Jumat, 24 Mei 2013

IBU YANG MENIKAHKAN ANAKNYA DENGAN BIDADARI SURGA



 
Seorang ibu dan anaknya tertawan untaian syair nan indah tentang bidadari surga. Pengorbanan apa pun sanggup dilakukan asal dapat berjumpa dengan penghuni surga yang elok rupawan itu.
Wanita yang dimaksud adalah Ummu Ibrahim al-Bashriyah al-Abidah, wanita Basrah yang ahli ibadah, serta Ibrahim, anaknya. Ketika musuh menyerang salah satu benteng Islam, banyak orang termotivasi untuk berjihad. Tak terkecuali dengan Ummu Ibrahim dan anaknya.
Abdul Wahid Ibnu Zaid al-Bashri, seorang pemimpin pasukan muslim, suatu ketika berorasi di tengah keramaian, mendorong mereka untuk berjihad. Dalam kerumunan itu, tidak ketinggalan Ummu Ibrahim dan anaknya.  Abdul Wahid dalam pidatonya menggambarkan wanita surga.
“Gadis itu lembut, genit lagi periang. Diciptakan dari segala yang wangi baunya. Ia memiliki ciri-ciri khusus dengan tutur kata yang manis…’orang lalai tidak akan meminang orang sepertiku. Yang meminangku hanyalah orang yang gigih,” ujar Abdul Wahid bersyair.
Mendengar syair tersebut kegaduhan sontak terpecah. Begitu pun Ummu Ibrahim. Ia  langsung bergegas menghampiri Abdul Wahid.
“Wahai Abu Ubaid, tidakkah engkau kenal dengan anakku, Ibrahim? Para pemuka penduduk Basrah meminangnya untuk putri-putri mereka, namun aku menolaknya. Akan tetapi, demi Allah, bidadari ini telah membuatku kagum, aku ingin merelakannya menjadi pengantin untuk anakku. Apa kau bisa menikahkannya dengan anakku dengan mengambil maharnya dariku sepuluh ribu dinar? Dia boleh pergi menyertaimu.. Semoga Allah menganugerahinya mati syahid dan bisa memberi syafaat kepadaku dan ayahnya pada hari kiamat!” ujar Ummu Ibrahim.
“Jika kau melakukannya, maka sungguh engkau, anakmu, dan ayah anakmu akan mendapatkan keuntungan yang agung,” jawab Abdul Wahid.
Ummu Ibrahim senang alang kepalang mendengar jawaban itu. Lalu ia pun memanggil putranya.
“Anakku, apakah kau rela menjadikan bidadari ini sebagai istri hingga mengorbankan nyawamu di jalan-Nya dan tidak akan mengulangi perbuatan dosanya?”
“Ya, ibuku, aku rela dengan segala kerelaan,” jawab Ibrahim.
“Ya Allah, aku jadikan Engkau sebagai saksi bahwa aku telah mengawinkan putraku ini dengan bidadari tadi. Dengan mengorbankan nyawanya di jalan-Mu dan tidak mengulangi perbuatan dosanya. Terimalah dia dariku, wahai Dzat yang paling Pengasih di antara orang-orang yang mengasihi.”
Ummu Ibrahim lalu bergegas menghampiri Abdul Wahid, memberinya sepuluh ribu dinar. “Abu Ubaid, ini adalah mahar sang bidadari untuk kau gunakan sebagai persiapan, maka siapkanlah para tentara di jalan Allah.” Setelah itu, wanita yang hatinya tengah dilanda kebahagiaan tersebut membeli seekor kuda yang kuat dan senjata yang bagus untuk putranya.
Abdul Wahid dan para qari’ yang ada di kerumunan terpukau melihat apa yang dilakukan Ummu Ibrahim. Mereka lantas melantunkan sebuah ayat al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin baik diri maupun harta mereka dengan memberika surga untuk mereka…” (at-Taubah: 111)
Tanpa dinyana, apa yang dilakukan ibu dan anak tersebut telah melecut semangat tentara muslim. Mereka maju berperang. Ibrahim berhasil membunuh banyak tentara musuh. Sayang, jumlah musuh yang terlalu banyak berhasil mengepungnya hingga ia pun syahid terbunuh.
Maka ketika tentara muslim kembali ke Basrah, kaum muslim sepakat untuk tidak menceritakan hal tersebut kepada Ummu Ibrahim. Tapi ibunda Ibrahim itu bertanya kepada Abdul wahid.
 “Wahai Abu Ubaid, apakah hadiah dariku telah diterima agar aku tenang, atau malah ditolak dan aku merasa sedih?” tanya Ummu Ibrahim.
“Jangan khawatir. Hadiahmu telah diterima,” sahut Abdul Wahid dengan senyum.
Esoknya, Ummu Ibrahim kembali mendatangi Abdul Wahid di masjidnya.
“Aku hanya ingin bercerita, bahwa tadi malam aku melihat anakku, Ibrahim, di taman yang indah, di atasnya terdapat kubah hijau. Dia berada di atas ranjang yang terbuat dari permata. Di atas kepalanya terdapat mahkota. Dia mengatakan padaku, ‘Wahai ibu, berbahagialah, mahar telah diterima dan sang pengantin telah dinikahkan.”
[Disarikan dari The Great Women, Mengapa Wanita Harus Merasa Tidak Lebih Mulia, --judul asli:Uluwwul Himmah ‘Inda an-Nisa, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006]
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar