Jumat, 24 Mei 2013

Denny Sanusi (Tjong Bun Lie) : KARENA MENJADI MUSLIM, SAJADAHNYA SEMPAT DIBAKAR



 
Perjalanannya  merengkuh iman begitu berliku. Puncaknya, ia pernah diusir sang ayah dari rumah.

Sejak kecil, Denny hidup dengan gelimang harta dan agama Konghucu. Ia terdidik untuk mengikuti agama bapaknya yang merupakan asli orang China dan merantau ke Jakarta. Kemudian ia bertemu dengan gadis Bandung untuk dinikahinya.
Sebagai pemeluk agama Konghucu, Denny sebenarnya cukup taat. Namun, keluarga cukup demokratis menerapkan nilai-nilai keberagamaan kepada anak-anaknya. Sikap demokratis inilah yang kemudian membawa Denny untuk dididik di Sekolah Katolik saat SMA.
Denny pun mulai belajar agama Katolik. Ia membaca Bible dan pergi ke gereja dengan sangat rajin. Setelah setahun bergelut dengan ajaran-ajaran Katolik, ia pun memutuskan masuk Katolik. Saat itu ia kelas dua.
Perpindahan Denny ke agama Katolik ini diketahui oleh orangtua dan keluarganya. Namun, mereka tidak marah. Mereka memperbolehkan anak-anaknya untuk memeluk agama manapun, asalkan bukan Islam.
Namun, ajaran agama yang baru digenggamnya itu justru tidak memuaskan dahaga spiritualnya. Ia merasa tidak nyaman menjalani agama tersebut.
Hatinya gelisah dan resah. Di tengah hatinya yang gundah gulana itulah ia akhirnya bertemu dengan seorang yang cukup mengerti tentang agama, meski bukan seorang ustadz. Ia pun mengutarakan kegundahannya ini.
Bagi seorang anak remaja yang masih kelas tiga saat itu, jelas saja sikap Denny ini mengundang decak kagum orang itu. Bagaimana mungkin, seorang anak remaja sudah mengungkap kegelisahan dirinya terkait masalah keyakinan? Tapi itulah kenyataannya.
“Pak, sejak saya memeluk Katolik kok hati selalu gelisah. Saya semakin malas pergi ke gereja. Ada apa ya?” tanya Denny.
Orang itu bertanya balik, “Kamu percaya Tuhan?”
“Ya.”
“Berdoalah kepada-Nya, tapi jangan menyebut nama Tuhan saya (Allah) dan juga tuhan kamu!” ujar orang itu.
“Doa apa yang harus saya baca?” Denny penasaran.
“Berdoalah sebelum tidur seperti ini: ‘Ya Tuhan, tolonglah saya. Tunjukkan saya agama mana yang paling benar di dunia dan akhirat. Yang dapat menyelamatkan saya di dunia dan akhirat.’”
Karena Denny sedang bersemangat mencari kebenaran, malam itu juga, sebelum tidur, ia membaca doa tersebut. Entah kebetulan atau tidak, esok harinya kebetulan memasuki Ramadhan, dimana Denny menyadari kalau saat-saat seperti ini umat Islam akan berpuasa, ia pun mencoba untuk berpuasa.
Hal itu terus berlangsung hingga memasuki puasa hari ke tujuh. Denny selalu berpuasa. Pada hari ketujuh, menjelang Maghrib, Denny menyalakan radio. Tanpa diduga-duga, ia mendengar suara adzan yang sangat merdu. Saking terkejutnya, ia pingsan sejenak selama kurang lebih semenit. “Saya sendiri heran, padahal setiap hari saya sering mendengar adzan tetangga terdekat,” ujar Denny yang sejak kecil memang hidup di tengah masyarakat yang banyak beragama Islam ini.
Bagi Denny, apa yang dialaminya itu merupakan salah satu kejadian yang luar biasa dalam hidupnya. Betapa tidak. Ia tidak pernah pingsan selama ini –apalagi oleh sebuah kasus yang sebenarnya sering ia dengar dari masjid atau mushala di lingkungannya. Tapi, kenapa adzan di bulan Ramadhan yang didengarnya lewat radio itu justru menggetarkan jiwanya hingga membuatnya pingsan? Pertanyaan inilah yang sejenak membuat Denny tidak bisa berkata apa-apa di kala itu.
Kejadian ini pun ditanyakannya ke orang yang cukup mengerti agama itu, “Pak, apa artinya ini?”
“Mungkin itu sebuah hidayah dari Tuhan. Tapi, coba saja kamu terus berdoa kepada Tuhan menjelang tidur dari doa yang saya ajarkan itu,” ujar orang itu, yang hingga kini Denny sudah lupa namanya.
Tak terasa, puasa pun telah di ambang perpisahan. Saat itu puasa telah memasuki hari ke-20, hendak memasuki hari ke-21 dan Denny masih berpuasa. Tiba-tiba, Denny dipanggil oleh orang itu ke rumahnya.
Di depan Denny, orang itu meminta, “Den, kalau bisa, malam ini kamu jangan tidur. Kalau saya jelaskan, kamu nanti tidak akan mengerti.Yang jelas, malam ini adalah malam istimewa, mungkin keistimewaan itu akan turun ke kamu.”
Tanpa mau bertanya lebih lanjut, Denny pun pulang. Namun, ia tidak pulang ke rumah, tapi langsung ke pabrik minuman ringan milik kedua orang tuanya. Di pabrik itu, ia naik ke tingkat dua. Di sana ia menghadap kiblat dan bertafakur dengan khusuk. Di tengah-tengah perenungannya, tiba-tiba tangan kirinya seperti ada yang mencengkeram begitu kuat, hingga ia tidak bisa bergerak. Ia berusaha memberontak, tapi tak kuasa. Akhirnya, ia pasrah. Tak lama kemudian cengkeraman itu berangsur lepas dari tangannya.
Kejadian itu tidak membuat Denny ketakutan. Ia malah turun ke bawah mendekati pancuran untuk mengambil air wudhu. Sebuah tindakan yang sebenarnya tidak ia mengerti sama sekali. Di saat itulah peristiwa aneh kembali terjadi. Saat ia sedang menyela jari-jari tangannya. Jari-jari tangan kanannya seperti tertahan begitu kuat di pangkal jari-jari tangan kirinya, hingga teramat sulit dilepaskan.
“Sepertinya Tuhan sedang mengeluarkan dosa-dosa saya,” ujarnya. Saat peristiwa itu terjadi, jam telah menunjukkan pukul satu malam. Setelah kejadian itu, ia kembali naik ke atas untuk menunaikan shalat dua rakaat. Entahlah, bisikan hati apa yang menggerakan Denny untuk melakukan semuanya ini. Padahal, ia belum menjadi seorang muslim. Ia mengikuti kata hati saja untuk melakukan gerakan-gerakan yang sudah lazim dilakukan oleh umat Islam, yaitu shalat. Usai itu, tidak ada lagi kejadian aneh yang menimpanya, dan ia pun pulang ke rumahnya.
Esok harinya, ia menemui orang itu kembali dan menceritakan apa saja yang baru dialaminya. Dengan diplomatis orang itu pun kembali berkata, “Kamu telah mengalami semuanya. Sekarang terserah kamu. Sebab, Islam tidak pernah memaksakan siapapun untuk memeluk agamanya.”
Denny berpikir sejenak. Akhirnya keputusan terbesar dalam hidupnya pun diambil. Ia memilih untuk menjadi mualaf. Subhanallah!

Diusir Keluarga
Sejak menjadi muslim, Denny pun mulai rutin menjalani shalat dan puasa. Selama dua tahun, keislaman Denny ini mampu ditutupinya dengan sangat erat. Namun, sepandai-pandai orang menjaga rahasia, akhirnya terbongkar juga.
Denny pun diinterogasi ayahnya. Namun, di depan sang ayah dan keluarganya, ia selalu mengaku non-muslim. Tapi, sang ayah tidak percaya begitu saja. Sang ayah pun mulai melarang Denny bepergian ke luar rumah; takut sang anak  melakukan akvitias ibadahnya di luar. Termasuk ketika hari Jumat tiba, Denny dilarang keluar untuk melakukan shalat Jumat. Namun, Denny selalu bisa berkelit. Ia berusaha melakukan apa saja agar tetap bisa shalat dan puasa, meski dalam kontrol keluarganya yang sangat ketat.
Tapi, suatu kali ayah dan keluarganya benar-benar mengetahui kalau Denny adalah seorang muslim. Betapa murkanya mereka pada Denny hingga mereka sempat berucap kalau darah Denny adalah halal. Artinya, kalaupun dibunuh, hal itu tidak menjadi masalah karena Denny telah murtad.
 
Kamar Denny pun diobrak-abrik dan sajadahnya dibakar. Lebih tragis lagi, Denny hampir sempat dibunuh oleh adiknya sendiri. Hanya saja, tidak sempat melukainya secara serius. Ia hanya mengalami luka ringan. Ulah sang adik ini diketahui warga. Warga yang jengkel melihat sesama muslimnya teraniaya, akhirnya mengeroyok adik Denny dalam suatu kesempatan. Hal ini pun menjadi perkara di kepolisian. Oleh adiknya, Denny dituduh sebagai biang keladi pengeroyokan tersebut.
Mulai dari cara yang halus hingga cara kasar sudah ditempuh ayah dan keluarganya. Namun, tak kuasa juga mengubah keislaman Denny. Akhirnya, Denny pun diusir dari rumah. Setelah diusir, hidup Denny pun tidak menentu. Di mana saja  ia menetap; kadang di markas PITI (lembaga mualaf) dan sebagainya.
Kendati begitu, di tengah jalan, sang ayah kadang masih menitip pesan lewat orang bahwa Denny bisa diterima kembali di keluarganya kalau ia mau balik ke agama yang lama. Tapi, Denny menolak tawaran itu. Baginya, Islam sudah harga mati; sebuah prinsip yang patut kita tiru bersama.
Dalam kondisi seperti itulah justru Denny menemukan jodohnya. Ia akhirnya menikahi seorang gadis muslimah keturunan China bernama Haryani (Tjong Siu Lan), asal Sukabumi. Denny menikah di Pengadilan Sipil karena sang ayah tidak merestuinya. Namun, demi gengsi pada teman-temannya, beberapa saat kemudian sang ayah membuatkan pesta pernikahan untuk Denny di sebuah gedung. “Tapi, setelah itu kami kembali tidak akur. Masalah akidah kami tetap berbeda,” ujar Denny.
Ujian kemudian datang lagi kepada Denny. Aset-aset perusahaan milik bapaknya yang memang atas nama dirinya akan diubah. Diketahui bahwa sejak ibunya meninggal, segala aset perusahaan milik orangtuanya berubah menjadi atas nama Denny. Namun, setelah Denny beragama Islam, sang ayah mengancam akan menyita semua aset-asetnya dan membalikan nama lagi ke diri sang ayah.
Tapi, Denny tidak mau. Ia datang ke notaris bersama sang ayah untuk mengubah kembali nama aset-aset perusahaan atas namanya tersebut menjadi atas nama ayahnya. Denny berprinsip, lebih baik kehilangan harta (aset) daripada harus menggadaikan keislamannya.
Toh Allah tidak pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya. Kini, alhamdulillah Denny mendirikan PT. UD Mulia yang bergerak di bidang supplier limbah kertas. 
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar