasi, seperti mukmin, baik ia membawa risalah atau berjalan diantara dua kelompok yang berperang untuk perdamaian, atau berusaha menghentikan peperangan dalam waktu yang memungkinkan untuk memindahkan orang yang terluka dan terbunuh, atau karena tugas-tugasnya sebagai diplomatik, dan juga pada orang yang melaksanakan sesuatu dengan nama diplomatik dalam istilah modern.
Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan hadits Nu’aim bin Mas’ud, bahwa Rasulullah berkata kepada utusan (delegasi) Musailamah :
لَوْلَا أَنَّ الرُّسُلَ لَا تُقْتَلُ لَضَرَبْتُ أَعْنَاقَكُمَا
"Seandainya para utusan (delegasi) boleh dibunuh, tentulah aku akan memotong leher kalian berdua".[7]
Rasulullah, setelah membaca surat Musailamah, berkata kepada kedua utusan tersebut:
مَا تَقُولَانِ أَنْتُمَا قَالَا نَقُولُ كَمَا قَالَ
"Apa pendapat kalian berdua?” Keduanya menjawab: “Kami berpendapat sebagaimana yang ia sampaikan”. Maksudnya, kedua utusan itu mengakui kenabian Musailamah Al Kadzab.
Ketika kaum Quraisy mengutus Abu Rafi’ kepada Rasulullah, lalu masuklah iman ke hatinya, maka ia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي وَاللَّهِ لَا أَرْجِعُ إِلَيْهِمْ وَ أَبْقَى مَعَكُمْ مُسْلِمًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَا أَخِيسُ بِالْعَهْدِ وَلَا أَحْبِسُ الْبُرُدَ فَارْجِعْ إِلَيْهِمْ آمِيْنًا فَإِنْ وَجَدْتَ بَعْدَ ذَلِكَ فِي قَلْبِكَ مَا فِيْهِ الْآنَ فَارْجِعْ إِلَيْنَا
"Wahai, Rasulullah. Saya tidak ingin kembali, dan ingin tinggal bersama kalian sebagai muslim”. Lalu Rasulullah bersabda, “Saya tidak akan melanggar perjanjian, dan tidak akan menahan utusan (delegasi). Maka kembalilah kepada mereka dalam keadaan aman. Jika kamu dapati setelah itu di hatimu apa yang ada sekarang, maka kembalilah kepada kami." [8]
Dalam kitab Al Kharaj, karya Abu Yusuf dan kitab As Siyar Al Kabir, karya Muhammad, terdapat pernyataan: Apabila utusan tersebut memiliki persyaratan, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menunaikannya dan mereka tidak dibenarkan berkhianat terhadap utusan musuh. Meskipun orang kafir membunuhi tawanan muslim yang ditahan mereka, maka utusan mereka tidak boleh dibunuh, dengan dasar sabda Rasulullah:
وَفَاءٌ بِغَدَرٍ خَيْرٌ مِنْ غَدَرٍ بِغَدَرٍ
"Menunaikan sesuatu yang orang lain mengkhianati, lebih baik dari mengkhianati karena dikhianati".
Ibnu Qudamah berkata: “Jika orang yang mendapat keamanan (dari kaum muslimin) di negeri Islam mencuri atau membunuh atau merampok, kemudian kembali ke negaranya di negeri kafir, kemudian pulang kembali dalam keadaan mendapatkan keamanan kedua kali, maka ditunaikan apa yang menjadi keharusannya pada keamanan yang awal”.[9]
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya : Apakah diangap membunuh para tokoh negara dan selainnya termasuk khianat? Apakah boleh membunuh orang kafir?
Beliau menjawab: “Tidak boleh membunuh orang yang diberi keamanan (musta’man) atau mu’ahid (yang punya perjanjian keamanan) atau ahli dzimah, apalagi seorang muslim. Telah dijelaskan dalam satu hadits:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يُرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ
"Barangsiapa yang membunuh mu’ahid, tidak akan mencium bau syurga".[10]
Jika yang dimaksud kepala negara atau pejabat tinggi, maka dosanya lebih besar. Hal itu karena sudah pasti, yaitu seperti kepala satu perusahan yang besar atau yayasan, sehingga pembunuhannya menimbulkan kerugian terhadap negara. Jika seandainya ia berbuat sesuatu yang mengganggu, maka hal itu dilaporkan kepada mahkamah syari’at untuk diterapkan padanya hukum Allah”.[11]
2. Pembajakan Pesawat Dan Kapal Laut Serta Penyanderaan.
Ini salah satu terorisme dan mengikuti langkah orang-orang jahat, ketika menjadikan orang-orang yang tidak berdosa sebagai perisai dan menyerahkan jiwa-jiwa mereka kepada bahaya, baik mereka itu laki-laki atau perempuan, besar atau kecil, dari kaum muslimin atau orang yang tidak boleh dibunuh. Dalam perbuatan ini terdapat tipuan yang tercela dan merusak keamanan, menghancurkan kemaslahatan negara dan manusia. Pada umumnya, perbuatan ini tidak menghasilkan kemaslahatan yang berarti. Karena itu, kita memandangnya sebagai sesuatu yang terlarang dan kejahatan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
عُذِّبَتْ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ حَبَسَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ قِيْلَ لهَا لَا أَنْتِ أَطْعَمْتِهَا وَلَا سَقَيْتِهَا حِينَ حَبَسْتِيهَا وَلَا أَنْتِ أَرْسَلْتِهَا فَأَكَلَتْ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
"Seorang wanita diadzab karena kucing yang ia kurung sampai mati, lalu ia masuk neraka karena itu. Dikatakan kepadanya: Tidak kamu beri makan dan minum ketika kamu mengurungnya, dan tidak pula kamu lepas sehingga makan dari serangga tanah".[12]
Perbuatan wanita ini menunjukkan kekerasan hati dan hilangnya rahmat darinya. Sedangkan rahmat tidak hilang, kecuali dari hati orang yang celaka. Perbuatan mereka, tidak lebih baik dari perbuatan wanita tersebut.
Sebaliknya dari kisah di atas, terdapat riwayatkan Al Bukhari dari hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِي فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقِيَ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا قَالَ فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
"Ketika seseorang berjalan, lalu merasa sangat dahaga. Kemudian ia turun ke satu sumur dan minum darinya, kemudian keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing menjulurkan lidahnya makan tanah karena kehausan. Lalu ia berkata: “Sungguh anjing ini telah tertimpa seperti yang menimpaku,” maka ia memenuhi khuf (kaus kaki kulitnya), kemudian ia gigit dengan mulutnya, kemudian naik dan memberi minum anjing tersebut. Kemudian Allah menerima amalannya sehingga mengampuninya. Maka para sahabat bertanya: “Wahai, Rasulullah! Apakah kami akan mendapat pahala dari binatang?” Beliau menjawab,”Setiap (memberi minum) makhluk hidup, ada pahalanya." [13]
Wahai, orang yang berakal! Ambillah pelajaran dari semua ini.[14]
Syaikh Ibnu Baz berkata: “Sudah dimaklumi, semua orang yang mempunyai pengetahuan, bahwa pembajakan pesawat dan menghalangi manusia dari bepergian dan lain-lainnya termasuk kejahatan besar dunia yang mengakibatkan kerusakan besar, kemadharatan yang banyak, mengorbankan orang yang tidak berdosa, dan sangat mengganggu mereka.
Sebagaimana telah dimaklumi, madharat dan keburukan kejahatan ini tidak hanya menimpa satu negara saja dan satu kelompok saja, melainkan juga menimpa seluruh dunia. Sudah pasti, demikianlah akibat kejahatan ini. Maka wajib bagi pemerintah dan para pemimpin dari kalangan para ulama dan yang lainnya, agar memberikan perhatian serius dan mengeluarkan segala kekuatan untuk menghentikan kejelekan kejahatan ini dan menghancurkannya.
Allah telah menurunkan kitabNya yang mulia sebagai penjelas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslimin, dan mengutus NabiNya Muhammad sebagai rahmat bagi alam semesta, hujjah atas hamba-hambaNya. Allah juga mewajibkan seluruh jin dan manusia untuk berhukum dan mengembalikan hukum kepada syari’at Muhammad, serta mengembalikan perselisihan kepada KitabNya dan Sunnah RasulNya Muhammad, sebagaimana firmanNya, yang artinya: Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (An Nisa’:65), dan firmanNya, yang artinya: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi oang-orang yang yakin? (Al Maidah:50), serta firmanNya, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisa’:59).
Para ulama bersepakat, makna mengembalikan kepada Allah, adalah kembali kepada KitabNya yang mulia, dan mengembalikan kepada RasulNya, yaitu kembali kepada Beliau n pada masa hidupnya dan kepada Sunnah Beliau yang shahih setelah wafatnya.
Demikian juga Allah befirman, yang artinya: Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Asy Syura:10).
Seluruh ayat di atas dan yang semakna dengannya menunjukkan wajibnya mengembalikan perselisihan manusia kepada Allah dan RasulNya. Hal itu dengan merujuk kepada hukum Allah dan menghindari semua yang menyelisihinya dalam semua perkara. Yang terpenting lagi seperti perkara yang madharat dan kejelakannya bersifat umum, seperti pembajakan.
Sudah menjadi kewajiban bagi negara yang berhasil menangkap para pembajak untuk menghukum mereka dengan syari’at Allah, karena akibat yang ditimbulkan kejahatan besar mereka berupa hak-hak Allah dan hambaNya, madharat yang banyak dan kerusakan yang besar. Tidak ada solusi yang dapat menghancurkan dan menghentikan keburukannya, kecuali yang ditetapkan Allah dalam KitabNya dan yang disampaikan oleh sebaik-baik makhluk, Nabi Muhammad n . Itulah solusi yang wajib difahami oleh para pembajak, korban pembajak dan orang yang memiliki hubungan dengan mereka serta lainnya. Demikian juga, jika mereka mukmin, hendaknya berlapang dada dengan hukum tersebut. Apabila mereka bukan kaum mukminin, maka Allah telah memerintahkan NabiNya untuk menerapkan hukum pada mereka, sebagaimana firman Allah, yang artinya: dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kemu mengikuti hawa nafsu mereka. ( Al Maidah : 49), dan firmanNya, yang artinya : Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil. (Al Maidah:42).
Berdasarkan keterangan di atas, maka wajib atas negara tempat beradanya para pembajak membentuk komisi yang terdiri dari para ulama syari’at Islam untuk meneliti perkara ini dan mempelajari aspek-aspeknya, serta hukum syari’atnya. Para ulama tersebut memiliki kewajiban untuk menghukumi perkara ini sesuai dengan dalil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan memperhatikan penjelasan para ulama tentang ayat muharabah (ayat tentang hukuman bagi pelaku kerusakan di bumi, seperti perampok dll.) dari surat Al Maidah, juga penjelasan para ulama dalam seluruh madzhab dalam bab hukmu qutha’ ath thariq, kemudian mengeluarkan hukum yang dikuatkan dengan dalil-dalil syari’at.
Sedangkan pemerintah (penguasa) yang menjadi tempat berlindung para pembajak, berkewajiban menerapkan hukum syar’i karena taat kepada Allah, mengagungkan perintahNya menerapkan syari’atNya, menghapus kejahatan besar, semangat memberi keamanan dan merahmati korban pembajakan serta menenangkan mereka.
Adapun undang-undang yang dibuat manusia tentang hal itu tanpa bersandar kepada kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, maka semuanya merupakan buatan manusia, dan orang Islam tidak boleh berhukum dengannya. Sebagiannya tidak lebih baik dari yang lainnya untuk dijadikan hukum, karena semuanya termasuk hukum jahiliyah dan hukum thaghut, yang Allah peringatkan dan nasabkan kepada orang munafik yang senang berhukum kepadanya, sebagaimana firman Allah, yang artinya : Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu. Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (An Nisa’:60-61).
Orang Islam tidak boleh menyerupai musuh-musuhnya (kaum munafiqin) dengan berhukum kepada selain Allah dan menolak hukum Allah dan RasulNya. Tidak boleh juga berhujjah (berdalih) dengan keadaan kebanyakan kaum muslimin sekarang yang berhukum kepada undang-undang buatan manusia, karena hal ini tidak menghalalkan dan menjadikannya boleh. Bahkan itu termasuk kemungkaran yang paling besar, walaupun kebanyakan orang terjerumus padanya. Dan terpuruknya kebanyakan orang pada satu perkara, tidak menunjukkan dibolehakannya (perkara tersebut), sebagaimana firman Allah, yang artinya: Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalanNya dan mereka hanya mengikuti prasangka dan mereka hanya mengira-ngira saja. (Al An’am:116).
Setiap hukum yang menyelisihi syari’at Allah, adalah termasuk hukum jahiliyah. Allah berfirman, yang artinya: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al Maidah:50).
Allah mengkhabarkan, bahwa berhukum kepada selain hukum Allah adalah kufur, zhalim dan fasiq dalam firmanNya, yang artinya: Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al Maidah:44) dan, Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. (Al Maidah:45) dan, Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (Al Maidah:47).
Ayat-ayat di atas dan yang semakna, mewajibkan kaum muslimin agar waspada, sehingga tidak berhukum dengan selain hukum Allah, berlepas darinya, bersegera kepada hukum Allah dan RasulNya. berlapang dada dan pasrah menerimanya.
Apabila kejadiannya memiliki madharat yang merata, seperti pembajakan, maka kewajiban merujuk kepada Allah dan RasulNya lebih kuat dari selainnya dan lebih wajib lagi. Karena, Allah adalah Al Hakim Al Khabir, Ahkamul Hakimin, Arhamur Rahimin. Allah mengetahui apa saja yang menjadi kemaslahatan hambaNya, dan menolak madharat dari mereka, serta menghentikan kerusakan pada saat itu atau yang akan datang. Sehingga wajib mengembalikan hukum dalam perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, karena pada keduanya terdapat kecukupan, pelega dan solusi terbaik atas segala permasalahan, serta penghilang semua kejelekan bagi orang yang berpegang teguh kepadanya, istiqamah, menghukum dengannya dan berhukum kepadanya. Sebagaimana telah dijelaskan hal itu dalam ayat-ayat muhkam.
Karena besar dan bahayanya kejahatan ini, saya memandang wajibnya menyebarkan pernyataan seperti ini untuk menasihati umat dan melepas tanggung jawab, serta mengingatkan orang umum akan kewajiban ini. Juga untuk tolong-menolong bersama para pemimpin umat dalam kebaikan dan taqwa”.[15]
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya: Sebagian orang melakukan pembajakan pesawat atau kapal laut dengan maksud menekan instansi yang bertanggung jawab terhadap pesawat dan kapal tersebut, dan terkadang mengancam membunuh para penumpangnya. Bahkan kadang-kadang dibunuh langsung hingga tuntutannya dipenuhi. Apa hukum perbuatan ini? Khususnya perbuatan ini membuat ketakukan para penumpang?
Beliau menjawab:
Negara berkewajiban memberikan tindakan prefentif secukupnya, untuk menahan para pemberontak tersebut dan menangkap mereka. Sebagaimana juga wajib menambah personil kelompok penerbang dengan orang yang dapat melindungi mereka, dan dapat melawan orang-orang yang berusaha membajak tersebut. Demikian juga, mereka harus melakukan pemeriksaan yang sempurna sebelum terbang, jangan membiarkan seorangpun melewati satu tempat, kecuali setelah dipastikan tidak membawa senjata atau hanya sekedar besi, kecuali setelah diketahui. Walaupun demikian, sebagian kejadian dapat dilakukan dengan upaya penyelamatan yang dilakukan sebagian pilot dengan merubah arah penerbangan. Sehingga bila disana ada tentara atau penumpang yang mampu mengalahkan mereka, maka rencana para pembajak tersebut bisa digagalkan.
Sudah pasti pembajakan ini merupakan kesalahan, kebodohan, kesesatan di luar batas, mengganggu keamanan para penumpang dan mengancam dengan sesuatu, yang para penumpang tersebut tidak mampu melaksanakan dan menunaikannya. Wallahu a’lam.
3. Bom Bunuh Diri. [17]
Yazid bin Abi Habib meriwayatkan dari Aslam Abu Imran, beliau berkata:
غَزَوْنَا الْقُسْطَنْطِينِيَّةَ وَعَلَى الْجَمَاعَةِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ وَالرُّومُ مُلْصِقُو ظُهُورِهِمْ بِحَائِطِ الْمَدِينَةِ فَحَمَلَ رَجُلٌ عَلَى الْعَدُوِّ فَقَالَ النَّاسُ مَهْ مَهْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يُلْقِي بِيَدَيْهِ إِلَى التَّهْلُكَةِ فَقَالَ أَبُو أَيُّوبَ سُبْحَانَ الله! إِنَّمَا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِينَا مَعْشَرَ الْأَنْصَارِ لَمَّا نَصَرَ اللَّهُ نَبِيَّهُ وَأَظْهَرَ الْإِسْلَامَ قُلْنَا هَلُمَّ نُقِيمُ فِي أَمْوَالِنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ فَالْإِلْقَاءُ بِالْأَيْدِي إِلَى التَّهْلُكَةِ أَنْ نُقِيمَ فِي أَمْوَالِنَا وَنُصْلِحَهَا وَنَدَعَ الْجِهَادَ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو أَيُّوبَ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى دُفِنَ بِالْقُسْطَنْطِينِيَّةِ فَقَبْرُهُ هُنَاكَ.
"Kami memerangi Konstantinopel yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Khalid bin Al Walid. Sedangkan tentara Rumawi menyandarkan punggung mereka ke tembok kota (menanti kaum muslimin menyerang). Lalu ada seorang yang menyerang musuh sendirian. Orang-orang berkata: “Mah mah!! La ilaha illallah, ia ingin menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam kebinasaan!” Abu Ayyub berkata: “Subhanallah! Ayat ini turun pada kami, kaum Anshar, ketika Allah memenangkan NabiNya dan agamaNya,” kami menyatakan: “Marilah kita urusi harta kita, lalu turunlah firman Allah: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (Al Baqarah:195)”. Menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan adalah dengan berdiam mengurusi harta dan mengembangkannya dan meninggalkan jihad di jalan Allah. Lalu Abu Ayyub terus berjihad di jalan Allah sampai dikubur di Konstantinopel dan kuburannya ada disana".
Abu Ayyub mengkhabarkan kepada kita, bahwa menjatuhkan diri sendiri dalam kebinasaan itu adalah meninggalkan jihad di jalan Allah, dan ayat turun berkaitan dengan hal itu. Diriwayatkan semisal ini dari Hudzaifah, Al Hasan, Qatadah, Mujahid dan Adh Dhahak. Imam At Tirmidzi meriwayatkan yang semakna dengan hadits ini, dan berkata: “Ini hadits hasan gharib shahih”.
Para ulama berselisih pendapat tentang seseorang yang dalam peperangan melakukan penyerangan terhadap musuh sendirian. Al Qasim bin Mukhaimarah, Al Qasim bin Muhammad dan Abdul Malik dari ulama madzhab Malikiyah berpendapat, seseorang diperbolehkan sendirian menyerang tentara yang banyak jika memiliki kemampuan dan niatnya ikhlas untuk Allah. Apabila tidak memiliki kekuatan, maka itu termasuk menjatuhkan diri sendiri ke dalam kebinasaan. (Tahlukah). Sedangkan yang lain ada yang berpendapat, jika menginginkan mati syahid dan berniat ikhlas, maka menyeranglah. Karena, maksudnya ia menyerang seorang dari mereka, dan itu jelas dalam firmanNya, yang artinya: Dan diantara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah (Al Baqarah:207).
Ibnu Khawaiz Mandad berkata: “Apabila seseorang menyerang seratus atau sejumlah tentara atau sekelompok maling dan perampok serta khawarij, maka memiliki dua keadaan. (Yaitu) jika ia tahu dan diperkirakan ia akan membunuh yang diserang dan ia selamat, maka itu baik. Demikian juga seandainya ia tahu atau diperkirakan ia akan terbunuh [18], namun akan merusak atau memberikan bala’ (kepada musuh) atau memberikan pengaruh yang bermanfaat bagi kaum muslimin, maka boleh juga.
Al Qurthubi berkata,”Telah sampai berita kepada saya, bahwa tentara kaum muslimin, ketika berjumpa dengan tentara Persia, kuda-kuda perang kaum muslimin lari karena ada gajah. Lalu seorang dari mereka sengaja membuat patung gajah dari tanah dan membiasakan kudanya sampai terbiasa (melihat gajah). Ketika esoknya kudanya tidak lari dari gajah, lalu ia menyerang gajah yang menyerangnya. Maka ada yang menyatakan, ‘Sungguh ia akan membunuhmu,’ maka ia menjawab,’Tidak mengapa aku terbunuh asal kaum muslimin menang’.”
Demikian juga pada perang Yamamah. Ketika Banu Hanifah berlindung di Hadiqah, seorang muslimin (yaitu Al Bara’ bin Malik) berkata: “Letakkan saya di Al Juhfah, dan lemparkan saya kepada mereka,” lalu mereka lakukan dan ia memerangi Banu Hanifah sendirian, dan berhasil membuka pintu bentengnya.
Saya (Al Qurthubi) berkata,”Termasuk dalam masalah ini juga, diriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,’Bagaiman pendapatmu jika saya terbunuh di jalan Allah dengan sabar dan mengharap pahala?’ Beliau menjawab,’Engkau mendapat Syurga’. Lalu ia terjun ke tengah-tengah musuh sampai terbunuh”.
Al Qurthubi berkata lagi: “Muhammad bin Al Hasan berkata: ‘Seandainya seorang sendirian menyerang seribu kaum musyrikin, maka tidak mengapa selama ia masih berharap selamat atau memberikan kekalahan kepada musuh. Apabila tidak demikian, maka itu dilarang. Karena, ia membiarkan dirinya untuk binasa tanpa memberi manfaat kepada kaum muslimin. Jika tujuannya untuk memotivasi kaum muslimin agar berani menyerang mereka, sehingga berbuat seperti yang ia perbuat, maka tidak jauh dari kebolehan dan karena ada kemanfaatan kepada kaum muslimin pada sebagian aspek. Adapun bila tujuannya menanamkan ketakutan pada musuh dan untuk menampakkan ketabahan dan kehebatan kaum muslimin dalam agamanya maka tidak jauh juga dari kebolehan. Apabila ada padanya kemanfaatan bagi kaum muslimin, lalu jiwanya hilang untuk kemulian agama dan merendahkan kekufuran, maka inilah kedudukan mulia, yang Allah memuji kaum mukminin dengan firmanNya, yang artinya: Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka. (At Taubah:111), dan yang lainnya dari ayat-ayat pujian Allah bagi orang yang berbuat demikian.
Berdasarkan hal ini, sudah sepatutnya hukum amar ma’ruf nahi munkar diharapkan memberikan manfaat pada agama, maka memperjuangkannya sampai mati merupakan derajat tertinggi orang yang mati syahid. Allah berfirman, yang artinya : Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah) (Luqman:17).
Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Beliau bersabda:
أَفْضَلُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ وَ رَجُلٌ تَكَلَّمَ بِكَلِمَةِ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ فَقَتَلَهُ
"Seutama-utama orang yang mati syahid adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib dan orang yang menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang jahat, lalu pemimpin itu membunuhnya".[19]
Adapun membunuh sebagian tentara dan masyarakat dalam operasi seperti ini dengan kondisi kita sekarang ini, maka ia termasuk mengikuti jalan para pelaku kejahatan, karena semua itu tidak lepas dari tipu daya yang diharamkan, menimbulkan gangguan dan madharat terhadap orang yang tidak berdosa, tanpa kemaslahatan yang mu’tabar.
Syaikh Ibnu Jibrin ditanya : Ada seseorang yang mengikat dirinya dengan bom, kemudian masuk ke bangunan pemerintah atau non pemerintah, atau masuk ke kerumunan manusia yang berisi orang kafir dan yang lainnya, kemudian meledakkan dirinya. Bagaimana hukum perbuatan ini? Apakah perbuatan seperti ini dianggap jihad? Apakah pelakunya dapat dikatakan syahid, ataukah dianggap bunuh diri?
Beliau menjawab : “Secara zhahir itu termasuk bunuh diri, karena ia yakin jika hal itu akan membunuh dirinya sendiri sebelum yang lainnya. Namun terkadang dibolehkan jika dilakukan di wilayah kafir harbi, dan ia tahu akan terbunuh di tangan musuh tersebut, baik cepat atau lambat, atau akan mendapatkan adzab yang keras. Dan tidak mendapatkan jalan keluar, kecuali meledakkan dirinya dan membunuh selainnya dari kalangan musuh yang menyiksa kaum muslimin, sehingga dari mereka terbunuh sejumlah orang yang dapat melemahkan kekuatan mereka, atau mengurangi gangguan dan memberikan rasa takut atas mereka. Terkadang hal itu dimubahkan walaupun membunuh dirinya sendiri, jika ia tahu pasti akan dibunuh atau dijajah, lalu bermaksud melepaskan gangguan dan menyelamatkan dirinya. Perkaranya diserahkan kepada Allah.
Beliau ditanya lagi : Sebagian orang menyatakan dibolehkannya meledakkan diri sendiri dengan menganalogikan kepada kisah Ghulam Ukhdud. Bagaimana jawaban dalam hal itu?[20]
Dalam hal ini tidak ada Qiyas (analogi). Dalam kisah ghulam tersebut tidak ada bunuh diri. Yang ada, mereka membawanya untuk melemparkannya dari atas gunung, lalu Allah menyelamatkan. Kemudian mereka membawa ke laut untuk ditenggelamkan, dan Allah juga menyelamatkannya. Kemudian, ketika ia mengetahui bahwa mereka terus berusaha membunuhnya dan pasti membunuhnya dengan segala cara yang mereka miliki, dengan mengucapkan Bismillahi Rabbi Al Ghulam, maka ia berkata: “Kalian tidak akan bisa membunuhku sampai melakukan apa yang aku perintahkan. Kumpulkan orang di lapangan luas, kemudian ucapkan “Bismilahi Rabbi Al Ghulam”, kemudian panahlah aku”. Dia bermaksud memperdengarkan penyebutan nama Allah kepada orang-orang agar beriman sebagaimana akhirnya terjadi.
Adapun pemboman ini bersandar pada bunuh diri, walaupun maksudnya mencelakakan dan membunuh musuh. Terkadang bunuh diri yang demikian ini diperbolehkan, jika ia tahu akan diadzab sebelum dibunuh, dan pembunuhannya pasti terjadi. Wallahu a’lam.
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Sebagian orang berkata “Dia melakukan amal jihad dalam bentuk bunuh diri. Contohnya, seorang dari mereka memasang bom dalam mobilnya dan menyerang musuhnya dalam keadaan tahu, ia pasti akan mati dalam kejadian itu?”[21]
Beliau menjawab : “Pendapat saya dalam hal ini, bahwa ia telah bunuh diri dan akan diadzab di neraka jahannam dengan alat yang dipakai bunuh diri tersebut, sebagaimana telah disabdakan Rasulullah dalam hadits yang shahih. Namun orang yang tidak mengetahui dan melakukannya dengan anggapan itu baik dan diridhai Allah, saya berharap Allah mengampuninya, karena ia berbuat dengan ijtihadnya, walaupun saya pandang tidak ada udzur baginya pada zaman sekarang ini, karena bentuk bunuh diri ini telah terkenal dan diketahui orang, dan wajib bagi seseorang untuk menanyakannya kepada ulama, hingga jelas baginya yang benar dari yang tidak benar.
Ajaibnya, mereka membunuh diri mereka sendiri, padahal Allah melarangnya, sebagaimana firmanNya, yang artinya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An Nisa’:29).
Kebanyakan mereka hanya ingin membalas dendam kepada musuhnya dengan segala cara, baik haram atau halal. Sehingga ia hanya ingin melampiaskan dendamnya saja. Kita memohon kepada Allah untuk memberikan kepada kita pengetahuan dalam agama ini dan beramal dengan amal yang Dia ridhai. Sesungguhnya Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
KESIMPULAN
Telah jelas bagi kita, bahwa masalah pemboman, pembajakan, penculikan dan sejenisnya termasuk amalan yang merusak dan ditolak secara agama dan akal. Tidak melakukannya, kecuali pengikut hawa nafsu atau musuh Islam dan kaum muslimin yang tidak menginginkan kebaikan untuk kaum muslimin. Adapun orang yang melakukannya dengan keyakinan pemerintahnya telah kafir, sehingga wajib baginya untuk memberontak, maka demikian ini merupakan pendapat yang menyelisihi agama Allah dan RasulNya, juga menyelisihi amalan para salaf umat ini.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi Khusus/Tahun VIII/1425H/2004M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan dari kitab Kaifa Nu’alij Waqiana Al Alim? karya Abu Anas Ali bin Husain Abu Lauz, Cetakan Pertama, Tahun 1418 H, tanpa penerbit, hlm. 98-121.
[2]. Syaikh Shalih As Sadlan, Muraja’at Fi Fiqh Al Waqi’ As Siyasi Wal Fikri, disusun oleh Dr. Abdullah Ar Rifa’i, hlm. 78.
[3]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi, no. 1.395; An Nasa’i, no. 3.997, 3.998 dan 4.000 dari hadits Abdullah bin Amru. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no. 2.619 dari hadits Al Bara’ bin ‘Azib. At Tirmidzi berkata,”Dalam bab ini ada hadits dari Sa’ad, Ibnu Abbas, Abu Sa’id, Abu Hurairah, Uqbah bin ‘Amir, Abdullah bin Mas’ud dan Buraidah.
[4]. Syaikh Shalih As Sadlan, Muraja’aat Fi Fiqh Al Waqi’ As Siyasi Wal Fikri, disusun oleh Dr. Abdullah Al Rifa’i, hlm. 78.
[5]. Surat kabar Al Muslimun, Edisi 590, Jum’at, 7 Muharram 1417 H atau 24 Mei 1996 M.
[6]. Surat kabar Al Muslimun, Edisi 32.
[7]. Diriwayatkan Abu Dawud, no. 2.761 dari hadits Nu’aim bin Mas’ud, dan Abu Dawud juga, no. 2.762 dan Ahmad dalam Musnad (1/391) dari hadits Abdullah bin Mas’ud. Ahmad Syakir berkata,”Sanadnya shahih.”
[8]. Diriwayatkan Abu Dawud, no. 2.758; Ahmad dalam Musnad (6/8), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, no. 1.630-Mawarid dan Al Hakim (3/598). Syaikh Al Albani berkata dalam Silsilah Ash Shahihah (702),”Isnadnya shahih. Para perawinya seluruhnya tsiqat, para perawi syaikhan, kecuali Al Hasan bin Ali bin Abi Rafi’, dan beliau tsiqat sebagaimana disebutkan dalam kitab At Taqrib. Hadits ini dibawakan Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah (11/163); Al Arnaauth berkata,”Isnadnya shahih.”
[9]. Al Mughni, karya Ibnu Qudamah (8/401).
[10]. Diriwayatkan oleh Al Bukhari, 3.166 dari hadits Abdullah bin Umar.
[11]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Asy Syaikh Ibnu Jibrin, Al ‘Aqidah (juz delapan) – manuskrip.
[12]. Diriwayatkan oleh Al Bukhari, 3.486 dan Muslim, 2.242 dari hadits Abdullah bin Umar.
[13]. Diriwayatkan Al Bukhari, 2.363 dan Muslim, 2.244.
[14]. Tahshil Az Zaad Li Tahqiq Al Jihad, disusun oleh Sa’id Abdulazhim, hlm. 206 dan 207.
[15]. Makalah Syaikh Bin Baaz yang dipublikasikan dalam Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawi’ah (1/276-289), sebagaimana juga dipunlikasikan oleh Majalah At Tauhid, diterbitkan Anshar As Sunnah Al Muhamadiyah, Mesir, hlm. 8, Edisi 10, Tahun 1393 H.
[16]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu Jibrin, Al ‘Aqidah (juz delapan) – manuskrip.
[17]. Tahshil Az Zaad Li Tahqiq Al Jihad, karya Sa’id Abdulazhim, hlm. 302-304.
[18]. Perkiraan kuat akan mendapat kebinasaan, tidak berarti melakukan pembelaan dengan memasang sabuk bom pemusnah. Karena yang wajib atasnya, ialah mencari sebab keselamatan semampunya, dengan tetap berusaha keras memberikan madharat dan gangguan terhadap musuh, meskipun hingga mengantarnya kepada kematian.
[19]. Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al Ausath (1/245), Al Hakim (3/195) dan dihasankan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 374. Sampai disini penukilan dari Tahshil Az Zaad, Pent.
[20]. Majmu’ Fatawa Wa Rasa’il Asy Syaikh Ibnu Jibrin, (Aqidah juz delapan) –manuskrip.
[21]. Wawancara dengan Syaikh Ibnu Utsaimin yang dilakukan Majalah Ad Dakwah, Edisi 1.598, 28/2/1418H atau 3/7/1997M.