Jumat, 24 Mei 2013

KISAH PERTOBATAN ANAK PUNK


Nama aslinya Darmaputra tapi ia dikenal dengan nama Ambon. Sejak kecil ia mengaku tidak pernah berpegang pada satu agama yang jelas. Orangtuanya yang beragama Hindu tidak menekankan anak-anaknya untuk mengikuti keyakinan mereka. Karena itu pula Ambon kecil terkadang juga ikut dalam ritual agama lain. Yang dia kenang, saat tetangganya merayakan Paskah, ia pun ikut. Ia juga cukup sering pergi ke Gereja.
Ambon kecil pun menjelma anak nakal. Mirisnya, kenakalannya berbeda dari kenakalan anak-anak pada umumnya. Sejak SD ia sudah mengenal narkoba. Ia bahkan sempat menjadi bandar. Beranjak remaja ia masuk makin dalam ke lembah hitam.
Pada masa-masa ini ayah Ambon menjadi mualaf dengan memeluk Islam. Ambon kemudian diajarkan mengenai Islam dan dimasukkan ke pesantren. Di sini kelakukan Ambon justru menjadi-jadi ia seperti mendapat kebebasan dan makin sering mengkonsumsi narkoba sampai akhirnya dia kabur dari pesantren.
 “Kalau minuman bawaannya emosi, kalau ganja bawaannya lucu, ngobrol sama orang bawaannya mau ketawa terus, lucu nggak lucu. Kalau pake obat pikirannya kotor, kalau putaw, khayalannya tinggi, ngefly, pikiran enak. Kalau Sabu lain lagi, seperti ada spirit. Makanya kalau begadang pakai sabu, tiga hari nggak tidur juga kuat,” ujar Ambon menggambarkan petualangnya dengan narkoba kepada Hidayah.
Dalam kondisi demikian, dengan susah payah, Ambon berhasil menamatkan SMU di Bojong Gede sekitar tahun 2003. Begitu lulus, orangtua Ambon memasukkannya ke Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Ia menurut walaupun sebenarnya ia ingin masuk ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Di masa ini Ambon sempat bekerja di sebuah stasiun TV dan mendapat gaji lumayan. Tapi lagi-lagi karena jiwanya labil ia hengkang dan memilih hidup bebas.

Punk to  Punk Muslim
Ambon pun masuk ke komunitas anak Punk. Menurut Ambon untuk masuk ke dalam komunitas tersebut tidak bisa sembarangan. Di era 90-an seluruh anggota Punk harus memiliki kartu anggota dan itu ada harganya. Calon anggota akan melewati perpeloncoan dari anggota lama.
Ambon mengaku, sempat sewaktu dirinya mau bergabung dengan Punk Kelapa Gading ia diharuskan makan sampah. Karena pada prinsipnya, di punk tidak boleh memikirkan soal makan atau tidak, atau nanti makan apa. Begitu juga tidur. Sebagai remaja yang mengusung kebebasan, ia tidak ambil pusing akan tidur dimana.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, rasa bosan dengan ritual hidup mulai menghinggapi hari-hari Ambon. Ia kemudian bertemu seniman jalanan, Budi  Khaeroni, mengantarnya pada pintu pertobatan sekaligus pencarian jati diri yang sempat hilang.
            Di bawah pengawasan Budi, banyak anak jalanan mulai diarahkan pada spiritualitas. Lahirlah kemudian Punk Muslim. Label Punk Muslim serta merta merubah segala tata laku yang ada dalam komunitas punk. Perubahan tersebut bukan main berat. Mereka harus meninggalkan narkoba serta kebiasaan buruk lainnya.
"Karena pada dasarnya saya suka sesuatu yang gambling, saya ingin menjawab tantangan untuk berubah. Dengan berbekal keyakinan dan tak mau menyerah inilah hati saya kembali nyaman," kata Ambon.
Sejak itu pula, adrenalin Ambon dalam mengeksplorasi musik semakin dalam dan mendalam. Ia lebih tekun mendalami musik. Karena berlabel Punk Muslim Ambon membuat lirik lagu bernuansa Islami. Ini tentu menjadi fenomena tersendiri di dunia Punk. “Kami sempat kesulitan mencari vokalis, sebab banyak yang mengaku tak kuat membawakan lagu-lagu Punk Muslim,” ujar Ambon sambil tersennyum.
 Ada kejadian unik pada pada bulan-bulan pertama kemunculan Punk Muslim.Sehabis mentas, semua personil Punk Muslim jatuh sakit. Namun rupanya itulah titik balik mereka menuju perubahan. Sejak itu, komitmen mengkaji Islam lebih dalam mulai tumbuh.
"Kini tujuan saya cuma minta keselamatan di akhirat nanti. Bagaimana caranya jalan di shiratal mustaqim bisa ngebut..." harapnya. [ ]
 Gambar sekedar ilustrasi diambil dari commons.wikimedia.org

Mahabbah Sang Nabi untuk Zainab binti Jahsy


 

Satu lagi lelaku Nabi yang dicemooh habis-habisan kaum Quraisy ketika itu, yakni saat ia memutuskan menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri anak angkatnya, Zaid bin Haritsah. Bagaimana kisah ini bermula dan apa hikmah di baliknya?

Bekas Budak dan Wanita Ningrat 

Sebelum dinikahi, Rasulullah sudah mengenal betul siapa Zainab binti Jahsy. Dialah putri Umaimah binti binti Abdul Muthallib, bibi Rasulullah. Ia dibesarkan di bawah asuhannya sendiri dan dengan bantuannya pula. Kedekatan ini pula yang mengantarkannya pada keputusan bahwa Zainab sudah semestinya dipersunting lelaki shaleh kelak di kemudian hari. Dan pilihan pun jatuh pada Zaid bin Haritsah, bekas budak Rasulullah yang kemudian diangkatnya menjadi anak.
Pernikahannya menjadi bahan gunjingan semesta Mekkah, karena ada banyak rambu-rambu adat Jahiliyah yang dilanggar.
Sayangnya, tali pernikahan itu tidak berjalan mulus. Bahkan sejak awal, saat Rasulullah melamarkannya untuk Zaid, Abdullah bin Jahsy, saudara Zainab, menolak jika Zainab yang dari suku Quraisy terhormat, apalagi ia juga sepupu Nabi sendiri, harus diambil oleh Zaid yang budak belian. Rasa feodalisme dan primordialisme masih tertanam kuat di kalangan Arab. Jika perkawinan ini sampai terjadi, aib besar akan menimpa keluarga Zainab.



Memang belum ada gadis-gadis kaum bangsawan terhormat akan menikah dengan bekas budak. Tetapi Rasulullah justru ingin menghilangkan feodalisme dan primordialisme itu lewat perkawinan Zainab-Zaid. Ia ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali kadar ketakwaannya. Meski demikian, Abdullah tetap kukuh dengan pendiriannya. Rasa ashabiyah-nya (fanatik golongan) lebih kuat ketimbang perintah Rasul. Hingga akhirnya Allah menurunkan wahyu yang tertulis dalam al-Qur’an,
 “Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan  yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasulnya maka sungguhlah dia telah sesat dalam kesesatan yang nyata.”  (QS. Al-Ahzaab : 36)
Maka setelah turun ayat ini, tidak ada lagi alasan Abdullah dan Zainab untuk menolak, selain harus tunduk menerima. Namun sayang, oleh karena sejak awal pernikahan itu dilandasi setengah hati, maka hubungan Zainab-Zaid bak api dalam sekam. Suasana tidak nampak harmonis oleh karena Zainab belum bisa menerima Zaid sepenuh hati.
Mengapa aku mesti hidup berdampingan dengan seseorang yang pernah menjadi budak di rumahnya? Demikian Zainab selalu merasa begitu di hatinya. Setali tiga uang. Zaid pun didera perasaan tertekan. Ia sangat menderita oleh keangkuhan Zainab. Sampai sering dia mengadukan tindakan istrinya itu kepada Rasulullah. Bahkan, ia pernah ingin menceraikannya pula, saking kesalnya. Malangnya kekisruhan yang mewarnai rumahtangga mereka makin membuat jurang dalam sehingga nyaris susah dipertahankan.


Dalam situasi seperti ini, Rasulullah hadir sebagai juru damai, sebagaimana yang kerap dilakukan pada setiap permasalahan yang dihadapi para sahabat, tak terkecuali urusan rumahtangga. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah mendatangi rumah Zaid. Sayangnya Zaid tidak ada di rumah namun sesaat tirai yang menutup kamar di rumah Zaid tersingkap. Angin telah menyibakkan tirai itu, sehingga tampak di dalamnya Zainab sedang membenahi baju. Rasulullah melihat itu, lantas bergegas pergi seraya bertahmid dan terus membasuhi lidahnya dengan kalimat thayyibah. “Subhanalallah al Adziim, subhanallah yang membalik hati,....”
Zainab yang ada di dalam dan menyadari hal tersebut tentu saja mendengar ucapan tersebut. Maka tatkala Zaid datang, Zainab segera menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Zaid diam sejenak mendengar cerita itu, kemudian bergegas menemui Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, aku mendengar engkau telah masuk ke rumahku. Demi ayah bundaku, adakah sesuatu yang tak pantas, apakah harus kuceraikan dia?” Zaid bertanya risau, seakan-akan ada yang salah dengan perilaku Zainab. Tentu saja Rasulullah heran mendengar itu, sehingga ia pun balik bertanya, ‘Apakah ada yang diragukanmu dari Zainab?”
“Sungguh tak ada yang jelek dari dirinya selain dia yang selalu mengangkat-angkat dan sering membanggakan dirinya,” keluh Zaid seraya mengucapkan dengan kata penuh sesal karena khawatir perkataanya menyinggung Rasulullah.
Dan Rasulullah hanya tersenyum melihat kerisauan itu sambil tetap menyuruh Zaid mempertahankan rumahtangganya. “Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah,” yakin Rasulullah.
Zaid menurut. Dia berusaha bersabar dan mencoba bertahan. Namun semakin ia bertahan, semakin sakit hatinya. Hingga akhirnya terpaksa Zaid menceraikanya. Mendengar penceraian itu, Rasulullah sedih dengan derita yang menimpa keduanya. Ingin rasanya pemimpin umat yang kerapkali menjadi mediator para sahabat yang berselisih itu bisa mempertahankan rumahtangga mereka. Sebab mengekalkan hubungan rumahtangga jauh lebih baik dibanding memecahnya. Apalagi dengan putusnya hubungan itu, Zainab menyandang status janda, sebuah status yang amat disandang perempuan yang hidup di tengah liarnya alam Arab saat itu.
Peristiwa tersebut rupanya bocor dan didengar kaum kafir Quraisy. Tentu saja sebagai pihak yang antipati terhadap Rasulullah dan Islam, isu keretakan rumahtangga Zaid-Zainab jadi sasaran empuk mereka untuk semakin memojokan Rasulullah. Maka, dibuatlah rekayasa peristiwa sedemikian rupa. Dihembuskan kabar bahwa Rasulullah telah menjadi biang keretakan rumahtangga Zaid-Zainab. Bahkan bisa jadi kedatangannya di rumah Zaid tanpa kehadiran Zaid menjadi ajang perselingkuhan. Sungguh gosip murahan yang sangat menyudutkan. Dan Rasul pun bertawakal atas tuduhan tersebut.

‘Dinikahkan’ Allah

Babak baru kehidupan Zainab dengan label janda membuatnya sulit menjalani hari-harinya. Karena itu, sempat terlintas dalam benak Rasulullah untuk menikahinya demi menyelamatkan dan menolong Zainab. Akan tetapi, apa kata orang-orang nanti bila seorang ayah menikahi bekas istri anak angkatnya. Meski Rasul terkenal dengan kesabarannya, namun ia merasa berat menerima reaksi orang-orang Arab jika ia sampai menikahi Zainab.
Tapi Allah tampaknya punya skenario lain terkait kehendak yang muncul di hati Rasulullah. Allah telah menyetir hati sang Rasul agar sejalan dengan skenario-Nya. Skenario itu bermula dari rasa suka yang juga muncul di hati Zainab. Maka ketika telah timbul mahabbah antar keduanya, Allah segera menurunkan perintah,” Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya. (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri dari anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyeleseikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab : 37).
Dengan turunnya perintah ini, maka tiada lagi keraguan pada diri Rasulullah untuk menikahi Zainab.
Melalui ayat ini rupanya Allah hendak menurunkan risalah larangan bagi anak mengawini bekas istri ayah angkatnya. Sebab sesungguhnya seorang ayah angkat boleh mengawini bekas istri anak angkatnya. Dalam ayat ini pula dijelaskan bahwa bukan hanya tentang hukum perkawinan itu saja wahyu yang turun berlatar belakang Zainab, tetapi juga tentang perintah hijab, yakni tatkala Rasulullah dan Zainab sedang melangsungkan pernikahan.
Anas meriwayatkan, pesta pernikahan Rasulullah-Zainab berlangsung meriah. Untuk perhelatan tersebut Rasulullah menyembelih seekor kambing. Lewat Anas bin Malik, ia mengundang para sahabat untuk datang dalam walimatul ‘ursy. Tentu saja banyak yang datang pada pesta walimahan orang nomor satu itu. Mereka datang silih berganti. Sekelompok datang, makan, kemudian pergi, dan datang lagi. Demikian seterusnya.
Setelah tamunya pulang semua, mendadak kemudian Rasulullah menutup tirai rumahnya, memisahkan Zainab dan seisi rumah itu. Ternyata ia sedang menerima wahyu yang menyatakan larangan memasuki rumah Nabi saw dan perintah hijab. Wahyu itu ada di surat Al-Ahzab ayat 53.
Pernikahan Rasulullah-Zainab sendiri berlangsung di Madinah, namun terjadi perbedaan pendapat mengenai tahun berlangsunya; ada yang menyatakan tahun 3 H, 4 H, ada juga yang 5 H. Ketika itu usia Zainab baru mencapai 35 tahun.

Kebahagiaan Ummul-Mukminin

Zainab mulai memasuki rumah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya ia selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya.
Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi…. “ (QS. Al-Ahzab: 40)
Zainab sendiri bersuka cita luar biasa seraya menegaskan kepada Rasulullah, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku denganmu atas perintah dari langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.”
Sejak itu Zainab diliputi kebahagiaan yang sangat sampai-sampai ia menjadi istri yang pencemburu terhadap istri Rasul lainnya. Menyikapi hal ini Rasulullah pernah sampai tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati istrinya yang lain, yakni Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab.

Status Kebaikan yang Melekat

Diantara istri-istri Rasulullah, Zainab dikenal dengan kedermawanannya. Aisyah, istri Nabi yang paling muda berkisah, “Rasulullah pernah bersabda, “Paling duluan yang menyusulku dari kalian adalah yang paling panjang uluran tangannya.” Setelah Rasulullah wafat, suatu saat ketika kami berkumpul di rumah salah seorang dari kami, kami lalu berlomba mengukur panjang tangan kami pada tembok. Setelah Zainab wafat, baru kami sadar bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah itu adalah uluran tangan yang suka bersedekah. Dan Zainab paling suka mengulurkan tangannya, yakni menyedekahkan apa yang dimilikinya untuk sabilillah.

Dalam riwayat yang lain Aisyah mengatakan pula, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalam kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.”
Selain Aisyah, Umar ra pun memberi kesaksiannya. Saat itu ia pernah masuk ke rumah Rasulullah untuk menemaninya. Saat itu, keduanya melihat Zainab sedang berdiri shalat dan berdoa. Saat itu Rasul langsung mengatakan kepadanya bahwa Zainab pantas disebut sebagai wanita awwahah (wanita yang khusyuk dan merendahkan dirinya di mata Allah).
Memasuki tahun tahun ke-20 H (ada juga yang mengatakan 21 H), Zainab binti Jahsy wafat. Ia istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusulnya, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, saat usianya 53 tahun. Ia dimakamkan di Baqi’. Seluruh penduduk Madinah berduka dan mengiringinya sampai ke tempat peristirahatan terakhir. Momentum itu, bertepatan dengan ekspansi umat Islam yang mulai merambah wilayah Iskandariyah.

KISAH PELACUR TAUBAT DALAM AL-QURAN

 

Menerima Hidayah, pelacur cantik di masa Nabi SAW ini kabur dari germonya. Ia kukuh bertaubat setelah sebuah ayat Al-Quran turun khusus untuknya.


Hari itu, Abdullah bin Ubay bin Salul --tokoh kaum munafik-- sedang istirahat, melepas penat dan lelah. Tetapi istirahat Ibnu Salul harus terusik karena penjaga rumah tiba-tiba mengetuk pintu.  Ibnu Salul terpaksa bangun dan melihat penjaga bermuka sedih di depannya. Di tangan penjaga itu ada segenggam uang.Uang itu ternyata hasil kerja pegawainya, tapi Ibnu Salul gusar sebab uang itu jumlahnya tak seperti yang diharapkan.
“Sesungguhnya, uang sebesar ini adalah hasil kerja setengah hari bukan hasil kerja sehari penuh…” ujar Ibnu Salul berang.
Tak ingin dituduh menggelapkan uang maka penjaga rumah itu lantas menukas, “Tahukah tuan, kenapa penghasilan tuan sekarang ini menurun?”
“Ya, aku tahu! Semua ini gara-gara Muhammad telah merampas mahkotaku. Ia menjadikan orang-orang menjauh dari budak-budak wanitaku lantaran mereka terpengaruh ajaran-ajaran yang diserukan oleh Muhammad.”
Bersamaan itu, Ibnu Salul mendengarkan suara orang memanggil namanya. Ia kemudian menyuruh penjaga rumahnya untuk melihat siapa yang datang dan penjaga rumah cepat-cepat keluar. Sekeluar dari kamar, penjaga rumah mendapati beberapa orang dari Bani Tamim yang berkunjung ke Madinah. Penjaga rumah sudah mengenal mereka, yang tidak lain adalah para pembesar dari Bani Tamim yang biasa menginap beberapa hari  di tempat Ibnu Salul untuk bersenang-senang setiap kali mereka kembali dari  berdagang atau perjalanan dari Syam.
“Di manakah tuanmu, Ibnu Salul?”  tanya salah seorang dari mereka.
“Ada di dalam…”  jawab penjaga rumah
Tidak ada rasa canggung, para pembesar Bani Tamim itu kemudian masuk. Ibnu Salul cepat-cepat menyembunyikan uang di kamar, lantas segera keluar untuk menemui mereka. Ibnu Salul menyambut dengan hormat dan mereka pun membalas.
“Manakah wanita yang dulu pernah Anda kirimkan untuk kami?”  tanya seorang lelaki di antara para pembesar Bani Tamim itu.  
 “Wanita yang mana, ya? Mereka itu banyak….,”  jawab Ibnu Salul.
“Budak wanita Anda yang paling cantik!”
“Apakah dia itu Masikah?” tanya Ibnu Salul.
“Ya, dia! Tidak salah lagi… ” jawab seorang laki-laki, dengan girang.
“Nanti akan kami kirim dia untuk kalian semua bersama yang lainnya jika mereka mau…”
“Segeralah, wahai Abul Hubab, segeralah… Nanti kami akan memberinya uang sebagai upah kepadanya.”
Tak sabar ingin cepat mendapat upah, Ibnu Salul pun menyuruh penjaga rumah untuk memanggil Masikah serta budak-budak wanita yang lain. Tetapi penjaga rumah menukas, “Masikah tidak mau lagi melakukan hal itu, Tuan.”
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” ujar Ibnu Salul gusar.
“Hal ini terjadi sejak hari ini, Tuanku. Ia telah meluruskan pikirannya...”
Ibnu Salul pun bangkit, pergi ke kamar Masikah dan mendorong pintu dengan kakinya. Tetapi betapa terkejutnya Ibnu Salul, saat ia melongok ke kamar ternyata mendapati Masikah, budak wanita yang ia miliki sedang menunaikan shalat. Ibnu Salul tercekat, melihat perubahan yang terjadi pada Masikah. Maka tanpa banyak berkata, Ibnu Salul mendekat dan mendera Masikah dengan kasar.
“Celaka kamu! Muhammad rupanya telah membujukmu!”
“Tidak,” jawab Masikah setengah kaget “Justru Beliau telah menunjukkan jalan terang padaku tentang kebenaran…”
Jawaban Masikah seketika membuat Ibnu Salul murka. Dia kembali mendera Masikah, menyepak budak itu dengan kakinya. Masikah pun terluka. Lantas Ibnu Salul keluar, seraya memendam geram dan kecewa. Penjaga yang melihat itu berujar, "Coba aku bicara padanya, Tuan, agar ia bisa kembali seperti sediakala."
Penjaga rumah Ibnu Salul itu memasuki kamar Masikah bersama seorang wanita. Tatkala dia melihat keadaan Masikah yang terluka, ia ikut iba. Wanita yang ikut bersama penjaga rumah, kemudian menyuruh membalut luka yang diderita Masikah dan mengambilkan buah.
Penjaga rumah itu kemudian bertanya tentang apa yang diperbuat Ibnu Salul setelah dia didatangi tamu dari Bani Tamim yang ternyata menaruh minat terhadap Masikah. Setelah itu, penjaga rumah menjelaskan bahwa orang-orang dari Bani Tamim yang menghendaki Masikah itu akan memberikan harta sebagai tebusan bagi anaknya kelak jika Masikah melahirkan.
“Demi Allah, aku tak akan mendurhakai Allah lagi meskipun tubuhku dipotong-potong!” tegas Masikah.
Masikah sudah lama menjadi budak wanita Ibnu Salul. Tetapi, Ibnu Salul ternyata tidak menjadikan Masikah kerja dalam hal baik, melainkan dijadikan budak nafsu bagi lelaki yang butuh kesenangan. Dari situ Ibnu Salul meraih upah. Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, Ibnu Salul sudah memaksa budak-budak wanita dari kaum Yahudi dan yang lain, termasuk Masikah. Untuk menampung mereka itu, Ibnu Salul membuka rumah yang di depannya dikibarkan bendera merah sebagai tanda pengenal.
Secara sembunyi-sembunyi, Masikah kemudian mendekati wanita-wanita dari kaum Anshar dan dia bisa mendapatkan keterangan jelas tentang Islam. Dari ayat-ayat al-Qur`an yang didengar dari wanita-wanita Anshar itu akhirnya hati Masikah mendapat cahaya terang. Di antara ayat al-Qur`an yang pernah didengar Masikah, adalah firman Allah surat Thaha [20] 1-8:
Thaha, Kami tidak menurunkan al-Qur`an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemanyam di atas arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya  Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al-Asmaaul Husna (nama-nama yang baik)”.
Seiring perjalanan waktu, Masikah pun semakin mengenal Islam. Ia tahu Islam itu adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah. Selain itu, Islam itu mendirikan shalat, membayar zakat, menjalankan puasa bulan Ramadhan dan mengerjakan haji bagi siapa yang sanggup menunaikan perjalanan ke Baitullah. Tahu bahwa ia bergelimang dosa maka Masikah bertanya tentang  seseorang yang berbuat dosa.
Ia mendapat jawaban, bahwa pintu-pintu harapan untuk bertobat kepada Allah itu senantiasa terbuka, sebagaimana bunyi firman Allah yang dia dengar, “Katakanlah, ‘hai, hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Az-Zumar  [39]: 53).
Maka Masikah merasa sudah waktunya untuk taubat, lari dari jeratan dosa. Akhirnya, malam tiba, Masikah keluar dari rumah Ibnu Salul, sambil mengendap-endap.  Sementara itu, budak-budak wanita lain sedang hanyut dalam buaian kesenangan. Dalam kegelapan itu, Masikah bisa keluar rumah dengan selamat.
Tapi setelah Masikah keluar ia bingung.“Ke mana saya harus pergi?” Untung, ia teringat dengan wanita tua yang pernah membuat dia sempat mendengarkan al-Qur`an, mengenal Islam dan mendapatkan hidayah Allah. Masikah lantas berjalan ke rumah wanita tua tersebut, yang tinggal seorang diri. Wanita itu menerima MAsikah dengan tangan terbuka.

Esok paginya, perempuan itu mengantar Masikah pergi ke masjid guna menemui Rasulullah. Bersamaan ketika Abu Bakar keluar masjid, Masikah yang diantar wanita itu tiba di masjid. Abu Bakar berhenti, melihat wanita yang menderita luka. Sementara itu, wanita tua yang mengantar Masikah kemudian bercerita bahwa semua itu tidak lain akibat ulah Ibnu Salul yang telah memaksa Masikah untuk melacur.
Abu Bakar buru-buru masuk masjid untuk menemui Rasulullah, dan bercerita apa yang dialami Masikah. Rasulullah diam sesaat, sebelum kemudian turun wahyu dari Allah kepada Rasulullah yang berbunyi, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu” (QS. An-Nuur [24]: 33).
Masikah tahu, ayat yang turun itu berkaitan dengan dirinya. Maka hati Masikah semakin teguh. Sementara berita tentang Masikah tersebar dan orang jadi tahu tentang maksud dan tindakan dari Abdullah bin Ubay bin Salul yang tidak terpuji itu.

(Disarikan dari Profil di Balik Cadar; Kisah Wanita dalam Al-Qur`an, Jabir asy-Syal, terj. Alwi AM, Penerbit Grafiti Pers, Jakarta; 1986).


Kaki Tersayat di Muka Ka’bah

 



sebagai tempat mulia dan arena pembersihan jiwa bagi siapa saja yang menunaikan ibadah memang sudah masyhur adanya. Banyak kisah para jamaah haji yang mendapati pengalaman spiritual yang begitu membekas di hati mereka. Pengalaman itu jugalah yang menimpa seorang anggota polisi aktif. Sebut saja ia Heru, yang mendapat kesempatan menunaikan ibadah haji sekitar 12 tahun lalu.

Heru adalah polisi yang rutin berpatroli di jalan raya ibukota. Sebagai petugas Polantas [polisi lalu lintas], ia kerap menilang dan menertibkan pengendara kendaraan bermotor yang melanggar peraturan. Rutinitas itu ia jalani setiap harinya dengan semangat. Yang unik dari Heru adalah ia ternyata memiliki cita-cita naik haji. Dan hal ini tak hanya niat belaka, tapi sekuat tenaga berusaha diwujudkannya. Sekalipun bergaji standar PNS, ia selalu mewajibkan dirinya untuk menabung setiap bulannya. Tabungan itulah yang ia harapkan kelak akan dapat menyukupi biaya naik hajinya.
Saat kakinya tersayat tanpa tahu apa penyebabnya, laki-laki itu terduduk pasrah. Matanya menerawang, merenungi perbuatan-perbuatannya terdahulu.
Seperti falsafah yang berbunyi “dikit-dikit nanti jadi bukit”, uang Heru akhirnya menyukupi untuk biaya naik haji. Uang yang memang ia simpan dalam bentuk tabungan haji itu membuatnya terdaftar sebagai salah satu jamaah haji Indonesia yang akan terbang ke Arab Saudi bersama ratusan ribu jamaah haji lainnya.
Saat kepastian berangkat diterima Heru, terlihat sekali ia sangat gembira. Walau uang tabungannya hanya cukup buat membiayai dirinya seorang ke tanah suci, tanpa istrinya. Tapi Heru terlihat cukup bersyukur, apalagi saat itu banya temannya sesama polisi yang masih jarang menunaikan ibadah haji. Karena itulah kesempatan emas itu membuatnya sangat gembira.
Maka sebagaimana biasa, Heru menggelar walimatussafar di rumahnya dengan mengundang ustadz dan para tetangga. Para tetangga tampak senang karena ada salah seorang warga di lingkungan mereka yang naik haji. Terlebih ia adalah Heru yang cukup dikenal oleh mereka.
Demikianlah. Heru berangkat dengan keyakinan penuh. Semua kelengkapan haji dan manasik sebagian besar sudah ia kuasai. Warga pun melepasnya dengan doa. Saat di tanah suci itulah Heru mengalami pengalaman spiritual yang membekas di dalam di hatinya. Kisah itu, ia ceritakan kepada seorang ustadz muda di lingkungannya. Ustadz muda itulah yang kemudian mengisahkan kembali kisahnya kepada Hidayah agar diambil pelajaran. Berikut penuturannya.

Selalu Kehilangan Sandal

Kejadian unik pertama yang merepotkan Heru adalah saat ia kehilangan sandal, baik saat di Mekkah maupun Madinah. Ada-ada saja tempat ia kehilangan sandal. Dari penginapan, masjid, WC umum dan banyak lagi yang lainnya.
“Menurut pengakuan Heru kepada saya, ia kehilangan sandal lebih kurang 30 kali selama menunaikan ibadah haji. Karena itu pula ia sampai bolak-balik ke toko sandal untuk mengganti sandalnya yang hilang itu,” ujar Ustadz Rusli, narasumber Hidayah.
Kejadian sandal hilang berulang-ulang ini sebenarnya membuat Heru menjadi waspada dan lebih berhati-hati. Tak seperti perkiraannya, sekalipun di tanah suci, masih saja ada orang yang iseng mencuri sandal. Sekali dua kehilangan ia menjadi hati-hati dengan selalu meletakkan sandalnya di tempat yang menurutnya aman. Tapi ternyata tetap saja hilang.
Heru tentu saja tak habis pikir dibuatnya. Padahal, ia lihat teman-temannya yang lain tak mengalami peristiwa sepertinya. Kalau satu-dua kali kehilangan sandal barangkali itu wajar saja, karena dalam jamaah yang begitu banyak sangatlah terbuka kemungkinan sandal saling tertukar dan sebagainya. Tapi kalau sampai 30 kali, tentulah ada yang tak beres.
Kejadian itu membuat Heru merenung; apa sebenarnya yang ingin diisyaratkan Allah swt kepadanya dengan kejadian itu? Apakah ada yang salah dengan langkah dan niatnya dalam menunaikan ibadah haji ini? Heru hanya bisa bertanya-tanya tanpa tahu jawabannya. Ia juga tak habis pikir kenapa mesti sandal dan bukan barangnya yang lain, atau uangnya yang hilang? 

Kaki Tersayat

Di sela-sela kejadian itu Heru tetap teguh menunaikan rukun haji. Tak hanya mengerjakan yang wajib, ia juga menunaikan ibadah sunnah yang sering dilakukan jamaah di sana, seperti shalat dan thawaf di Ka’bah.
Suatu ketika, Heru menunaikah thawaf. Ia mengumandangkan kalimat talbiyah bersama jutaan jamaah lain dari penjuru dunia. “Labbaik allahuma labbaik,’ aku datang memenuhi seruan-Mu, ya Allah, aku datang….”
Lantai Masjidil Haram tampak sejuk di kaki Heru. Ya, lantai itu sudah diinjak oleh berpuluh bahkan beratus juta jamaah haji sejak dahulu kala. Lantai itu merekam keshalehan dan niat baik manusia yang ingin dekat dengan Tuhannya. Heru kini menjejak lantai masjid suci itu mengelilingi satu bangunan suci yang menjadi pemersatu umat Islam dunia dari segala zaman, yakni Ka’bah.
Sedang asyik dan khusyuk melangkahkan kaki mengelilingi Ka’bah, tiba-tiba Heru merasakan nyeri luar biasa di kakinya. Ia berteriak tertahan. Rasa sakit itu seperti menyengat dan membuatnya langsung terpincang-pincang dan tak mampu lagi berdiri dengan benar. Heru begitu terkejut karena merasakan ada cairan lengket dari telapak kakinya. Rupanya kakinya sudah berlumuran darah yang mengalir dan membasahi lantai Masjidil Haram di dekat Ka’bah.
Kakinya yang semula sehat dan baik-baik saja itu rupanya kini sudah terluka dengan luka sayatan. Bentuknnya memanjang seperti membelah telapak kakinya menjadi dua. Luka sayatan itu mirip dengan luka sayatan pisau yang tajam. Heru terduduk pucat, tak mengerti apa yang menimpanya itu. Sungguh tak mungkin ada pisau atau silet tergeletak di lantai masjid yang kemudian ia injak hingga membuat kakinya tersayat demikian rupa. Juga tak ada batu kerikil tajam atau pecahan kaca yang menancap di kakinya. Lagipula sungguh tak mungkin benda-benda itu ada di lantai masjid yang selalu dijaga dan dirawat dengan sangat baik itu.
Dengan nanar, Heru menatap lelehan darahnya di lantai. Ia beringsut lemas tak mengerti kenapa itu semua terjadi. Orang-orang yang ada di sekitarnya juga seperti tak terlalu memperhatikannya, mereka tetap berjalan memutar menunaikan thawaf.
Heru menarik dalam-dalam nafasnya. Dalam kebingungan dan kepanikannya, ia berujar pelan menyebut nama Allah. “Saya pasrah, ya Allah, saya pasrah atas apa yang Engkau timpakan padaku, aku berserah diri kepada-Mu,” ujar Heru lirih sambil menahan sakit.
Saat itulah, tiba-tiba, ada seorang kakek yang menghampirinya. Kakek itu memperhatikan luka Heru yang kini sudah terduduk lemas. Sesaat kemudian, kakek itu menyerahkan sebuah botol air kepadanya.
“Ini air zam-zam. Usaplah luka di kakimu ini dengan air ini, insya Allah, Allah akan memberi kesembuhan,” ujar kakek itu pelan.
Heru kemudian menerima botol tersebut. Dengan air yang ada di dalamnya Heru mengusap luka di telapak kakinya. Rasa sejuk hadir saat air tersebut menyentuh lukanya. Heru kemudian kembali membasuh luka tersebut sambil mengurut-urut telapak kakinya itu. Perlahan rasa sakitnya mereda, bahkan sesaat kemudian luka sayatan itu seperti merapat dan darah tak lagi mengalir dari luka itu. Sejurus kemudian, kaki Heru seperti sembuh total. Dan darah yang tadi berceceran di lantai tak tampak lagi seperti hilang entah kemana.
Dengan luapan gembira, Heru mengucap tahmid berulang kali. Sungguh kejadian itu seperti merasuk dalam dirinya. Ia tak mengerti, tapi nyata dan menyentuh kalbunya untuk lebih dekat menyebut nama Allah. Saat itulah Heru tersadar akan kakek yang tadi menolongnya dan menyerahkan botol air zam-zam untuk mengobati lukanya. Tapi kakek itu ternyata sudah tak ada lagi di hadapannya.

Pernah Menginjak-injak Orang

“Kisah itulah yang diceritakan Heru kepada saya sambil bercucuran air mata sepulang ia menunaikan ibadah haji,” ujar Rusli kepada Hidayah.
Menurut Rusli, sampai saat Heru kembali ke tanah air ia masih tak mengerti akan kejadian yang menimpanya itu. Yang dirasakan Heru adalah bahwa Allah tengah memperingatinya untuk bertaubat.
“Tapi Heru mengakui pernah satu kali menginjak-injak seorang pengendara sepeda motor yang melanggar lampu merah saat bertugas. Pengendara itu ternyata tak terima dan malah marah-marah, membuat Heru naik pitam dan menendang berkali-kali pengendara yang nampaknya adalah preman itu,” ujar Rusli.
Kejadian itulah yang dirasa Heru terkait dengan kejadian saat ia thawaf tersebut. Heru kemudian berikrar untuk bertaubat dan tak mau lagi mengulanginya di lain waktu. Memang, menzhalimi orang merupakan perkara besar karena sulit mendapat ampunan Allah, tanpa kita terlebih dahulu memohonkan maaf kepada yang bersangkutan.
Demikianlah. Pengalama Heru itu menjadi guru berharga dalam kehidupannya sekarang. Ia yang sebelumnya tampak temperamental, kini tampak lebih tenang dan tak suka marah-marah lagi. Ia juga makin rajin menunaikan ibadah dan terlibat dalam kegiatan keagamaan di lingkungannya. Semoga kita bisa mendapat hikmah.

Ibu dan Anak Tertidur Saat Sa’i

 

Kisah tentang ibadah haji adalah sebuah gambaran tentang keagungan dan kesucian. Keagungan karena di sana kita melihat bagaimana agungnya Masjidil Haram dan kebesaran Ka’bah, kiblat yang selama ini kita berhadap saat shalat wajib atau sunnah. Sedangkan kesuciannya karena Tanah Haram adalah wilayah yang sangat sakral. Apa yang terbersit dalam pikiran dan benak kita, baik positif maupun negatif, kerapkali langsung berwujud menjadi kenyataan. Bahkan, perbuatan kita saat sebelum berangkat ibadah haji, akan menjelma menjadi nyata di Tanah Haram. Maka, banyak orang yang sangat berhati-hati saat melaksanakan ibadah haji.
Ketika Anda berjalan cepat, mungkinkah jika Anda tertidur? Rasanya agak sulit, tapi inilah yang terjadi pada dua perempuan saat melakukan sa’i.
Namun, ada saja orang yang lalai ketika sudah sampai di sana. Bisa jadi, hal ini terkait dengan perbuatan dia sebelumnya saat masih di Tanah Air, ataukah dia memiliki pikiran buruk atau tidak baik saat di sana. Kisah berikut ini memang agak unik. Bagaimana tidak, dua orang perempuan (ibu dan anak) bisa tertidur saat melakukan ibadah sa’i. Padahal, kita tahu sendiri, bahwa ibadah sa’i merupakan ibadah yang dilakukan dengan berlari-lari kecil atau jalan cepat, tapi kenapa masih sempat tertidur. Begini kisah lengkapnya!
Sebut saja namanya Mak Jamroh dan Ibu Saodah (keduanya nama samaran). Mereka adalah pasangan ibu dan anak yang tinggal di Bogor, Jawa Barat. Mereka berangkat ibadah haji belum lama, yakni tahun 2009. Mereka bisa berangkat ibadah haji karena hasil menjual tanah. Nenek ini memang terkenal memiliki lahan yang sangat luas, beribu-ribu hektar, sehingga anak cucunya bisa hidup dengan menjual tanah ini.  
Setelah menjual tanah, Mak Jamroh pun mengajak anaknya untuk berangkat ibadah haji. Mereka mendaftar tahun 2008 dan baru bisa berangkat tahun 2009. Sebuah penantian yang tidak panjang sebenarnya. Maka, keadaan ini pun disambut positif oleh keluarga Mak Jamroh dan anaknya, Saodah. Pada waktunya, seminggu sebelum hari H, Mak Jamroh mengadakan walimah al-safar, yaitu mengadakan pengajian selama seminggu penuh.
Setelah itu, mereka pun berangkat. Keluarga besarnya mengiringi kepergian mereka. Di usianya yang sudah berkepala enam (65 tahun), Mak Jamroh akhirnya bisa berangkat juga ke Tanah Suci, itu pun karena desakan sanak familinya. Selama ini, jika ia menjual tanah selalu dipakai untuk kehidupan sehari-hari, tak pernah digunakan untuk kepentingan ibadah.
Selama melaksanakan ibadah haji, segala ritualnya berhasil ia tunaikan. Namun, hal aneh kemudian terjadi saat mereka melakukan ibadah sa’i. Ketika mereka melewati Bathnul Waadi, yaitu kawasan yang terletak di antara Bukit Shafa dan Marwah (saat ini ditandai dengan lampu neon berwarna hijau), tiba-tiba mereka terkantuk (tertidur) tanpa disadari oleh mereka. Sementara orang lalu-lalang di depan mereka dan seperti membiarkan mereka karena memiliki kesibukan masing-masing. Mereka baru sadar setelah petugas keamanan di sana membangunkan mereka dan mengantarkan mereka pulang ke pemondokan. Mereka seperti linglung saat dibangunkan. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan kami?” tanya salah seorang dari mereka.
Merasa ibadah sa’inya gagal, mereka pun kemudian mengulanginya kembali dan akhirnya berhasil. Itu pun mereka lakukan setelah mereka bertaubat sebelumnya kepada Allah atas apa yang mereka perbuat selama ini.
Apa yang dialami oleh ibu dan anak tersebut benar-benar sebuah peristiwa yang agak ganjil. Bagaimana tidak? Ketika sa’i, sebenarnya mereka akan melakukan perjalanan yang cepat. Sekantuk apapun, jika kondisi kita dalam keadaan berlari atau jalan cepat, apalagi di kanan kiri kita ada lautan manusia, maka rasa kantuk pasti bisa diatasi, apalagi sampai tertidur. Tapi, rupanya, mereka tak tahan mengusir kantuknya sehingga tanpa disadari mereka pun tertidur saat sa’i tersebut.
Hal-hal ganjil seperti itu sebenarnya tidak perlu kita risaukan karena memang begitulah yang terjadi di Masjidil Haram. Hal-hal yang sifatnya irasional terkadang bisa terjadi, seperti ada jamaah haji yang tidak bisa melihat Ka’bah, bahkan sampai berkali-kali padahal Ka’bah sudah di depan matanya. Ada pula jamaah haji yang terantuk atap pintu padahal tubuhnya pendek dibandingkan tinggi pintu itu sendiri. Bahkan ada jamaah haji yang sandalnya hilang saat shalat di Masjidil Haram hanya karena punya pikiran iseng untuk menyembunyikan sandal sahabatnya dan sebagainya. Yang jelas, peristiwa ganjil di Masjidil Haram selalu terkait dengan pikiran buruk kita saat ibadah haji atau perbuatan kita sebelumnya saat masih di Tanah Air.
Lalu, apa yang Mak Jamroh dan Saodah perbuat sebenarnya sehingga saat sa’i keduanya bisa tertidur?
Mak Jamroh, meski kaya dengan tanahnya yang luas, dia adalah seorang pedagang pakaian keliling. Karena suaminya sudah meninggal dunia, Mak Jamroh praktis menghidupi dirinya sendiri. Pakaian yang dijualnya bisa cash atau kredit. Untungnya tidak seberapa, tapi Mak Jamroh menikmati profesinya itu, meski kadang dilakukannya dengan tidak serius karena usianya yang sudah renta.
Sedangkan anaknya, Saodah, adalah seorang pedagang kecil-kecilan, yakni membuka warung sembako di depan rumahnya. Sebagian besar pelanggannya adalah orang-orang sekampung, para pejalan kaki dan pengendara motor atau mobil serta para TKW yang memang tempat penampungannya berada di depan warung.
Tidak ada yang salah dengan profesi mereka. Tapi, menurut pengakuan Saodah sendiri, dia dan ibunya kerapkali tertidur saat mengikuti pengajian yang diadakan oleh ibu-ibu pengajian di kampung. Mungkin karena capeknya dengan profesi mereka yang harus bangun pagi-pagi, sehingga ketika mengikuti pengajian di kampung, mereka kerapkali tertidur dan tidak mendengarkan ustadz atau ustadzah saat berceramah atau memberikan nasehat agamanya.
Lebih lanjut, Saodah menuturkan bahwa sebelum berangkat ibadah haji, ibadah shalat mereka sebenarnya bolong-bolong–meski kerapkali mengikuti pengajian Minggu Pagi di kampungnya. Bahkan, beberapa tahun sebelumnya, dia dan ibunya nyaris tidak pernah shalat.
Maklum, Mak Jamroh dan Saodah terdidik dalam lingkungan keluarga yang kurang agamis. Bahkan, Ibu Mak Jamroh hingga akhir hayatnya belum merasakan sama sekali shalat –apalagi baca al-Qur’an. Mereka seperti teralienasi untuk urusan agama. Di kampungnya sendiri, yang namanya seorang ustadz atau ustadzah sangat langka. Ketika mereka mengadakan pengajian pun, rata-rata mengambil ustadz atau ustadzah dari luar kampung. Bahkan, ustadz atau ustadzah mereka sendiri sebenarnya belum layak dipanggil demikian karena bacaan al-Qur’annya yang kurang tartil dan tak pernah punya latar belakang pendidikan pesantren. Hanya saja, kebetulan, mereka bisa baca al-Qur’an dan bisa sedikit ceramah agama.
Dengan lingkungan sosial seperti itu, maka pantas jika keluarga Mak Jamroh dan Saodah tumbuh dalam keluarga yang kurang agamis. “Tanyakan saja ke saya, apakah saya bisa baca al-Qur’an?” tantang Saodah kepada Hidayah. Dia pun menjawab sendiri bahwa dia sama sekali tidak bisa membaca al-Qur’an.
Satu hal lagi, kata Saodah, bahwa sesaat sebelum melakukan sa’i tersebut terbersit dalam pikiran mereka “rasa malas”. Meski tak diucapkan dalam bibir mereka, rupanya bisikan hati mereka akhirnya mewujud. Allah Maha Mendengar. Ketika mereka sa’i, rasa malas itu berbuah menjadi rasa kantuk yang sangat dalam sehingga tanpa mereka sadari bahwa mereka tertidur di Bathnul Waadi. Karena itu, hendaklah kita selalu ikhlas dalam melakukan ritual-ritual ibadah haji, sehingga ibadah haji kita diterima Allah swt (haji mabrur).
Namun, satu hal yang pasti, bahwa pengalaman ibadah haji tersebut benar-benar menjadi pelajaran yang sangat berharga buat dirinya dan ibunya. Selain itu, penting untuk mengetahui lebih mendalam tentang informasi ritual ibadah haji dan amalan-amalan yang mesti dilakukan, agar kita tidak tersesat saat beribadah haji. Saodah dan ibunya menyadari bahwa kebodohan mereka akan selak-beluk ibadah haji ternyata membuat mereka merasakan hal yang aneh saat sa’i.
Demikian pengalaman kisah haji yang terjadi kepada ibu dan anak dari Bogor ini. Semoga ada iktibar (pelajaran) yang bisa kita petik dari kisah ini! Amin.


Sedekah Indah Seorang Dokter

 

Di satu tempat di Jakarta ada rumah yang bisa dibilang cukup mewah. Rumah itu adalah kediaman keluarga dr. Juni Tjahjati. Selain sebagai tempat tinggal, rumah itu sehari-hari dipakai Juni sebagai tempat praktek. Banyak pasien berobat setiap hari ke sana yang kadang membuat tukang parkir harus ekstra keras mengatur kendaraan.
Jika kita berdiri tepat menghadap rumah itu dari seberang jalan tampaklah dua buah hiasan berbentuk pagar kecil bersusun di atap rumah. Di bagian tengah pagar besi yang tidak memagari apapun itu terpampang lambang cinta berbentuk hati dicat warna emas. Lambang itu seperti ingin berkata bahwa semua aktivitas dalam rumah dan tempat praktek itu didasari oleh cinta.
Tanpa ragu, dokter itu membantu tetangganya yang dioperasi di rumah sakit. Semua biaya ia tanggung. Hidupnya pun tampak berkah dan berlimpah rezeki.
Beberapa tahun lalu, seorang laki-laki bernama Mustofa datang ke rumah itu. Ia menggigil kedinginan. Ia baru pulang dari Bogor, memenuhi undangan kawannya untuk memancing. Sebuah kecelakaan kecil terjadi: kakinya tertusuk bambu. Mustofa adalah tetangga Juni, sehari-hari berjualan es jus sambil menjadi tukang parkir di tempat praktek itu. Seorang dokter menanganinya dengan memeriksa dan memberi obat.
“Waktu itu dokter Juni sedang keluar negeri,” ujar Mustofa.
Pengobatan diberikan kepada Mustofa secara cuma-cuma. Ia dapat kembali pulang dengan tenang. Tapi seminggu kemudian ia kembali datang karena ia mulai merasakan sakit yang lebih parah. Mustofa sulit menggerakkan mulut dan menelan makanan. Juni yang sudah pulang langsung memberi pertolongan. Bapak empat anak itu disuntik dua kali, diberi obat dan disuruh balik lagi beberapa hari kemudian. Menyadari kemungkinan Mustofa menderita tetanus, Juni melakukan operasi kecil, mengeluarkan potongan bambu kecil yang tertanam di kaki Mustofa.
Tapi beberapa hari kemudian, Mustofa semakin parah karena racun tetanus ternyata sudah menjalar ke tubuhnya menginfeksi syaraf dan ototnya hingga kaku dan tak bisa digerakkan. Juni kemudian bertindak cepat dengan membawa Mustofa ke rumah sakit agar bisa dirawat dengan fasilitas lebih memadai. Ia tak bisa mengiringi tetangganya itu tapi mengontak teman-temannya yang ada di rumah sakit agar Mustofa ditangani dengan baik.
“Jangan ditinggal sebelum Pak Mus dapat ruang inap dan ditangani dokter,” ujar Juni kepada supirnya yang mengantar.
Mobil pun melaju ke RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo) Jakarta. Di RSCM ada suami Juni, dr. Ismail, seorang ahli Ortopedi, yang sehari-hari berpraktek dan mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tapi, ternyata., RSCM tak ada ruangan kosong. Mustofa lalu dilarikan ke RS Persahabatan. Kembali tak ada ruang kosong. Ismail lalu mengontak koleganya di RS Fatmawati. Ada ruang kosong di rumah sakit itu. Mustofa langsung dibawa ke sana.
“Sampai di sana, saya langsung disambut dokter dengan hormat. Sepertinya dokter itu teman baik dr. Juni atau suaminya, dr. Ismail,” ujar Mustofa mengenang.
Sampai di Fatmawati Mustofa tak sadarkan diri. Ia dirawat berhari-hari di sana sampai kesadarannya pulih. Dalam sakitnya itu, Mustofa ditunggui oleh istrinya.
Setelah beberapa hari di rumah sakit, datanglah lembar tagihan berobat. Mustofa dan istrinya terkaget-kaget,  karena di situ tertera angka 13 juta rupiah. Tentu saja ia tak memiliki uang sebesar itu apalagi ia belum pulih benar. Perlu beberapa hari lagi untuk menginap agar ia bisa pulih sampai sediakala.
Tapi, rupanya, kecemasan itu hanya terjadi sesaat saja, sebab rupanya dr. Juni sudah menangung biaya berobat Mustofa. Tak terbilang rasa terima kasih Mustofa dan istrinya. Apalagi Juni juga turut menjenguk Mustofa dan bahkan memberi istri Mustofa uang untuk pegangan selama menunggui suaminya dirawat.
“Saya tak punya uang sepeser pun. Semua biaya ditanggung dokter Juni. Saya tak tahu berapa jumlah pastinya. Tapi kira-kira 20 juta rupiah,” ujar Mustofa mengenang sambil terharu.    
Mustofa sampai tak habis pikir kenapa ada orang sebaik itu. Ia hanya tetangga dan bukan saudara. Bisa dikatakan ia juga hidup dari dr. Juni karena ia berjualan es di depan Praktek dr.Juni, selain memarkir kendaraan. Ia tak dimintai uang sedikit pun berjualan di depan tempat praktek itu seperti yang lazim terjadi. Bahkan ia juga tak dimintai uang listrik, padahal sehari-hari ia memakai listrik untuk blender es jus.               
Saat anak nomor tiganya menderita kecelakaan, kembali Juni dengan ringan membantu Mustofa. Waktu itu, anak Mustofa tertabrak kendaraan bermotor dan kakinya patah. Kaki  anak berusia 6 tahun itu diberi pen yang diukur sendiri oleh suami dr. Juni. Kembali Mustofa tak membayar sepeserpun biaya pengobatan itu karena semua ditanggung dr. Juni.

Berkah Sedekah
Sekalipun menolak untuk membeberkan lebih lanjut, sedekah memang merupakan amal yang masyhur dilakukan Juni. Ini diakui pula oleh para warga di sekitar rumahnya. Tangannya begitu ringan menolong. Kadang ada kaum dhuafa yang berobat dengan membayar semampunya atau gratis sama-sekali. Jika melihat kehidupan Juni yang dilimpahi rezeki benarlah ungkapan al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 256 yang menyebut bahwa
Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.”
Tempat prakteknya tampak ramai, membuat rezekinya seakan tidak pernah putus. Pasien yang berobat di sana juga sangat senang karena diobati dengan penuh perhatian. Selain itu, Juni juga memiliki beberapa kendaraan dan perusahaan yang ia kelola di bidang kesehatan, makanan, laboratorium, penyewaan gedung, perawatan kecantikan, dan lain sebagainya. Dahulu, sebelum meraih semuanya, Juni malah hidup sederhana; berbisnis salon dan membuka toko sepatu karena ia merasa tak patut mencari uang berlebih dari pengabdiannya sebagai dokter.              
Satu hal yang patut dicontoh adalah Juni tampak enggan untuk menceritakan itu semua. Baginya itu hal biasa saja. “Kebetulan saya bisa membantu, ya saya bantu,” ujarnya.
Saat masih menjadi dokter puskesmas di daearah Jawa Timur tahun 90-an, Juni juga sudah sering bersedekah. Ia bahkan pernah mengobati pasien yang memerlukan transfusi darah dengan mengambil darahnya sendiri. Lagi-lagi jika ada pasien yang tak mampu dan perlu dirujuk ke rumah sakit, ia bersedia mengantarkan dengan menggunakan biaya akomodasi dari dirinya sendiri.
Menolong sepertinya sudah menjadi etika utama dokter ini. Semua hal dikebelakangkan dan keselamatan pasienlah yang diutamakan.  
“Ada perasaan lega dan senang jika pasien yang kita tolong bisa selamat, dan bisa berbagi itu merupakan satu kenikmatan sendiri,” ujar Juni.
Tak hanya itu, Juni juga kerap mengalamatkan sedekah pada pembangunan masjid. Beberapa masjid sudah ia sumbang. Ada di antaranya yang dibangun bagi kaum pinggiran di wilayah Tebet, Jakarta Selatan.
Banyak orang yang memiliki penghasilan besar, namun selalu merasa tidak cukup. Bahkan tidak jarang pengeluaran mereka lebih besar dari penghasilan yang didapat. Tapi itu tak berlaku jika melihat kehidupan dr. Juni. Rezeki seperti mengalir deras padanya, dari berbagai jalan, karena setiap rezeki yang ia dapatkan juga ia sedekahkan kemana-mana.  
“Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”
Demikian Allah berkata dalam firman-Nya.
Jadi, sebetulnya, setiap harta yang kita sedekahkan justru akan kembali dengan berlipat ganda. Satu dikurang satu sama dengan sepuluh, bukan nol. Itulah rumus sedekah. Dengan memberi, seseorang akan mendapatkan lebih banyak, tidak berkurang atau habis.


Sedekahnya Berbuah Umrah, Mobil dan Rumah

Begitulah yang terjadi dengan Abdoel  Rochimi. Setelah bergabung dengan Daarul Qur’an dan kemudian ikut membidani berdirinya PPPA (Program Pembibitan Penghafal Al-Qur’an) bersama Ustadz Yusuf Manshur,  ia semakin menyadari pentingnya berbagi (sedekah). Maka, sejak 2007, setiap bulannya, ia pun mulai membiasakan diri bersedekah dengan membagikan minimal 40 bungkus kepada para tetangga. “Makanan itu dimasak sendiri oleh istri saya,” ujar lelaki kelahiran Indramayu, 4 April 1976 ini.
Keajaiban berbagi itu sungguh tak terbatas. Di luar jangkauan nalar.
Kebiasaan berbagi itu kemudian diteruskan di rumah barunya dengan mengundang teman-temannya saat kuliah dulu, terutama yang berasal dari organisasi Permai Ayu (Persatuan Mahasiswa Indramayu). Maka, dari sinilah lahir Ngopi Yu…! (ngobrol, pengajian, alumni, permai-ayu). Rochimi mengundang orang-orang yang tergabung dalam Ngopi Yu..! ini setiap bulannya. Mereka ngobrol dan mengaji al-Qur’an 30 juz. Usai acara, Rochimi pun membagikan nasi bungkus dan beberapa aneka makanan lainnya kepada mereka. Begitu yang dilakukan Rochimi setiap bulannya. Tentu, tidak itu saja kebiasaan berbagi Rochimi.
Keajaiban hidup pun kerapkali ia alami. Rumah bertingkat yang sangat megah dengan konsep minimalis dan harganya ditaksir ratusan juta rupiah yang kini menjadi tempat tinggalnya pun tidak terlepas dari konsep berbagi yang selama ini ia jalani.
Alkisah, istrinya yang saat itu mengandung anak keduanya, tiba-tiba, ngidam ingin tinggal di sebuah rumah yang cukup megah. Oleh Rochimi, keinginan istrinya ini ditimpali dengan candaan, “Ya tinggal masuk saja ke rumah orang kaya. Gitu aja repot!
Tapi, lama-kelamaan, hal itu menjadi pemikiran Rochimi juga. Hingga, suatu saat, ia pun benar-benar membangunkan rumah yang asri untuk istri tercintanya. Maka, siang dan malam, ia dan istri sengaja mencari rumah yang bagus dan murah yang bisa dibelinya secara kredit. Tapi, yang dicarinya ternyata tidak mudah. Hingga suatu saat ia bertemu dengan salah seorang jemaah dan ia pun mengutarakan maksudnya ini.
Gayung bersambut, orang itu ternyata ingin membantu Rochimi. “Pak Ustadz, tinggal cari tanah saja yang bersertifikat, nanti saya bangunkan rumah di sana,” celetuk orang itu kepada Rochimi, yang memang sehari-hari dipanggil Pak Ustadz ini.
Tapi, Rochimi mengira hal itu hanya candaan. Yang ada dalam pikirannya, kalaupun nanti dibangunkan rumah, ia pasti akan berhutang juga kepada orang itu. Tetapi, ia pun tetap meniatkan mencari tanah dan akhirnya menemukannya.
Tanah itu milik orang keturunan Tionghoa yang harganya diperkirakan Rp. 200 juta. Namun, uang cash (kontan) yang ada di tangan Rochomi hanya Rp. 10 juta. Bagaimana bisa? Di sinilah keajaiban terjadi. Ternyata, orang keturunan Tionghoa itu tidak mengharuskan Rochimi untuk membayar cash alias bisa dikredit. Dan yang lebih menyenangkan lagi, bayarnya bisa kapan saja alias ketika ada uang saja, tidak harus tiap bulan.
Setelah tanah itu resmi dibeli dan surat-suratnya telah diurus, maka Rochimi pun menemui kembali orang yang hendak membantu untuk membangunkan rumahnya itu. Tidak pakai waktu lama, orang itu segera membangunkan rumah megah, bertingkat, dengan konsep minimalis. Namun, yang ada dalam bayangan Rochimi, rumah itu pasti tidak akan diberikan kepadanya begitu saja, tapi akan dihutangkannya. Di benaknya bergelayut tanda tanya: berapa puluh juta yang harus ia cicil setiap bulannya?
Belum saja rumah itu kelar dibangun, tiba-tiba, Rochimi mendapatkan hadiah umrah dari salah satu jemaah lainnya. Maka, takut dianggap punya uang oleh orang yang membangunkan rumah tersebut, Rochimi pun bicara terus terang, “Pak, insya Allah besok saya akan berangkat umrah. Alhamdulillah ada yang memberangkatkan saya.”
Mendengar perkataan Rochimi, orang itu malah ikut berbahagia dan minta didoakan agar hidupnya menjadi berkah. Maka, berangkatlah Rochimi ke Tanah Suci. Di sana, ia mengalami berbagai keajaiban, seperti bisa mencium Hajar Aswad dengan mudah, banyak orang yang memberi kurma dan air zamzam saat ia sedang zikir di masjid dan sebagainya.
Setelah itu Rochimi pulang ke Tanah Air. Ternyata keajaiban tersebut tidak berhenti sampai di sana. Ketika sampai di rumah yang akhirnya selesai dibangun, tiba-tiba ada mobil baru merk terkenal nangkring di garasi rumahnya. Ternyata, mobil itu merupakan pemberian orang dan surat-suratnya sudah menjadi atas namanya. Kebahagiaan Rochimi kian bertambah setelah rumah yang kini ditempatinya itu, memang benar-benar spesial dibangunkan untuk dirinya alias gratis. Jadi, ia tidak perlu berhutang ke orang itu. Orang itu hanya minta kepadanya agar didoakan saja.
Demikian berbagai keajaiban yang dialami Rochimi. Dalam satu waktu (sebulan), ia mendapatkan tiga keberkahan sekaligus: dibangunkan rumah megah, diberi mobil dan diumrahkan secara gratis. “Jika ditakar dengan gaji saya sebulan, mungkin seumur hidup saya tidak akan bisa mendapatkan semuanya itu, meski dicicil sekalipun,” ujarnya.
Bagi Rochimi, inilah yang disebut dengan rezeki tak terduga (min haitsu laa yahtasib). Menurutnya, rezeki itu ada tiga. Pertama, rezeki itu memang dari Allah. Artinya, rezeki itu diberikan kepada siapa saja, baik orang Islam, non-Islam, binatang, tumbuhan dan sebagainya. Kedua, rezeki karena kerja keras (kasab). Ketiga, rezeki karena tidak terduga datangnya. Dan apa yang ia alami selama ini, tidak lain merupakan rezeki yang tidak terduga yang dikasih Allah atas segala kebaikan yang dilakukannya, yaitu berbagi.
Rochimi pun kemudian berkisah bagaimana saat kelahiran anak keduanya. “Anak kedua saya ini lahir ketika usia kandungan masih delapan bulan,” ujarnya. Ketuban istrinya tiba-tiba pecah ketika usia kandungan belum sembilan bulan. Oleh Rochimi, sang istri pun segera dibawa ke rumah sakit terdekat di Pasar Rebo. Ternyata oleh dokter, istrinya harus dibedah caesar (sesar). Namun, ia menolaknya karena berbagai resiko yang ditanggungnya kemudian. Tapi, dokter tetap menyarankannya untuk disesar dan Rochimi tetap menolaknya. Akhirnya, jalan vakum pun dilakukan, yaitu dengan cara disedot, tentu dengan segala resikonya juga.
Ketegangan mewarnai Rochimi ketika istrinya melahirkan. “Seumur hidup saya, baru kali itu saya bisa khatam (tamat membaca, red) Yaasiin sampai sepuluh kali dalam sehari,” ujarnya. Ya, untuk mengusir ketegangan, ternyata Rochimi baca Yaasiin hingga khatam sampai 10 kali. Tidak lupa, ia juga mengirim doa dan al-Fatihah ke beberapa kyai. Akhirnya, ketika Maghrib tiba, istrinya pun bisa melahirkan dengan selamat.
Sang bayi segera dibawa ke inkubator dan harus dirawat dalam beberapa minggu. “Saat itu saya berpikir, berapa juta yang harus saya keluarkan kalau kelamaan di rumah sakit,” ujarnya. Namun, berbagai keajaiban akhirnya datang lagi. Ternyata, hanya dalam waktu dua hari saja, sang bayi bisa dibawa pulang.
Begitulah berbagai keajaiban kerapkali dialami Rochimi karena konsep sedekah yang sering ia lakukan kepada orang lain. Menurut lelaki yang sering dipanggil Raden oleh kawan-kawannya ini, sedekah itu banyak manfaatnya. Setidaknya, ada empat penting yang terkandung dalam sedekah yang mesti ditanamkan oleh setiap orang.
Pertama, sedekah itu bukan tinggal berapa, tetapi akan menjadi berapa. Artinya, ketika kita menyedekahkan sebagian uang kita, misalnya seribu dari 10 ribu rupiah. Maka, bukan menjadi 9 ribu (tinggal berapa), tetapi bertambah menjadi 19 ribu rupiah (menjadi berapa).
Kedua, sedekah itu tidak berkurang, tetapi bertambah. Penjelasannya hampir sama dengan yang di atas.
Ketiga, sedekah itu untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain. Artinya, kebaikan yang kita lakukan itu sejatinya untuk kebaikan diri kita sendiri, bukan untuk kebaikan orang lain. Misalnya, dengan sedekah akan mendatangkan rezeki, memanjangkan umur, menolak bala dan mengobati penyakit kita.     
Keempat, sedekah itu di depan, bukan di belakang. Artinya, sedekah terbaik adalah ketika kita tidak punya. Misalnya, saat kita tidak punya uang karena belum gajian, lalu ada orang minta bantuan, maka sejatinya kita harus membantunya sebisa mungkin. Ini akan jauh lebih baik dibandingkan ketika harus membantunya setelah gajian.
Di mata Rochimi, jika seseorang telah meyakinkan diri dalam pikiran dan benaknya tentang empat prinsip sedekah tersebut, maka orang tidak akan ragu lagi untuk saling berbagi kepada orang lain. Maka, insya Allah, yang namanya penyakit korupsi dan teman-temannya, akan bisa dikikis di negeri ini. Begitu pesan singkat lelaki yang pernah menyedekahkan mobilnya untuk kepentingan pesantren

Berkat Sedekah, Tukang Becak Itu Mengunjungi Baitullah

 

Pak Parman, demikian orang-orang memanggilnya. Dia hanyalah seorang tukang becak. Sudah bisa ditebak, berapa kekayaannya? Dia hanya punya tempat tinggal, dan itu pun kost di tempat yang kumuh, yang gentengnya sewaktu-waktu bisa bocor karena hujan. Meski begitu, Pak Parman memiliki budi yang sangat mulia. Kemiskinan yang merenggut kehidupannya, tidak menutup mata batinnya untuk selalu berbagi kepada orang lain.
Siapa kira orang miskin tidak bisa naik haji. Karena sedekah, tukang becak yang satu ini justru mendapatkan keberkahan untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Tapi, bukan harta yang bisa ia sumbangkan. Sebab, untuk makan sehari-hari saja sulit, apalagi berniat untuk berbagi harta kepada orang lain. Maka, yang hanya bisa dilakukan Pak Parman adalah “sedekah jasa”. Yaitu, setiap hari Jum’at ia menggratiskan semua penumpang yang naik becaknya. Ini adalah hal yang luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukannya, apalagi orang miskin seperti dirinya. Maka, atas kebaikannya itulah, suatu “keberkahan hidup” kemudian menghampirinya.
Suatu ketika, di hari Jum’at pertama bulan Ramadhan, tiba-tiba, ada orang yang kaya raya mobilnya mogok. Kebetulan, mogoknya tidak jauh dari pangkalan becak Pak Parman. Orang kaya itu pun bertanya kepada supirnya, “Pir, kalau naik becak kira-kira ongkosnya berapa ya?”
“Paling juga dua sampai tiga ribuan,” jawab supir kepada majikannya.
Orang kaya tersebut pun memutuskan naik becak karena sebenarnya jarak dirinya dengan rumahnya sudah lumayan dekat. Maka, dipanggillah tukang becak yang ada di pangkalan tersebut dan kebetulan Pak Parman yang datang. Lalu, digoeslah becak itu oleh Pak Parman menuju rumah orang kaya tersebut. Setelah sampai di tempat, Pak Parman dikasih uang 10 ribu dan tidak usah dikembalikan. Namun, oleh Pak Parman uang itu ditolaknya.
“Kenapa Bapak menolaknya?” tanya orang kaya itu..
“Saya sudah meniatkan dari dulu, kalau setiap Jum’at saya menggratiskan semua penumpang yang naik becak saya,” jawabnya jujur.
Setelah itu, Pak Parman pun pergi meninggalkan orang kaya tersebut. Rupanya, kejadian itu sangat membekas di hati orang kaya tersebut. Orang kaya seperti dirinya saja tidak pernah sedekah, ini orang miskin malah melakukannya dengan begitu tulus. Lalu, dikejarlah Pak Parman. Setelah dapat, Pak Parman pun dikasih uang satu juta. Orang kaya itu pikir, Pak Parman akan menerimanya karena uangnya besar. Tapi, Pak Parman tetap menolaknya. Lalu, dinaikkan lagi menjadi dua juta dan tetap Pak Parman menolaknya. Alasan Pak Parman sama: dia tidak menerima uang sepeser pun di hari Jum’at untuk jasa ojek becaknya. Sebab, dia sudah meniatkannya untuk bersedekah. Subhanallah!
Tapi, hal ini justru membuat orang kaya tersebut semakin penasaran. Maka Jum’at berikutnya (di hari Ramadhan juga), orang kaya itu pun naik becak lagi. Ia sengaja meninggalkan supirnya untuk pulang ke rumah sendiri dan dia lebih memilih berhenti di pangkalan itu untuk bisa naik becak Pak Parman. Maka diantarlah orang kaya tersebut ke rumahnya oleh Pak Parman. Setelah sampai, Pak Parman pun diberikan uang yang lebih besar lagi, kali ini 10 juta. Orang kaya itu pikir Pak Parman akan tergoda oleh uang sebanyak itu. Tapi, lagi-lagi, perkiraannya meleset. Pak Parman, sekali lagi, menolak uang yang bagi dia itu sebenarnya sangat besar. Apalagi, sebentar lagi akan Lebaran dan uang itu pasti akan berguna buat dirinya dan keluarganya. Tapi, orangtua itu menolaknya dengan halus.
Kejadian ini benar-benar membuat orang kaya tersebut tidak mengerti. Kenapa orang miskin seperti Pak Parman tidak mau menerima uang sebesar itu? Padahal, uang itu bisa ia gunakan selama berbulan-bulan. Namun, rasa penasaran orang kaya itu rupanya tidak pernah berhenti. Jum’at berikutnya, dia pun naik becak milik Pak Parman lagi. Namun, kali ini ia minta diantarkan ke tempat yang lain.
“Pak, antarkan saya ke rumah Bapak,” pinta orang kaya.
“Memangnya, ada apa, Pak?” jawab Pak Parman polos.
“Pokoknya, antarkan saya saja.”
Akhirnya, Pak Parman terpaksa mengantarkan orang kaya itu ke rumahnya. Mungkin orang kaya itu hanya ingin menguji: apakah tukang becak itu benar-benar orang miskin ataukah tidak? Mereka pun akhirnya sampai di rumah Pak Parman. Betapa terkejutnya orang kaya itu, karena rumah yang dimaksud hanyalah sebuah rumah kost yang sangat jelek. Gentengnya sewaktu-waktu bisa roboh karena terpaan air hujan. Karena sangat iba melihat kejadian itu, orang itu pun merogoh uangnya sejumlah Rp. 25 juta.
“Ini Pak, uang sekedarnya dari saya. Mohon Bapak menerimanya,” pinta orang kaya kepada Pak Parman.
Apa reaksi Pak Parman? Ternyata, dengan halus dia pun tetap menolaknya. Hal ini benar-benar sangat mengejutkan orang kaya itu. Bagaimana bisa orang semiskin dia menolak uang pemberian sebesar Rp. 25 juta? Kalau bukan dia adalah lelaki yang luar biasa, yang memiliki budi yang sangat luhur.
Akhirnya orang kaya itu pun menyerah. Dia benar-benar kalah dengan ketulusan hati Pak Parman. Ia percaya bahwa apa yang dilakukan Pak Parman benar-benar tulus dari hatinya. Ia benar-benar tidak tergoda oleh indahnya dunia dan kilaunya uang jutaan rupiah. Mungkin ia satu pribadi yang langka dari 1000 orang yang ada, yang sewaktu-waktu hanya muncul di dunia. Luar biasa!
Tapi, orang kaya itu berjanji bahwa suatu saat ia akan memberikan yang terbaik buat tukang becak yang berhati mulia tersebut. Sebab, mungkin, baru kali ini hatinya terusik lalu disadarkan oleh orang miskin yang hanya seorang tukang becak. Dan waktu pun terus berlalu.
Lebaran telah tiba. Pak Parman dan orang kaya itu tidak bertemu lagi. Menjelang Lebaran Haji (Idul Adha), orang kaya itu kembali menemui Pak Parman di rumah kostnya. Kembali ia pun datang di hari Jum’at. Mudah-mudahan kali ini niatnya tidak sia-sia. Setelah mereka bertemu, di depan Pak Parman orang kaya kemudian bicara terus terang, “Pak, mohon kali ini niat baik saya diterima. Bapak dan istri serta anak Bapak akan saya berangkatkan haji ke Tanah Suci. Sekali lagi, mohon Bapak menerima niat baik saya ini?”
Pak Parman menangis di depan istri dan anak semata wayangnya. Pergi ke Mekkah saja tidak pernah ia bayangkan sejak dulu, ini apalagi ia dan keluarganya akan diberangkatkan naik haji. Ini benar-benar hadiah yang sangat luar biasa dari Allah swt. Tawaran orang kaya itu pun diterima Pak Parman dengan setulus hati.
Maka, Pak Parman dan keluarganya pun akhirnya pergi haji. Ya, seorang tukang becak yang miskin tapi memiliki hati yang sangat mulia akhirnya bisa melihat keagungan Ka’bah di Mekkah al-Mukarramah dan makam Nabi Muhammad saw di Madinah. Kebaikannya dibalas oleh Allah. Ia yang menolak satu juta, dua juta, 10 juta, hingga Rp. 25 juta, tapi Allah menggantinya dengan haji ke Baitullah, bersama istri dan anaknya! Jadi, berapa kali lipatkah keberkahan yang didapatkan Pak Parman karena sedekah yang ia lakukan setiap hari Jum’at?! Subhanallah!
Bahkan, tidak saja dihajikan secara gratis, Pak Parman akhirnya dibuatkan rumah oleh orang kaya tersebut. Maka, semakin berkahlah hidup si tukang becak berhati mulia itu. Dan sejak itu, Pak Parman pun bisa tinggal di sebuah tempat yang nyaman dan tidak memikirkan lagi uang untuk kost di bulan berikutnya.
Demikian kisah tukang becak yang bisa naik haji karena sedekah yang dilakukannya. Apakah kita sudah seperti Pak Parman? Dia yang miskin masih memikirkan untuk berbagi untuk orang lain, apalagi kita yang mungkin lebih mampu dibandingkan dia. Mudah-mudahan kita bisa mengikuti jejaknya, terutama dalam hal ketulusannya dalam berbagi! Amin.


SEDEKAH BERBUAH PELAMINAN

 

“Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (QS. Al-Baqarah: 256)

Poros sedekah memang tak lain adalah niat yang baik. Sumber kebaikan adalah Allah maka sewajarnyalah kita mengharapkan kebaikan dari-Nya. Caranya tak lain dengan berdekat-dekat dengannya dan berusaha menjalankan apa yang Dia perintahkan dan meninggalkan apa yang Dia larang.
Kisah ini dialami seorang guru madrasah di kota Bekasi. Namanya adalah Ustadz Ahmad. Laki-laki ini sehari-hari mengabdi di madrasah mengajar murid-murid Tsanawiyah pelajaran agama. Jarak antara rumahnya dengan tempat ia mengajar cukup jauh. Tapi terdorong rasa pengabdian ia hampir tak pernah absen mengajar. Keuntungannya, ia bisa menumpang mobil guru lain yang juga mengajar di madrasah yang sama.
Pekerjaan Ahmad tak mendatangkan income yang besar. Malah kalau dihitung rata-rata kebutuhan hidup orang Jakarta penghasilannya cukup minim. Ia harus pandai-pandai mengatur keuangannya. Tapi semua ia hadapi dengan rasa syukur. “Rezeki mah ada yang ngatur,” begitu katanya suatu waktu.   
Yang menjadi beban pikirannya adalah pasangan hidup. Wajar saja, usianya saat ini sudah menginjak angka 33, usia yang sangat layak untuk beristri. Masalah rezeki menurutnya tak terlalu sulit. Dapat dikit maka yang dibelanjakan sedikit, kalau kebetulan dapat agak banyak barulah dia bisa membeli kebutuhan hidupnya yang lain seperti baju dan sepatu. Tapi kalau masalah jodoh, singguh menjadi satu misteri bagi dirinya.
Masalah ini cukup menjadi beban pikirannya. Ia sadar Allah memang mengatur jodoh tiap-tiap hamba-Nya. Tapi ia juga sadar, sebagai makhluk ia harus berikhtiar karena itulah tuntunan yang diberikan agama. Maka Ahmad cukup gencar mencari-cari siapa kira-kira yang bisa ia jadikan istri untuk mendampingi hidupnya.
Salah satu bagian dari ikhtiarnya adalah bersedekah. Ahmad selalu rutin bersedekah ke masjid setiap shalat Jum’at. Jumlah memang tak terlalu besar, 5-10 ribu rupiah. Kalau kebetulan ia dapat gaji, ia akan meningkatkan sedekahnya itu menjadi 20 ribu rupiah. Demikianlah memang kemampuan sedekah yang dimiliki Ahmad mengingat penghasilan yang tak seberapa, hanya beberapa ratus ribu saja perbulan. Tapi ia selalu konsisten melakukan itu. Terselip doa agar sedekah itu bisa mendatangkan kebaikan baginya. Tak hanya masalah jodoh tapi juga masalah yang lainnya.
“Saya hanya berusaha istiqamah saja. Selain itu saya tetap berusaha mencari-cari jodoh yang cocok,” ujarnya pada Hidayah.
Demikianlah. Hal itu berjalan dalam beberapa bulan. Terselip keyakinan di hatinya bahwa doanya pastilah didengar Allah pada waktu dan keadaan yang tepat. Di luar itu ia memperbanyak ibadah. Itu semua membuat hatinya tenang dalam menjalani hari-harinya.
Tiga Wanita
Dalam waktu yang berjalan, Ahmad berkenalan dengan seorang wanita. Wanita ini ternyata seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi di daerah Jakarta Timur. Pertemuannya waktu halal bi halal idul fitri di kampungnya. Wanita tersebut ternyata masih tetangga dengannya. Ahmad tak mengenalinya karena memang sebagian besar waktunya tidak ia habiskan di rumah melainkan mengajar dan sebelumnya menuntut ilmu di pesantren.
Acara halal bi halal itu adalah mengunjungi rumah para ustadz dan sesepuh desa. Yang mengikutinya adalah kalangan anak-anak muda. Ahmad ditunjuk untuk menjadi salah satu koordinator karena ia relatif paling senior dibanding lainnya. Saat itulah ia berkenalan dengan wanita muslimah tersebut.
Sadar bahwa wanita yang ia dekati masih kuliah, Ahmad tak terlalu menaruh harap. Tapi ia menjalin hubungan baik. Di luar itu, ia juga menjalin komunikasi dengan 2 orang wanita lainnya. Wanita-wanita ini rata-rata menerimanya dengan baik, karena Ahmad memang laki-laki yang baik, santun dan tahu etika bergaul dengan lawan jenis.
Tak ingin lama-lama terjebak dengan hubungan yang tak menentu, Ahmad mulai ancang-ancang untuk menawari ketiga wanita itu posisi sebagai istrinya. Untuk menguatkan hatinya ia semakin memperbanyak ibadah dan tetap rutin bersedekah. Untuk bersedekah ia kali ini menemui salah seorang ustadznya yang menjadi pengurus sebuah masjid di dekat daerahnya. Ia membicarakan maksud hatinya kepada sang ustadz. Kali ini ia ingin bersedekah lebih besar dari biasanya yakni Rp. 50 ribu. Sang ustadz mengabarkan, kebiasaan di masjidnya, kalau ada orang bersedekah minimal 50 ribu ke atas maka akan diumumkan kepada jamaah dan didoakan. Macam-macam hajat orang bersedekah itu akan disebut dan dimintakan kepada Allah agar niat yang bersangkutan terkabul.
“Jujur saya ingin mendapat jodoh ustadz,” ujar Ahmad.
“O ya tidak apa-apa bagus sekali itu,” ujar ustadznya.
Maka Ahmad pun menyerahkan uang 50 ribu itu. Tapi ia berpesan agar namanya tak usah disebut.
Demikianlah. Ahmad menunaikan sedekahnya. Ia tak tahu apakah sedekahnya betul-betul diumumkan atau tidak. Ia juga tak tahu apakah niatnya itu masuk dalam daftar doa yang dibacakan panitia masjid kepada jamaah. Tapi hatinya sudah ikhlas bersedekah seraya memanjatkan doa kepada-Nya.
Selang beberapa waktu, Ahmad pun menunaikan maksudnya untuk menanyakan langsung kepada tiga orang wanita yang berteman baik dengannya tawaran untuk menjadi istrinya. Ia sadar ia memang bukan laki-laki berkecukupan. Yang ada dihatinya adalah niat ibadah kepada-Nya, menyempurnakan separuh agamanya. Ia berniat tak ada hal yang akan ia tutup-tutupi perihal dirinya, pekerjaannya, juga penghasilannya kepada para wanita itu.
Wanita pertama yang ia datangi menerima baik maksud Ahmad. Tapi ia mengajukan syarat untuk tidak menikah dalam tahun 2010 ini. Ia masih punya tanggungan membiayai adiknya yang kuliah. Ahmad pun mafhum. Perempuan ini tak bisa memenuhi niatnya.
Wanita kedua juga demikian. Ia menerima dengan baik tapi merasa belum punya kesiapan. Ia tak bisa jika harus menikah di tahun ini juga. Ahmad pun kembali mafhum dan memaklumi penjelasan itu.
Wanita ketiga adalah wanita tetangganya yang pertama kali ia kenal di acara halal bi halal idul fitri tahun 2009 lalu. Wanita ini juga menerima dengan baik tapi juga merasa siap kalau ia sudah menyelesaikan studinya. Saat kabar itu didengar oleh orang tua si wanita, ternyata responnya juga baik. Masalah kuliah dinilai tak akan menjadi penghalang karena si wanita tetap bisa melanjutkan kuliahnya walaupun statusnya menikah.
Demikianlah. Dengan dukungan orangtuanya, si wanita menjadi berpikiran lain. Apalagi Ahmad yang ia lihat memang adalah laki-laki baik, mengerti agama dan memiliki kemampuan untuk menjadi imamnya. Jadi sayang juga kalau dilewatkan. Akhrinya ia menyanggupi tawaran itu, bersedia dilamar dan melangsungkan pernikahan tahun ini juga.
Ahmad sangat bersyukur dengan hal itu. Tak henti ia mengucapkan tahmid. Apalagi, ia tak dibebankan biaya sedikitpun untuk menyelenggarakan pernikahannya. Semuanya ditanggung oleh keluarga besarnya. Tentu ini adalah berkah yang tak terkira, karena ia tak perlu susah-susah mencari uang seperti beberapa orang teman sebayanya yang harus menyiapkan uang sendiri untuk membiayai pernikahan mereka. Dengan berbaju pengatin warna hijau, Ahmad duduk di pelaminan bersama istrinya.
Keyakinan Ahmad pun terbukti. Niat yang baik, ikhtiar yang baik, serta sedekah yang baik, pastilah berbuah sesuatu kebaikan pula. Kini ia mendapat bukti sendiri bagaimana sedekah memang merupakan sebuah pohon subur yang berbuah lebat. Setelah menikah ia semakin merutinkan dirinya untuk senantiasa bersedekah. Sebaik, dan semampu yang ia bisa. [ ]
(gambar ilustrasi http://dermaga71.files.wordpress.com)


Rabu, 15 Mei 2013

Wild Blood HD


MY LITTLE PONY - Friendship is Magic HD


World at Arms HD



Wonder Zoo - Animal rescue ! HD


Modern Combat 4: Zero Hour HD

The # 1 FPS adalah kembali pada smartphone dengan bab baru untuk mendorong batas-batas mobile gaming lebih jauh. Dalam bangun dari bencana nuklir, satu-satunya kesempatan untuk menghindari kehancuran global di tangan tentara elit sedikit yang harus melacak dan menyelamatkan para pemimpin dunia dari kelompok teroris menakutkan akrab.

Rasakan intensitas dramatis cerita dengan juga bermain penjahat, Edward PT.
     Judul Gameloft pertama didukung oleh Havok Engine untuk efek Ragdoll menakjubkan!
     Mendominasi medan perang dengan sistem gerakan taktis baru!
     Rasakan kekacauan perang dengan grafis konsol-seperti, animasi manusia hidup dan objek dinamis.
     Forge profil gameplay Anda sendiri dengan sistem loadout ditingkatkan & lebih dari 20.000 pengaturan senjata!
     Memimpin karakter Anda ke puncak leaderboards dengan sistem peringkat baru!


Download 

PLAYMOBIL Pirates HD

Yo ho ho dan kocak! Untuk pertama kalinya pada smartphone, bermain dengan mainan PLAYMOBIL favorit Anda sebagai bagian dari pengalaman bajak laut yang menarik! Membangun Bajak Laut Camp dan mengisinya dengan para pelaut yang paling jagoan Anda dapat menemukan. Mengelola kru dan berlayar untuk menemukan harta karun dan petualangan di laut lepas! Anda bahkan dapat mengunjungi teman-teman, bertukar hadiah dengan mereka, bermain game mini seru, dan banyak lagi!

Download

Heroes of Order & Chaos HD

Tim dan berkelahi dengan teman-teman Anda di Multiplayer pertama online Battle Arena (MOBA) untuk perangkat mobile! Kumpulkan rekan kerja Anda, memperkuat Pahlawan Anda dan menghapus basis musuh dalam mendebarkan, adiktif dan cepat game. Dalam Rift Sinskaald, wilayah misterius Haradon, abadi prajurit telah berjuang selama berabad-abad. Mereka dikenal sebagai Pahlawan Order & Chaos!

Pilih antara 30 Pahlawan yang unik dan bervariasi, dari bruisers jarak dekat untuk menghancurkan penyihir
     Bermain secara gratis dengan karakter yang berbeda, menikmati rotasi perubahan Heroes gratis
     Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan Anda dan peralatan sepanjang pertandingan untuk mengalahkan musuh Anda dan memenangkan pertandingan
     Tindakan real-time: berkeliaran di peta dan memikat lawan Anda untuk menyergap mereka dalam kabut perang
     Melawan solo atau dalam modus multiplayer pada dua jenis peta (3v3 atau 5v5)
     Blend kerjasama dengan teman-teman dan persaingan melawan tim lawan dalam permainan adiktif


Irom Man3



Setelah peristiwa Iron Man 3, Tony telah menjadi penjaga perdamaian, tapi ancaman baru muncul secara teratur di seluruh dunia dan Iron Man adalah satu-satunya yang bisa merawat mereka. Dapatkan siap untuk tindakan cepat dan pertempuran epik dalam 3D ini pelari tak berujung! Kontrol Iron Man yang belum pernah sebelumnya berkat kontrol menggesek intuitif dan mudah diakses.

  • Permainan resmi dari film superhero yang paling ditunggu tahun 2013! 
  • Menyelesaikan berbagai misi dalam pertempuran terbang cepat dan epik satu-satu konfrontasi 
  • Kekuatan melepaskan Iron Man melalui kontrol menggesek intuitif dan dapat diakses 
  • Meneliti dan mengembangkan hingga 18 pakaian dari film yang berbeda (MARK II, MARK 42, Silver Centurion, dll
  • Temukan lokasi yang berbeda menawarkan tak berujung, self-menghasilkan tingkat: Malibu Shores, NYC dan China 
  •  Nikmati dunia 3D yang luar biasa dengan grafis mutakhir dan animasi
  • Download