Jumat, 24 Mei 2013

Mahabbah Sang Nabi untuk Zainab binti Jahsy


 

Satu lagi lelaku Nabi yang dicemooh habis-habisan kaum Quraisy ketika itu, yakni saat ia memutuskan menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri anak angkatnya, Zaid bin Haritsah. Bagaimana kisah ini bermula dan apa hikmah di baliknya?

Bekas Budak dan Wanita Ningrat 

Sebelum dinikahi, Rasulullah sudah mengenal betul siapa Zainab binti Jahsy. Dialah putri Umaimah binti binti Abdul Muthallib, bibi Rasulullah. Ia dibesarkan di bawah asuhannya sendiri dan dengan bantuannya pula. Kedekatan ini pula yang mengantarkannya pada keputusan bahwa Zainab sudah semestinya dipersunting lelaki shaleh kelak di kemudian hari. Dan pilihan pun jatuh pada Zaid bin Haritsah, bekas budak Rasulullah yang kemudian diangkatnya menjadi anak.
Pernikahannya menjadi bahan gunjingan semesta Mekkah, karena ada banyak rambu-rambu adat Jahiliyah yang dilanggar.
Sayangnya, tali pernikahan itu tidak berjalan mulus. Bahkan sejak awal, saat Rasulullah melamarkannya untuk Zaid, Abdullah bin Jahsy, saudara Zainab, menolak jika Zainab yang dari suku Quraisy terhormat, apalagi ia juga sepupu Nabi sendiri, harus diambil oleh Zaid yang budak belian. Rasa feodalisme dan primordialisme masih tertanam kuat di kalangan Arab. Jika perkawinan ini sampai terjadi, aib besar akan menimpa keluarga Zainab.



Memang belum ada gadis-gadis kaum bangsawan terhormat akan menikah dengan bekas budak. Tetapi Rasulullah justru ingin menghilangkan feodalisme dan primordialisme itu lewat perkawinan Zainab-Zaid. Ia ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali kadar ketakwaannya. Meski demikian, Abdullah tetap kukuh dengan pendiriannya. Rasa ashabiyah-nya (fanatik golongan) lebih kuat ketimbang perintah Rasul. Hingga akhirnya Allah menurunkan wahyu yang tertulis dalam al-Qur’an,
 “Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan  yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasulnya maka sungguhlah dia telah sesat dalam kesesatan yang nyata.”  (QS. Al-Ahzaab : 36)
Maka setelah turun ayat ini, tidak ada lagi alasan Abdullah dan Zainab untuk menolak, selain harus tunduk menerima. Namun sayang, oleh karena sejak awal pernikahan itu dilandasi setengah hati, maka hubungan Zainab-Zaid bak api dalam sekam. Suasana tidak nampak harmonis oleh karena Zainab belum bisa menerima Zaid sepenuh hati.
Mengapa aku mesti hidup berdampingan dengan seseorang yang pernah menjadi budak di rumahnya? Demikian Zainab selalu merasa begitu di hatinya. Setali tiga uang. Zaid pun didera perasaan tertekan. Ia sangat menderita oleh keangkuhan Zainab. Sampai sering dia mengadukan tindakan istrinya itu kepada Rasulullah. Bahkan, ia pernah ingin menceraikannya pula, saking kesalnya. Malangnya kekisruhan yang mewarnai rumahtangga mereka makin membuat jurang dalam sehingga nyaris susah dipertahankan.


Dalam situasi seperti ini, Rasulullah hadir sebagai juru damai, sebagaimana yang kerap dilakukan pada setiap permasalahan yang dihadapi para sahabat, tak terkecuali urusan rumahtangga. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah mendatangi rumah Zaid. Sayangnya Zaid tidak ada di rumah namun sesaat tirai yang menutup kamar di rumah Zaid tersingkap. Angin telah menyibakkan tirai itu, sehingga tampak di dalamnya Zainab sedang membenahi baju. Rasulullah melihat itu, lantas bergegas pergi seraya bertahmid dan terus membasuhi lidahnya dengan kalimat thayyibah. “Subhanalallah al Adziim, subhanallah yang membalik hati,....”
Zainab yang ada di dalam dan menyadari hal tersebut tentu saja mendengar ucapan tersebut. Maka tatkala Zaid datang, Zainab segera menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Zaid diam sejenak mendengar cerita itu, kemudian bergegas menemui Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, aku mendengar engkau telah masuk ke rumahku. Demi ayah bundaku, adakah sesuatu yang tak pantas, apakah harus kuceraikan dia?” Zaid bertanya risau, seakan-akan ada yang salah dengan perilaku Zainab. Tentu saja Rasulullah heran mendengar itu, sehingga ia pun balik bertanya, ‘Apakah ada yang diragukanmu dari Zainab?”
“Sungguh tak ada yang jelek dari dirinya selain dia yang selalu mengangkat-angkat dan sering membanggakan dirinya,” keluh Zaid seraya mengucapkan dengan kata penuh sesal karena khawatir perkataanya menyinggung Rasulullah.
Dan Rasulullah hanya tersenyum melihat kerisauan itu sambil tetap menyuruh Zaid mempertahankan rumahtangganya. “Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah,” yakin Rasulullah.
Zaid menurut. Dia berusaha bersabar dan mencoba bertahan. Namun semakin ia bertahan, semakin sakit hatinya. Hingga akhirnya terpaksa Zaid menceraikanya. Mendengar penceraian itu, Rasulullah sedih dengan derita yang menimpa keduanya. Ingin rasanya pemimpin umat yang kerapkali menjadi mediator para sahabat yang berselisih itu bisa mempertahankan rumahtangga mereka. Sebab mengekalkan hubungan rumahtangga jauh lebih baik dibanding memecahnya. Apalagi dengan putusnya hubungan itu, Zainab menyandang status janda, sebuah status yang amat disandang perempuan yang hidup di tengah liarnya alam Arab saat itu.
Peristiwa tersebut rupanya bocor dan didengar kaum kafir Quraisy. Tentu saja sebagai pihak yang antipati terhadap Rasulullah dan Islam, isu keretakan rumahtangga Zaid-Zainab jadi sasaran empuk mereka untuk semakin memojokan Rasulullah. Maka, dibuatlah rekayasa peristiwa sedemikian rupa. Dihembuskan kabar bahwa Rasulullah telah menjadi biang keretakan rumahtangga Zaid-Zainab. Bahkan bisa jadi kedatangannya di rumah Zaid tanpa kehadiran Zaid menjadi ajang perselingkuhan. Sungguh gosip murahan yang sangat menyudutkan. Dan Rasul pun bertawakal atas tuduhan tersebut.

‘Dinikahkan’ Allah

Babak baru kehidupan Zainab dengan label janda membuatnya sulit menjalani hari-harinya. Karena itu, sempat terlintas dalam benak Rasulullah untuk menikahinya demi menyelamatkan dan menolong Zainab. Akan tetapi, apa kata orang-orang nanti bila seorang ayah menikahi bekas istri anak angkatnya. Meski Rasul terkenal dengan kesabarannya, namun ia merasa berat menerima reaksi orang-orang Arab jika ia sampai menikahi Zainab.
Tapi Allah tampaknya punya skenario lain terkait kehendak yang muncul di hati Rasulullah. Allah telah menyetir hati sang Rasul agar sejalan dengan skenario-Nya. Skenario itu bermula dari rasa suka yang juga muncul di hati Zainab. Maka ketika telah timbul mahabbah antar keduanya, Allah segera menurunkan perintah,” Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya. (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri dari anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyeleseikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab : 37).
Dengan turunnya perintah ini, maka tiada lagi keraguan pada diri Rasulullah untuk menikahi Zainab.
Melalui ayat ini rupanya Allah hendak menurunkan risalah larangan bagi anak mengawini bekas istri ayah angkatnya. Sebab sesungguhnya seorang ayah angkat boleh mengawini bekas istri anak angkatnya. Dalam ayat ini pula dijelaskan bahwa bukan hanya tentang hukum perkawinan itu saja wahyu yang turun berlatar belakang Zainab, tetapi juga tentang perintah hijab, yakni tatkala Rasulullah dan Zainab sedang melangsungkan pernikahan.
Anas meriwayatkan, pesta pernikahan Rasulullah-Zainab berlangsung meriah. Untuk perhelatan tersebut Rasulullah menyembelih seekor kambing. Lewat Anas bin Malik, ia mengundang para sahabat untuk datang dalam walimatul ‘ursy. Tentu saja banyak yang datang pada pesta walimahan orang nomor satu itu. Mereka datang silih berganti. Sekelompok datang, makan, kemudian pergi, dan datang lagi. Demikian seterusnya.
Setelah tamunya pulang semua, mendadak kemudian Rasulullah menutup tirai rumahnya, memisahkan Zainab dan seisi rumah itu. Ternyata ia sedang menerima wahyu yang menyatakan larangan memasuki rumah Nabi saw dan perintah hijab. Wahyu itu ada di surat Al-Ahzab ayat 53.
Pernikahan Rasulullah-Zainab sendiri berlangsung di Madinah, namun terjadi perbedaan pendapat mengenai tahun berlangsunya; ada yang menyatakan tahun 3 H, 4 H, ada juga yang 5 H. Ketika itu usia Zainab baru mencapai 35 tahun.

Kebahagiaan Ummul-Mukminin

Zainab mulai memasuki rumah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya ia selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya.
Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi…. “ (QS. Al-Ahzab: 40)
Zainab sendiri bersuka cita luar biasa seraya menegaskan kepada Rasulullah, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku denganmu atas perintah dari langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.”
Sejak itu Zainab diliputi kebahagiaan yang sangat sampai-sampai ia menjadi istri yang pencemburu terhadap istri Rasul lainnya. Menyikapi hal ini Rasulullah pernah sampai tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati istrinya yang lain, yakni Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab.

Status Kebaikan yang Melekat

Diantara istri-istri Rasulullah, Zainab dikenal dengan kedermawanannya. Aisyah, istri Nabi yang paling muda berkisah, “Rasulullah pernah bersabda, “Paling duluan yang menyusulku dari kalian adalah yang paling panjang uluran tangannya.” Setelah Rasulullah wafat, suatu saat ketika kami berkumpul di rumah salah seorang dari kami, kami lalu berlomba mengukur panjang tangan kami pada tembok. Setelah Zainab wafat, baru kami sadar bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah itu adalah uluran tangan yang suka bersedekah. Dan Zainab paling suka mengulurkan tangannya, yakni menyedekahkan apa yang dimilikinya untuk sabilillah.

Dalam riwayat yang lain Aisyah mengatakan pula, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalam kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.”
Selain Aisyah, Umar ra pun memberi kesaksiannya. Saat itu ia pernah masuk ke rumah Rasulullah untuk menemaninya. Saat itu, keduanya melihat Zainab sedang berdiri shalat dan berdoa. Saat itu Rasul langsung mengatakan kepadanya bahwa Zainab pantas disebut sebagai wanita awwahah (wanita yang khusyuk dan merendahkan dirinya di mata Allah).
Memasuki tahun tahun ke-20 H (ada juga yang mengatakan 21 H), Zainab binti Jahsy wafat. Ia istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusulnya, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, saat usianya 53 tahun. Ia dimakamkan di Baqi’. Seluruh penduduk Madinah berduka dan mengiringinya sampai ke tempat peristirahatan terakhir. Momentum itu, bertepatan dengan ekspansi umat Islam yang mulai merambah wilayah Iskandariyah.
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar