Jumat, 24 Mei 2013

Episode Kisah Di Balik "Keringanan" Puasa


 
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampunimu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Di penghujung bulan Sya`ban, tahun kedua Hijriyah. Tepatnya, kurang lebih 18 bulan saat Nabi saw sudah menetap di Madinah. Bulan itu umat Islam diperintahkan Allah melaksanakan puasa wajib sebulan penuh (pada bulan Ramadhan). Kewajiban puasa itu diperintahkan setelah Rasulullah mendapat wahyu dari Allah, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, kaum muslim di masa awal Islam berpandangan bahwa menjalankan puasa Asyura (10 Muharam) adalah puasa wajib bagi mereka. Itu mengacu pada puasa yang dilaksanakan umat Yahudi pada Hari Raya Yom Kippur yang jatuh tanggal 10 bulan Tishri. Riwayat lain menyebutkan, sebelum turun perintah puasa Ramadhan, Rasulullah dan sahabat melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13, 14 dan 15 (setiap bulan Qomariyah). Selain juga puasa tanggal 10 Muharam sampai datang perintah puasa Ramadhan.
Tapi, di masa awal-awal puasa wajib Ramadhan disyariatkan, kaum muslim benar-benar merasa berat dan kepayahan. Maklum, di masa awal Islam itu, seseorang dilarang berhubungan (suami-istri), bahkan dilarang makan dan minum apabila yang  bersangkutan tertidur sesudah berbuka. Praktis, apabila ia bangun dari tidur pada tengah malam –meski belum datang waktu fajar—tetap tidak diperbolehkan bersenggama, juga tak diperkenankan makan dan minum.
Larangan itu dirasa cukup berat sehingga sahabat harus mengalami beberapa rentetan peristiwa, dan akhirnya turun wahyu --ayat al-Qur`an QS. Al-Baqarah [2]: 187, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”
Dalam ayat itu, Allah menjelaskan beberapa hukum terkait dengan masalah puasa, yakni dihalalkan melakukan hubungan suami-istri pada malam (Ramadhan) antara Maghrib sampai fajar, halal pula makan dan minum pada waktu itu. Selain itu, diterangkan pula waktu puasa; sejak terbit fajar hingga Maghrib dan tentang larangan berhubungan suami istri pada waktu itikaf di masjid. Tapi, di balik sebab turunnya ayat di atas, ada beberapa peristiwa yang dapat dijadikan pelajaran dan diambil hikmahnya.
Suatu hari, salah seorang sahabat Nabi yang bernama Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) harus gigit jari saat waktu buka puasa tiba. Pasalnya, ketika datang waktu berbuka, dia yang sudah dilanda haus dan lapar menjumpai sang istri dan mengajukan pertanyaan. “Apakah engkau memiliki makanan?”
Istri Qais menjawab “Tidak, akan tetapi aku akan pergi mencarikan makanan untukmu.”
Seketika itu, istri Qais buru-buru pergi untuk mencari makanan, sementara Qais bin Shirmah sendiri hanya bisa berpangku tangan menunggu. Perutnya melilit, kelaparan. Sayang, ia ternyata tak kuasa menahan kantuk yang tiba-tiba datang menyergap. Apalagi, kedua matanya terasa berat diajak kompromi. Rupanya, rasa capek dan kelelahan yang menjalar di sekujur tubuh Qais bin Shirmah, tak bisa ditahan lagi. Tak lama kemudian, ia pun tertidur pulas.
Sementara itu, sang istri tak tahu kalau Qais bin Shirmah sudah tertidur. Ia suntuk dan sibuk mencari makanan. Hingga akhirnya, saat istrinya datang membawa makanan  dan hendak menghidangkan santapan makanan itu kepada sang suami, ia tercekat bahkan kaget --lantaran menjumpai suaminya sudah tertidur.
Seketika itu, istri Qais bin Shirmah berujar, “Rugilah engkau mengapa engkau tidur.”
Saat itu, memang ada anggapan bahwa bila seseorang sudah tidur pada malam hari pada bulan puasa, setelah itu dia tak dibolehkan makan, minum dan bersenggama. Maka, Qais yang tertidur pun praktis tak bisa makan dan minum. Karena itu, Qais harus berpuasa wishal –menyambung puasa hari itu dengan hari berikutnya, dan tidak makan suatu apa pun di antara kedua hari tersebut.
Pada tengah hari, keesokannya, Qais bin Shirmah mengalami deraan lapar dan haus. Dia pun jatuh pingsan. Kejadian yang dialami Qais ini kemudian disampaikan kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat,“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu.“
Maka setumpuk kegembiraan segera meliputi hati mereka. Juga turun ayat, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam.”
Tapi ketika diturunkan ayat, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” belum diturunkan kelengkapannya, yakni terbitnya fajar. Jadi, ketika itu, apabila orang-orang hendak berpuasa, dia mengikatkan tali berwarna putih dan tali berwarna hitam di kakinya. Dia akan terus makan sampai benar-benar bisa membedakan antara keduanya. Setelah itu, Allah menurunkan kelengkapan ayatnya, “yaitu terbitnya fajar.” Maka barulah setelah itu mereka mengetahui bahwa yang dimaksudkan --dengan hitam dan putih-- adalah malam dan siang. (HR. Bukhari)
Tapi dalam hadits yang lain diceritakan ketika turun ayat “hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam”, salah satu sahabat Nabi, Sahl bin Sa’d, mengambil tali berwarna hitam dan tali berwarna putih, meletakkan keduanya di bawah bantal, kemudian pada waktu malam ia mengamatinya namun perbedaannya tidak jelas baginya. Keesokan harinya, dia pergi menemui Rasulullah menceritakan hal itu. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang.”(HR. Bukhari)
Sementara itu, dalam satu riwayat dikisahkan bahwa teks ayat, Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid” (wala tubasyiruhunna wa antum 'akifuna fil masajid) dalam QS. 2: 187 di atas turun berkenaan dengan seorang sahabat yang keluar dari masjid untuk menggauli istrinya di saat dia sedang itikaf. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah)
Tak hanya dilarang makan dan minum, kaum muslim di masa awal Islam pun dilarang menggauli istrinya setelah dia tertidur malam hari sampai dia berbuka puasa keesokan harinya. Tetapi, suatu ketika Umar bin Khaththab pulang dari rumah Nabi dan dia tidak kuasa menahan gejolak untuk menggauli istrinya. Sesampai di rumah, malam itu Umar mengungkapkan hasrat tersebut kepada sang istri.
“Saya sudah tidur,” jawab sang istri.
Tetapi, Umar berpendapat lain, “Kau belum tidur.”
Dan akhirnya, Umar menggauli istrinya. Tetapi, hal itu tidak hanya dialami Umar. Ka`b juga berbuat seperti itu. Akhirnya, esok harinya Umar menceritakan apa yang menimpa dirinya kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat di atas (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
Sementara dalam riwayat lain, diceritakan bahwa ketika turun ayat puasa Ramadhan, kaum muslimin tidak mendekati istrinya sepanjang bulan Ramadhan. Sedangkan kaum lelaki tidak dapat menahan nafsu mereka, kemudian Allah menurunkan firman-Nya, “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu.”

Pelajaran dari Ayat QS. Al-Baqarah [2]: 187

            Tentu, tak bisa disangkal, bahwa turunnya ayat itu merupakan rahmat Allah bagi kaum muslim --karena telah menasakh (menghapus) hukum yang pertama (perintah puasa) kepada (hukum) yang lebih ringan. Sebab di awal perintah puasa, apabila mereka telah tidur, di malam bulan Ramadhan diharamkan atas mereka berjima’, makan, dan minum hingga terbenamnya matahari di hari berikutnya. Jadi, dengan turunnya ayat di atas, Allah memberikan keringanan (rukhsah) kepada mereka (kaum muslim) dengan membolehkan hal-hal tersebut dari Maghrib hingga waktu fajar.
Sementara itu, dengan teks ayat “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”, sebagian besar ulama kemudian berpendapat bahwa itu adalah sebuah teks yang menganjurkan seseorang untuk makan sahur --bahkan mengakhirkan sahur. Apalagi, dalam sebuah hadits, Rasulullah telah bersabda, “Makan sahurlah kalian karena di dalam sahur itu terdapat berkah.(HR. Bukhari dan Muslim).
Karena dengan makan sahur itu, orang akan memiliki energi untuk menjalankan puasa pada hari itu. Dengan kata lain, sahur bisa mencukupinya dari berbagai makanan dan minuman pada siang hari. Selain itu, makan sahur itu menjadi pembeda antara puasanya kaum muslim dan puasanya kaum Ahli Kitab.
Hal itu sebagaimana telah ditegaskan Rasulullah dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim).
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar