Jumat, 24 Mei 2013

KEGAIBAN BULAN YANG TERBELAH DI MASA NABI


 
“Sesungguhnya telah dekat hari Kiamat dan bulan pun
telah terBelah.” 
(QS. Al-Qamar [54]: 1

Salah satu tanda kiamat adalah terbelahnya bulan. Masalah ini sebenarnya persoalan gaib. Namun, pada masa Nabi, bulan pernah terbelah dan itu bukan sebagai tanda kiamat, tapi sebagai tanda kemukjizatannya sebagai Rasul Allah. Saat itu, orang kafir Quraisy menantang Nabi untuk membelah bulan jika ia memang seorang utusan Allah. Maka, atas izin Allah, bulan itu akhirnya bisa terbelah. Meski begitu, di antara mereka ada yang beriman, ada pula yang tidak.
Kini, proses terbelahnya bulan pada masa Nabi itu menjadi perbincangan dan penelitian ilmuwan modern. Apakah kejadian itu benar adanya atau hanya sekadar rekayasa sejarah, yang sengaja diciptakan oleh Nabi?
Dalam buku berjudul Al-I’jaz Al-’Ilmi fi As-Sunnah An-Nabawiyah Jilid I, Prof. Dr. Zaghlul an-Najjar menceritakan ihwal pengakuan seorang mualaf bernama David M. Pidcock. Pengakuan tersebut terjadi beberapa tahun lalu dalam satu ceramah yang diisi oleh Dr. Zaghlul di Fakultas Kedokteran Universitas Cardiff, Wales, Inggris Barat.
Pidcock mengatakan bahwa ayat pertama surah al-Qamar inilah yang menyebabkan ia masuk Islam di akhir dekade 70-an. Ceritanya, saat itu ia sedang melakukan kajian terhadap agama-agama dunia. Salah satu teman muslimnya menghadiahinya sebuah al-Qur’an terjemahan. Saat pertama kali membaca, ia langsung terkejut dengan surah al-Qamar. Karena tidak percaya bahwa bulan pernah terbelah dan kemudian menempel kembali, ia langsung menutup al-Qur’an tersebut dan meninggalkanya begitu saja.
Beberapa hari kemudian, tanpa disengaja ia melihat sebuah acara di BBC tentang perjalanan luar angkasa. Acara yang disiarkan pada tahun 1978 itu dipandu oleh penyiar Inggris terkenal bernama James Burke dengan menghadirkan tiga ilmuwan antariksa Amerika.
Dalam wawancara tersebut, dibahas perjalanan ruang angkasa mereka yang menemukan satu fakta penting. Fakta tersebut adalah sesungguhnya bulan dahulu pernah terbelah, dan kemudian melekat lagi. Bekas-bekas yang membuktikan cerita ini masih terlihat di permukaan bulan dan membentang hingga kedalamannya.
Begitu mendengar penuturan ini, Pidcock lalu tersentak kaget dan teringat akan surah al-Qamar yang ia pernah baca. Kemudian ia pun masuk Islam. Dari kisah nyata ini nampak bahwa bulan memang pernah terbelah pada masa Nabi, lalu menempel lagi atas kekuasaan Allah. Dan ilmuwan Amerika baru mengakui setelah mereka sendiri melakukan penelitian ke bulan dan menemukan bukti itu.
Tidak cukup dengan bukti di atas, ada fakta lain yang mengaklamasi terbelahnya bulan pada masa Nabi, yaitu catatan sejarah India dan China kuno. Sayyid Mahmud Syukri al-Alusi dalam buku Ma Dalla ‘Alaihi al-Qur’an seraya  mengutip buku Tarikh al-Yamini, menuliskan bahwa dalam sebuah penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud bin Sabaktakin al-Ghaznawi terhadap sebuah kerajaan yang masih menganut paganisme (musyrik) di India, ia menemukan lempengan batu di dalam sebuah istana taklukkan tersebut. Pada lempengan tersebut terpahat tulisan, “Istana ini dibangun pada malam terbelahnya bulan, dan peristiwa itu mangandung pelajaran bagi orang yang mengambil pelajaran.”
Hal itu menunjukkan bahwa bulan memang pernah terbelah menjadi dua dan itu terjadi pada masa Nabi. Secara logika, ini sangat tidak mungkin dan untuk itulah orang-orang Barat banyak yang menyangkalnya. Namun, sekali lagi, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Lewat sang Nabi, kekuasaan Allah telah ditunjukkan pada orang-orang kafir masa itu bahwa bulan pun bisa terbelah.
Menurut Sayyid Quthub, terbelahnya bulan pada masa Nabi telah nyata terjadi. Ia mengemukakan sekian banyak riwayat dari berbagai sumber yang semuanya menentukan tempat kejadiannya, yakni di Makkah; kecuali satu riwayat yang menyebutkannya di Mina. Riwayat-riwayat tersebut seluruhnya menguraikan waktunya, yakni sebelum Nabi berhijrah.
Hal senada juga dikemukakan oleh Thabathaba’i. “Terlalu banyak riwayat yang menginformasikannya dan ulama tafsir serta hadits menerima riwayat-riwayat itu,” ujarnya. Hanya saja, ia menolak anggapan bahwa terbelahnya bulan adalah isyarat tentang terpisahnya bulan dari bumi yang tadinya merupakan satu gumpalan, sebagaimana kejadian langit dan bumi yang tadinya merupakan satu gumpalan, lalu dipisahkan Allah.
Ulama ini juga menolak anggapan sementara orang bahwa jika peristiwa terbelahnya bulan itu benar-benar terjadi, maka tentulah telah dilihat oleh orang banyak di Barat dan Timur. Sebab, menurutnya, bisa saja mereka tidak mengetahuinya saat-saat itu, karena tidak ada bukti yang menyatakan bahwa seluruh peristiwa langit dan bumi diketahui oleh manusia semuanya dan dibicarakan mereka. Di sisi lain, wilayah Hijaz dan kawasan negeri-negeri Arab ketika itu belum lagi memiliki alat-alat yang dapat mereka gunakan untuk meneropong angkasa.
Namun, ihwal terbelah bulan pada masa Nabi tersebut dibantah oleh ulama rasionalis, Muhammad Abduh. Ia menolak segala riwayat yang tidak rasional. Beliau dan para ulama yang menolak memahami kata insyaqqa (terbelah) dalam arti “akan segera terbelah”, jadi bukan kata kerja lampau (fi’il madhi). Ini menurut mereka serupa dengan ucapan qamat menjelang shalat. Ketika itu muazin berkata dalam bentuk kata kerja masa lampau (qad qamat ash-shalah), yang bila diterjemahkan secara harfiah berarti “sungguh telah dilaksanakan shalat”, namun maksudnya adalah shalat segera akan dilaksanakan. Pemahaman ini mereka kemukakan karena mereka merasa bahwa peristiwa terbelahnya bulan pada masa lalu adalah suatu peristiwa yang sangat sulit diterima oleh akal.
Pendapat Abduh ini dibantah oleh Prof. Dr. Quraish Shihab. Menurutnya, seperti yang ditulis dalam Tafsir Al-Mishbah, menolak riwayat-riwayat hadits atas dasar ketidak logisan bukanlah suatu alasan yang tepat, karena semua ciptaan Allah sungguh mengagumkan.
Menurut Quraish, setiap muslim percaya bahwa tata kerja alam raya berjalan konsisten sesuai dengan hukum alam yang ditetapkan Allah. Tetapi, pada saat yang sama setiap muslim harus percaya bahwa tidak tertutup kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang berbeda dengan kebiasaan yang terlihat sehari-hari, karena baik yang terlihat sehari-hari maupun yang tidak itu sangat mengagumkan dan keduanya dicakup oleh kuasa Allah.
Salah satunya adalah kasus terbelahnya bulan. Menurut Quraish, peristiwa ini bukan suatu yang mustahil menurut akal, tetapi mustahil menurut kebiasaan. Karena itu, terbelahnya bulan sebagai mukjizat yang telah terjadi tidaklah harus dimungkiri dengan alasan yang tidak logis, apalagi bila sekian banyak orang yang percaya menginformasikannya.
Terlepas dari berbagai macam konflik pemikiran di atas, yang jelas, kelak bulan akan terbelah (lagi) sebagai satu tanda bahwa kiamat besar akan segera tiba. Isyarat ini bisa kita baca dari surat al-Qamar ayat satu di atas, “Sesungguhnya telah dekat hari kiamat, dan bulan pun telah terbelah.” (QS. Al-Qamar: 1).
Menurut Muhammad Abduh, kelak bulan akan terbelah dan itu pertanda kiamat akan segera tiba. Karena itu, dalam menafsirkan ayat di atas, ia memahami insyaqqa sebagai akan terbelah (istiqbal), bukan telah terbelah (fi’il madhi). Karena itu, ia menolak jika ayat di atas dijadikan sebagai dalil atas kemukjizatan Rasul yang bisa membelah bulan atas izin Allah. Bahkan, Abduh sendiri meragukan hal yang tidak rasional itu.
 Namun, ada yang berpendapat, kata insyaqqa pada ayat di atas tetap diartikan sebagai “telah terbelah” dan tetap berkaitan dengan terbelahnya bulan sebagai tanda akan terjadinya kiamat besar. Jadi, bukan terbelahnya bulan dalam kaitan dengan kemukjizatan Rasul. Jika dipahami secara cermat, hal ini tidak keliru sama sekali. Logika bahasa dari ayat di atas sebenarnya begini, “Bulan pun telah terbelah, sesungguhnya telah dekat hari kiamat.” Artinya, setelah bulan itu terbelah, maka kiamat pun akan datang.
Jadi, pada ayat di atas, Allah sengaja menempatkan akibat dulu, baru sebab. Dan ayat di atas tidak akan terjadi dalam proses sebab-akibat [kausalitas], jika insyaqqa justru diartikan “akan terbelah”. Jadi, seolah-olah ayat itu telah menceritakan suatu peristiwa yang sudah terjadi yaitu ketika bulan sudah terbelah, maka kiamat pasti akan tiba.
Namun, pertanyaannya: bagaimana proses terbelahnya bulan menjelang kiamat itu? Tidak ada hal yang pasti mengenai itu. Kendati demikian, di dalam al-Qur’an disebutkan, “Apabila matahari digulung. Dan apabila bintang-bintang berjatuhan. Dan apabila gunung-gunung dihancurkan. Dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak dipedulikan). Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan. Dan apabila lautan dipanaskan.” (QS At-Takwir: 1-6) dan  “Apabila langit terbelah dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan.” (QS Al-Infithar: 1-2)
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ahmad Sarwat, Lc, mengatakan bahwa hari Kiamat kubra adalah hari dihancurkannya alam semesta, bukan hanya bumi yang kita tempati, atau solar system, atau galaksi Bimasakti kita saja, akan tetapi semua benda langit di jagad raya ini (termasuk bulan) memang akan dihancurkan.
Namun, bila kita melihat tafsiran Muhammad Abduh tentang surat al-Qamar di atas, bisa jadi kehancuran bulan pada hari Kiamat nanti diawali oleh keterbelahannya dulu seperti yang terjadi pada masa Nabi. Setelah itu, ia jatuh dan bertubrukan dengan bintang yang lain. Lalu terjadilah kehancuran yang sangat dahsyat.
Kita tentu tidak ingin melihat kejadian yang maha dahsyat tersebut. Karena itu, jadilah kita orang-orang yang bertakwa. Sebab, janji Allah, bahwa orang-orang shaleh dijamin tidak akan pernah melihat kejadian te­r­dahsyat sepanjang sejarah dunia tersebut. Mereka akan dimatikan terlebih dulu oleh Allah. Wallahu a’lam bil shawab!
Categories:

0 komentar:

Posting Komentar