Tampilkan postingan dengan label Intisari Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Intisari Islam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Mei 2013

Episode Kisah Di Balik "Keringanan" Puasa


 
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampunimu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Di penghujung bulan Sya`ban, tahun kedua Hijriyah. Tepatnya, kurang lebih 18 bulan saat Nabi saw sudah menetap di Madinah. Bulan itu umat Islam diperintahkan Allah melaksanakan puasa wajib sebulan penuh (pada bulan Ramadhan). Kewajiban puasa itu diperintahkan setelah Rasulullah mendapat wahyu dari Allah, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, kaum muslim di masa awal Islam berpandangan bahwa menjalankan puasa Asyura (10 Muharam) adalah puasa wajib bagi mereka. Itu mengacu pada puasa yang dilaksanakan umat Yahudi pada Hari Raya Yom Kippur yang jatuh tanggal 10 bulan Tishri. Riwayat lain menyebutkan, sebelum turun perintah puasa Ramadhan, Rasulullah dan sahabat melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13, 14 dan 15 (setiap bulan Qomariyah). Selain juga puasa tanggal 10 Muharam sampai datang perintah puasa Ramadhan.
Tapi, di masa awal-awal puasa wajib Ramadhan disyariatkan, kaum muslim benar-benar merasa berat dan kepayahan. Maklum, di masa awal Islam itu, seseorang dilarang berhubungan (suami-istri), bahkan dilarang makan dan minum apabila yang  bersangkutan tertidur sesudah berbuka. Praktis, apabila ia bangun dari tidur pada tengah malam –meski belum datang waktu fajar—tetap tidak diperbolehkan bersenggama, juga tak diperkenankan makan dan minum.
Larangan itu dirasa cukup berat sehingga sahabat harus mengalami beberapa rentetan peristiwa, dan akhirnya turun wahyu --ayat al-Qur`an QS. Al-Baqarah [2]: 187, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”
Dalam ayat itu, Allah menjelaskan beberapa hukum terkait dengan masalah puasa, yakni dihalalkan melakukan hubungan suami-istri pada malam (Ramadhan) antara Maghrib sampai fajar, halal pula makan dan minum pada waktu itu. Selain itu, diterangkan pula waktu puasa; sejak terbit fajar hingga Maghrib dan tentang larangan berhubungan suami istri pada waktu itikaf di masjid. Tapi, di balik sebab turunnya ayat di atas, ada beberapa peristiwa yang dapat dijadikan pelajaran dan diambil hikmahnya.
Suatu hari, salah seorang sahabat Nabi yang bernama Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) harus gigit jari saat waktu buka puasa tiba. Pasalnya, ketika datang waktu berbuka, dia yang sudah dilanda haus dan lapar menjumpai sang istri dan mengajukan pertanyaan. “Apakah engkau memiliki makanan?”
Istri Qais menjawab “Tidak, akan tetapi aku akan pergi mencarikan makanan untukmu.”
Seketika itu, istri Qais buru-buru pergi untuk mencari makanan, sementara Qais bin Shirmah sendiri hanya bisa berpangku tangan menunggu. Perutnya melilit, kelaparan. Sayang, ia ternyata tak kuasa menahan kantuk yang tiba-tiba datang menyergap. Apalagi, kedua matanya terasa berat diajak kompromi. Rupanya, rasa capek dan kelelahan yang menjalar di sekujur tubuh Qais bin Shirmah, tak bisa ditahan lagi. Tak lama kemudian, ia pun tertidur pulas.
Sementara itu, sang istri tak tahu kalau Qais bin Shirmah sudah tertidur. Ia suntuk dan sibuk mencari makanan. Hingga akhirnya, saat istrinya datang membawa makanan  dan hendak menghidangkan santapan makanan itu kepada sang suami, ia tercekat bahkan kaget --lantaran menjumpai suaminya sudah tertidur.
Seketika itu, istri Qais bin Shirmah berujar, “Rugilah engkau mengapa engkau tidur.”
Saat itu, memang ada anggapan bahwa bila seseorang sudah tidur pada malam hari pada bulan puasa, setelah itu dia tak dibolehkan makan, minum dan bersenggama. Maka, Qais yang tertidur pun praktis tak bisa makan dan minum. Karena itu, Qais harus berpuasa wishal –menyambung puasa hari itu dengan hari berikutnya, dan tidak makan suatu apa pun di antara kedua hari tersebut.
Pada tengah hari, keesokannya, Qais bin Shirmah mengalami deraan lapar dan haus. Dia pun jatuh pingsan. Kejadian yang dialami Qais ini kemudian disampaikan kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat,“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu.“
Maka setumpuk kegembiraan segera meliputi hati mereka. Juga turun ayat, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam.”
Tapi ketika diturunkan ayat, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” belum diturunkan kelengkapannya, yakni terbitnya fajar. Jadi, ketika itu, apabila orang-orang hendak berpuasa, dia mengikatkan tali berwarna putih dan tali berwarna hitam di kakinya. Dia akan terus makan sampai benar-benar bisa membedakan antara keduanya. Setelah itu, Allah menurunkan kelengkapan ayatnya, “yaitu terbitnya fajar.” Maka barulah setelah itu mereka mengetahui bahwa yang dimaksudkan --dengan hitam dan putih-- adalah malam dan siang. (HR. Bukhari)
Tapi dalam hadits yang lain diceritakan ketika turun ayat “hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam”, salah satu sahabat Nabi, Sahl bin Sa’d, mengambil tali berwarna hitam dan tali berwarna putih, meletakkan keduanya di bawah bantal, kemudian pada waktu malam ia mengamatinya namun perbedaannya tidak jelas baginya. Keesokan harinya, dia pergi menemui Rasulullah menceritakan hal itu. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang.”(HR. Bukhari)
Sementara itu, dalam satu riwayat dikisahkan bahwa teks ayat, Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid” (wala tubasyiruhunna wa antum 'akifuna fil masajid) dalam QS. 2: 187 di atas turun berkenaan dengan seorang sahabat yang keluar dari masjid untuk menggauli istrinya di saat dia sedang itikaf. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah)
Tak hanya dilarang makan dan minum, kaum muslim di masa awal Islam pun dilarang menggauli istrinya setelah dia tertidur malam hari sampai dia berbuka puasa keesokan harinya. Tetapi, suatu ketika Umar bin Khaththab pulang dari rumah Nabi dan dia tidak kuasa menahan gejolak untuk menggauli istrinya. Sesampai di rumah, malam itu Umar mengungkapkan hasrat tersebut kepada sang istri.
“Saya sudah tidur,” jawab sang istri.
Tetapi, Umar berpendapat lain, “Kau belum tidur.”
Dan akhirnya, Umar menggauli istrinya. Tetapi, hal itu tidak hanya dialami Umar. Ka`b juga berbuat seperti itu. Akhirnya, esok harinya Umar menceritakan apa yang menimpa dirinya kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat di atas (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
Sementara dalam riwayat lain, diceritakan bahwa ketika turun ayat puasa Ramadhan, kaum muslimin tidak mendekati istrinya sepanjang bulan Ramadhan. Sedangkan kaum lelaki tidak dapat menahan nafsu mereka, kemudian Allah menurunkan firman-Nya, “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu.”

Pelajaran dari Ayat QS. Al-Baqarah [2]: 187

            Tentu, tak bisa disangkal, bahwa turunnya ayat itu merupakan rahmat Allah bagi kaum muslim --karena telah menasakh (menghapus) hukum yang pertama (perintah puasa) kepada (hukum) yang lebih ringan. Sebab di awal perintah puasa, apabila mereka telah tidur, di malam bulan Ramadhan diharamkan atas mereka berjima’, makan, dan minum hingga terbenamnya matahari di hari berikutnya. Jadi, dengan turunnya ayat di atas, Allah memberikan keringanan (rukhsah) kepada mereka (kaum muslim) dengan membolehkan hal-hal tersebut dari Maghrib hingga waktu fajar.
Sementara itu, dengan teks ayat “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”, sebagian besar ulama kemudian berpendapat bahwa itu adalah sebuah teks yang menganjurkan seseorang untuk makan sahur --bahkan mengakhirkan sahur. Apalagi, dalam sebuah hadits, Rasulullah telah bersabda, “Makan sahurlah kalian karena di dalam sahur itu terdapat berkah.(HR. Bukhari dan Muslim).
Karena dengan makan sahur itu, orang akan memiliki energi untuk menjalankan puasa pada hari itu. Dengan kata lain, sahur bisa mencukupinya dari berbagai makanan dan minuman pada siang hari. Selain itu, makan sahur itu menjadi pembeda antara puasanya kaum muslim dan puasanya kaum Ahli Kitab.
Hal itu sebagaimana telah ditegaskan Rasulullah dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim).

IBU YANG MENIKAHKAN ANAKNYA DENGAN BIDADARI SURGA



 
Seorang ibu dan anaknya tertawan untaian syair nan indah tentang bidadari surga. Pengorbanan apa pun sanggup dilakukan asal dapat berjumpa dengan penghuni surga yang elok rupawan itu.
Wanita yang dimaksud adalah Ummu Ibrahim al-Bashriyah al-Abidah, wanita Basrah yang ahli ibadah, serta Ibrahim, anaknya. Ketika musuh menyerang salah satu benteng Islam, banyak orang termotivasi untuk berjihad. Tak terkecuali dengan Ummu Ibrahim dan anaknya.
Abdul Wahid Ibnu Zaid al-Bashri, seorang pemimpin pasukan muslim, suatu ketika berorasi di tengah keramaian, mendorong mereka untuk berjihad. Dalam kerumunan itu, tidak ketinggalan Ummu Ibrahim dan anaknya.  Abdul Wahid dalam pidatonya menggambarkan wanita surga.
“Gadis itu lembut, genit lagi periang. Diciptakan dari segala yang wangi baunya. Ia memiliki ciri-ciri khusus dengan tutur kata yang manis…’orang lalai tidak akan meminang orang sepertiku. Yang meminangku hanyalah orang yang gigih,” ujar Abdul Wahid bersyair.
Mendengar syair tersebut kegaduhan sontak terpecah. Begitu pun Ummu Ibrahim. Ia  langsung bergegas menghampiri Abdul Wahid.
“Wahai Abu Ubaid, tidakkah engkau kenal dengan anakku, Ibrahim? Para pemuka penduduk Basrah meminangnya untuk putri-putri mereka, namun aku menolaknya. Akan tetapi, demi Allah, bidadari ini telah membuatku kagum, aku ingin merelakannya menjadi pengantin untuk anakku. Apa kau bisa menikahkannya dengan anakku dengan mengambil maharnya dariku sepuluh ribu dinar? Dia boleh pergi menyertaimu.. Semoga Allah menganugerahinya mati syahid dan bisa memberi syafaat kepadaku dan ayahnya pada hari kiamat!” ujar Ummu Ibrahim.
“Jika kau melakukannya, maka sungguh engkau, anakmu, dan ayah anakmu akan mendapatkan keuntungan yang agung,” jawab Abdul Wahid.
Ummu Ibrahim senang alang kepalang mendengar jawaban itu. Lalu ia pun memanggil putranya.
“Anakku, apakah kau rela menjadikan bidadari ini sebagai istri hingga mengorbankan nyawamu di jalan-Nya dan tidak akan mengulangi perbuatan dosanya?”
“Ya, ibuku, aku rela dengan segala kerelaan,” jawab Ibrahim.
“Ya Allah, aku jadikan Engkau sebagai saksi bahwa aku telah mengawinkan putraku ini dengan bidadari tadi. Dengan mengorbankan nyawanya di jalan-Mu dan tidak mengulangi perbuatan dosanya. Terimalah dia dariku, wahai Dzat yang paling Pengasih di antara orang-orang yang mengasihi.”
Ummu Ibrahim lalu bergegas menghampiri Abdul Wahid, memberinya sepuluh ribu dinar. “Abu Ubaid, ini adalah mahar sang bidadari untuk kau gunakan sebagai persiapan, maka siapkanlah para tentara di jalan Allah.” Setelah itu, wanita yang hatinya tengah dilanda kebahagiaan tersebut membeli seekor kuda yang kuat dan senjata yang bagus untuk putranya.
Abdul Wahid dan para qari’ yang ada di kerumunan terpukau melihat apa yang dilakukan Ummu Ibrahim. Mereka lantas melantunkan sebuah ayat al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin baik diri maupun harta mereka dengan memberika surga untuk mereka…” (at-Taubah: 111)
Tanpa dinyana, apa yang dilakukan ibu dan anak tersebut telah melecut semangat tentara muslim. Mereka maju berperang. Ibrahim berhasil membunuh banyak tentara musuh. Sayang, jumlah musuh yang terlalu banyak berhasil mengepungnya hingga ia pun syahid terbunuh.
Maka ketika tentara muslim kembali ke Basrah, kaum muslim sepakat untuk tidak menceritakan hal tersebut kepada Ummu Ibrahim. Tapi ibunda Ibrahim itu bertanya kepada Abdul wahid.
 “Wahai Abu Ubaid, apakah hadiah dariku telah diterima agar aku tenang, atau malah ditolak dan aku merasa sedih?” tanya Ummu Ibrahim.
“Jangan khawatir. Hadiahmu telah diterima,” sahut Abdul Wahid dengan senyum.
Esoknya, Ummu Ibrahim kembali mendatangi Abdul Wahid di masjidnya.
“Aku hanya ingin bercerita, bahwa tadi malam aku melihat anakku, Ibrahim, di taman yang indah, di atasnya terdapat kubah hijau. Dia berada di atas ranjang yang terbuat dari permata. Di atas kepalanya terdapat mahkota. Dia mengatakan padaku, ‘Wahai ibu, berbahagialah, mahar telah diterima dan sang pengantin telah dinikahkan.”
[Disarikan dari The Great Women, Mengapa Wanita Harus Merasa Tidak Lebih Mulia, --judul asli:Uluwwul Himmah ‘Inda an-Nisa, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006]

Taubat Saat Mendengar Khutbah Idul Fitri


 Ini adalah kisah tentang seorang pria yang kembali ke jalan Allah. Setelah sekian lama bergelimang dengan dosa dan nista, pria ini akhirnya menuju jalan sejati. Uniknya, ia merasakan betul apa itu namanya ‘Idul Fitri’. Ia mengalami betul apa itu makna ‘kembali ke fitrah’: sebuah istilah yang lazim terdengar di mana-mana pada hari Idul Fitri, tapi mungkin jarang yang merasakan makna hakikinya.
Idul Fitri. Ya, inilah istilah yang agung bagi seorang hamba yang sudah jauh dari sajadah Ilahi. Ia kembali bersujud di atas sajadah yang lama ditinggalkannya pada saat orang lain bergembira. Ia baru merasakan indahnya kembali ke jalan Allah ketika tengah mendengarkan seorang khatib membacakan khutbahnya. Kala itu, seorang khatib berkata, “Idul Fitri adalah untuk orang yang kembali dari tempat yang sesat menuju tempat yang nikmat, yaitu Islam.”
 
Idul  Fitri  tidak hanya  milik mereka yang rajin beribadah,  tapi juga milik  mereka yang benar-benar kembali menjadi ‘manusia’.
Awalnya ia hanya memahami bahwa Idul Fitri hanya untuk orang yang sukses menjalankan ibadah puasa selama sebulan. Idul Fitri adalah bagi orang yang telah benar-benar mengamalkan rukun Islam yang keempat itu. Tapi, entah kenapa, sang ustadz kala itu justru mengatakan sesuatu di luar kalimat pada umumnya.
Pria itu bernama Tohari, lelaki yang dikisahkan dalam cerita ini. Usianya kini menginjak kepala lima. Sudah cukup tua bagi manusia yang umumnya hidup di muka bumi ini. Sebab, Nabi Muhammad sendiri hidup hanya 63 tahun. Itu artinya, pria ini hanya perlu menjalankan sekitar kurang dari sepuluh tahun lagi untuk mati. Itu rumus umumnya.
Tohari tentu bukan nama sebenarnya. Ia enggan dan tak mau namanya ditulis dalam cerita ini. Malu, katanya. Bukan malu kepada Tuhan, tapi ia malu kepada anak cucunya nanti, karena ia bukan termasuk orang yang sempurna dalam menjalankan hidup di bumi ini. Puluhan tahun ia ‘mengembara’ dalam perjalanan setan.
Tapi, untungnya, ia kini sudah berubah. Mungkin itu yang membuat dirinya bangga dan berkenan untuk diajak bercerita kepada Hidayah. Ia hanya mau menceritakan pengalaman hidupnya, tapi tak mau menyebutkan identitas dirinya yang sebenarnya. Sebab, bagi dia, masa lalunya adalah aib belaka, yang tak layak ditiru dan dicontoh anak muda.

Masa Muda

 Masa remaja Tohari mungkin sama dengan anak muda pada umumnya di ibukota. Ia memiliki segudang impian dan harapan. Namun, karena keterbatasan biaya, ia tidak bisa menamatkan sekolah tingkat SMA. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia menjadi kuli panggul atau kuli angkat di pasar. Sesekali ia juga membantu pamannya berjualan di pasar.
Pergaulan di pasar membuatnya kenal dengan dunia preman. Ini berawal ketika ia dan teman-temannya menjadi juru parkir. Di situlah ia mulai mengenal minuman keras, memalak pedagang pasar dengan dalih keamanan, berjudi, bahkan main perempuan. Ia merasa hidupnya bebas. Tidak ada yang melarang, maupun menasihatinya. Apalagi setelah kedua orangtuanya telah meninggal dunia.
Kebiasaan buruknya itu sedikit reda manakala ia berkenalan dengan seorang gadis berjilbab. Dia jatuh cinta dengan seorang wanita muslimah; anak pengajian di masjid. Perkenalannya ini berawal ketika si gadis memarkirkan sepeda ontelnya. Si gadis meminta tolong agar dirinya membetulkan sepeda ontelnya yang rusak.
Singkat cerita. Terjadilah benih-benih cinta antara Tohari dengan gadis itu. Namun, sayang, perjalanan cintanya ini tidak berjalan mulus. Pasalnya, pihak keluarga gadis tersebut menentang keras hubungan mereka. Mengingat Tohari memiliki kehidupan yang tidak ‘jelas’. Ia hanya seorang juru parkir. Apa yang diharapkan dari kehidupan seorang juru parkir. Kira-kira seperti itu yang ada dalam pikiran mayoritas keluarga si gadis itu.
Ya, memang, Tohari tidak memiliki penghasilan hidup yang layak. Ia hanya seorang juru parkir. Ia juga sudah tidak punya orangtua. Pun, ia tidak punya kekayaan atau harta yang berharga. Ia ditinggal orangtuanya dalam kondisi tidak berduit. Maka, wajarlah, apabila akhirnya keluarga si gadis itu menolaknya keras-keras.
Tapi, entah kenapa, si gadis itu tetap berusaha keras untuk menikah dengan Tohari. Alasannya, kata Tohari, kala itu si gadis melihat dirinya memiliki kebaikan di tengah kegarangannya berperilaku. Itulah sebabnya ia memperjuangkan cintanya itu. Akhirnya, karena ia belum mendapat restu secara penuh dari keluarganya, ia menikah dengan Tohari dengan apa adanya.
Selama setahun menikah, Tohari masih bekerja sebagai juru parkir. Sementara istrinya mengajar ngaji anak-anak di mushala. Terkadang, istrinya juga berjualan kue untuk sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Nah, karena kebutuhan ekonomi yang begitu besar, sementara penghasilannya kecil, Tohari kembali ke dalam kehidupan lamanya lagi: judi.
Ya, Tohari kembali ke dalam kehidupan lamanya. Siang ia menjadi juru parkir, malam ia berjudi dengan teman-temannya. Siang ia memalak para pedagang pasar, malam ia menjadi preman dunia hiburan. Ini berjalan hingga istrinya melahirkan anaknya yang kedua.
Bagaimana dengan istrinya? Saat itu sang istri sabar sekali. Meski ia sering ditinggal Tohari setiap malam, ia sabar menunggu. Meski kadang uang belanja kurang, sang istri begitu sabar menjalaninya. Pendek kata, ini menurut pengakuan Tohari, istrinya kala itu menjadi seorang wanita yang paling penyabar di dunia. Meski ia pulang dengan kondisi mabuk berat dan marah-marah kepada istrinya, tapi sang istri tidak menimpalinya dengan kemarahan pula.
Saat itu, jelas Tohari, istrinya hanya berkata sedikit. Seingatnya, sang istri paling berkata, “Bang, apa sebaiknya abang meninggalkan pekerjaan itu (preman dunia hiburan)?”
Kala itu, sang istri hanya berdoa agar suaminya diberi hidayah untuk kembali ke jalan yang benar. Ketika anak pertama mereka berusia 10 tahun, dan anak keduanya 5 tahun, Tohari memutuskan untuk bekerja ke Malaysia. Saat itu istrinya mengizinkan suaminya bekerja ke Malaysia, daripada ia bekerja sebagai preman, mungkin akan lebih baik apabila bekerja di Malaysia.
Tohari bekerja di Malaysia bersama dengan pamannya. Ia bekerja sebagai buruh perkebunan di sana. Di Malaysia, Tohari pun kembali pada kebiasaan lamanya, yaitu suka berjudi, mabuk, dan main perempuan. Hanya saja, satu kebiasaan yang ia tinggalkan, yaitu menjadi preman yang suka memalak orang. Pasalnya, di Malaysia, kata dia, keamanan di sana cukup baik.
Selama tiga tahun di Malaysia Tohari tidak pernah pulang. Ternyata di Malaysia ia punya istri kedua. Ini di luar pengetahuan istrinya kala itu. Tapi, dari pernikahan keduanya itu, ia tidak dikaruniai anak satu pun. Ketika ia kembali ke Indonesia, ia menceraikan istri yang di Malaysia itu.
Sekembalinya di Indonesia, jiwa premannya ternyata tidak serta-merta hilang. Justru, ketika anak-anaknya sudah masuk ke sekolah menengah atas, ia kian ‘gila’. Ia menjadi preman pasar yang sangat ditakuti. Ia mudah sekali meminta uang kepada pedagang. Bila tidak dikasih, ia akan memukul. Pendek kata, Tohari kian brutal saja. Lalu, bagaimana dengan istrinya?
Sungguh luar biasa. Istrinya tidak pernah punya niat sedikit pun untuk berpisah dengan dirinya. Setia sekali. Ia sangat setia mendampingi suaminya yang berkelakuan bejat itu. Padahal, bagi wanita normal pada umumnya, memiliki suami seperti itu tidak akan tahan. Justru, istrinya memberi supprort agar dirinya bisa memperbaiki sedikit demi sedikit.
Tohari pernah bertanya kepada istrinya itu, kenapa ia bisa begitu sabar. Istrinya hanya menjawab singkat: “Hidayah itu datang bukan dari manusia, tapi dari Allah. Nabi Muhammad saja tidak sanggup mengislamkan paman-pamannya. Nabi Nuh saja tidak sanggup mengimankan anaknya. Nabi Ibrahimpun tidak sanggup mengimankan ayahnya. Begitu juga dengan Nabi Luth yang tidak bisa mengajar istrinya beriman kepada Allah. Apalagi saya?”

Bulan Puasa

Bulan puasa lalu, tepatnya 10 tahun lalu, adalah masa yang sangat berarti dan bermakna dalam hidup Tohari. Karena, pada bulan itulah, ia menemukan titik balik hidupnya ini. Bagaimana persisnya?
Bulan puasa itu sebenarnya sama dengan bulan puasa sebelum-sebelumnya. Tohari hanya berpuasa pada hari pertama Ramadhan. Selebihnya, ia tidak puasa. Ia tidak menjalankan ibadah puasa, apalagi menjalankan ibadah shalat. Tapi, kalau Lebaran tiba, ia tidak pernah meninggalkan momentum itu untuk shalat Idul Fitri. Kata dia, “Shalat setahun sekali masa tidak dikerjakan.”
Pada siang hari bulan Ramadhan, ia tidak segan-segan merokok di tempat umum. Baginya, itu adalah hak dirinya. Tidak ada yang berani melarangnya. Para tokoh agama pun tak ada yang berani mengingatkannya. Tapi, istri dan anak-anaknya tetap rajin menjalankan ibadah puasa. Kedua anaknya sangat patuh dan menjadikan ibunya sebagai teladan.
Pada setiap bulan Ramadhan, istrinya tidak pernah lupa untuk shalat berjamaah di masjid, i’tikaf, maupun shalat Tahajud. Mungkin, kata Tohari, doa istrinya itulah yang telah mengantarkannya pada jalan Allah.
Ketika malam Takbiran tiba, Tohari masih saja berkumpul dengan kawan-kawannya di sebuah gang kecil di dekat rumahnya. Pagi harinya, ketika semua orang sudah bersiap-siap untuk pergi ke lapangan untuk shalat Idul Fitri, Tohari masih saja tidur. Sang istri pun membangunkannya. “Bang, bangun! Shalat Idul Fitri, yuk! Setahun sekali kita shalat ini. Jarang-jarang, lho,” ajak istrinya.
Perlahan Tohari pun bangun. Ia lalu bergegas mandi, dan berangkat ke lapangan. Tak ada sesuatu yang spesial bagi dirinya pada pagi itu. Sesampainya di lapangan ia langsung shalat Idul Fitri, karena ia datang agak telat. Seusai shalat, seorang ustadz beranjak menuju mimbar dan mulailah ia berkuthbah.
Kala itu, Tohari mendengarkannya dengan sangat serius. Karena, entah kenapa, setiap ucapan yang disampaikan sang khatib begitu mengena. Hingga kemudian satu kalimat yang disampaikan sang khatib membuatnya tertunduk dan menangis: “Idul Fitri adalah untuk orang yang kembali dari tempat yang sesat menuju tempat yang nikmat, yaitu Islam.”
Ia lalu teringat dengan masa lalunya. “Ya, Allah, benarkah engkau akan menerima hambamu yang kotor ini!”
Sang Khatib lalu berkata, “Idul Fitri tidak hanya bagi mereka yang berpuasa, tapi bagi mereka yang memiliki unsur manusia. Orang yang ‘manusia’ pasti dapat merasakan nalurinya untuk kembali kepada fitrah. Hanya binatang dan hewan yang tidak akan bisa kembali kepada fitrahnya.”
“Masya Allah,” kata Tohari, “apa yang aku lakukan selama ini? Aku bukanlah manusia, tapi aku binatang.” Seketika itu, ia lalu menangis. Air matanya bercucuran di lapangan itu. Usai khutbah Idul Fitri, ia tidak ikut bersalam-salaman. Ia langsung pulang. Di rumah ia langsung masuk kamar, dan menguncinya. Di kamar itu ia menangis sekuat-kuatnya, dan sepuas-puasnya. “Ya Allah, ampuni dosa hambamu ini.”
Setelah kejadian itu, kehidupan Tohari berubah total. Ia tidak mau berjudi, memalak uang, mabuk, apalagi main perempuan. Ia sudah meninggalkannya jauh-jauh sekali. Ia sudah insyaf, sadar, dan taubat. Kini ia menjadi seorang ustadz di sebuah mushala di pinggir Ibukota. Bagi dirnya, apa yang ia alami ini tak lain adalah buah dari kesabaran dan doa dari istrinya yang sabar itu.

Mat Ambon, Lelaki Yang Diselamatkan Adzan


Hidayah bertemu dengan bapak dua anak yang biasa dipanggil Mat Ambon ini di  perkampungan Mauk-Tangerang-Banten. Rumahnya sedehana, berbentuk semi permanen. Separuh dindingnya terbuat dari bilik bambu. Begitu masuk ke halaman kantornya, tampak suasana hijau nan asri. Tanaman hias dan buah tumbuh subur. Di sekelilingnya terdapat sangkar-sangkar burung, ternak bebek, ayam dan beberapa kelinci bebas berkeliaran. Di sini, suasana tenang dan damai terasa. Berikut kisah hidupnya yang dituturkan kepada Hidayah.
 
Hidup di jalanan membuat lelaki ini berkubang kesesatan. Raja preman yang pernah menguasai Lapangan Banteng, Tanjung Priuk, Senen, sampai Tangerang ini akhirnya menerima panggilan Allah melalui suara adzan. Kini ia mengasuh 20-an anak-anak yatim dan anak terlantar lewat Yayasan Ali Zanni.

 Masuk Penjara

Sekarang saya merasakan damai  dan tenang dalam menjalani hidup. Suatu perasaan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya.  Hidup saya kelam, berkubang dosa sebelum saya taubat. Semua diawali ketika saya masih kecil. Waktu itu, tahun 1957, masa-masa sulit bagi bangsa ini setelah terbebas dari belenggu penjajah.
Ayah saya seorang militer berpangkat mayor. Jangan bayangkan kami bisa hidup enak. Tidak seperti sekarang, seorang mayor bisa hidup makmur. Dulu, pekerjaan ayah dihabiskan untuk mengabdi pada negara, bertugas menjaga keamanan, berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Keluarga kami harus hidup seadanya, sangat pas-pasan.
Saya anak ketiga dari empat bersaudara. Kehidupan kami sangat sulit, ibu menitipkan anak-anaknya ke beberapa kerabat agar bisa bertahan hidup. Cuma saya yang tinggal bersama ibu. Untuk membantu keuangan, saya bekerja apa saja; jualan koran, menyemir sepatu, dan melakukan pekerjaan kasar lainnya. Yang penting kami bisa makan.
Saya giat bekerja, sibuk mencari uang. Sekolah saya terbengkalai, saya tidak bisa melanjutkan sekolah dasar. Karena terbiasa hidup di jalan, tanpa sepengetahuan ibu, saya merantau ke Jakarta, tujuannya mencari uang untuk membantu ibu.  Malang, saya malah terjebak pada dunia jalanan, dunia premanisme yang sedikitpun tidak pernah saya bayangkan.
Waktu itu, di Jakarta banyak terjadi Petrus (Penembakan misterius). Suatu pagi, ketika hendak mangkal di Lapangan Banteng, tempat saya mengais uang dengan menyemir sepatu, saya ditangkap petugas. Saya digiring ke kantor polisi, ditanya macam-macam tentang korban Petrus.
Walaupun saya dan teman-teman lain bukan tersangka, atau terkait dengan korban, tapi kami tetap harus menginap di hotel prodeo. Pahit sekali pengalaman saya. Saya pun bersumpah, inilah untuk terakhir kalinya saya masuk penjara. Nyatanya saya semakin terperosok. Hidup di kota besar banyak pengorbanan yang kita harus lakukan, terlebih kalau hidup di jalanan. Bagaikan vampir, setelah terhisap racun, saya pun menyedot  racun lainnya agar bisa bertahan.
Jalanan telah membentuk saya menjadi seorang yang keras, tidak mengenal ampun. Menindas atau ditindas, membunuh atau dibunuh. Kekerasan hidup itulah yang akhirnya membuatku semakin terperosok dalam lumpur dosa.  

Semakin Hanyut

Bisa dikatakan saya ini seangkatan dengan Joni Indo. Dia itu abang saya. Syukurlah dia akhirnya bisa melepaskan diri dari cengkraman setan. Ketika saya remaja, saya tidak lagi bekerja nyemir sepatu atau jual koran. Lama hidup di jalanan, saya tidak saja tahu seluk beluk jalanan, tapi saya menguasai dunia gelap itu.  Saya tumbuh menjadi remaja yang lepas kontrol. Saya tidak bisa lagi membedakan mana yang tidak boleh saya lakukan.
Untuk bertahan, saya harus melakukan apa saja; menjadi preman, pencuri, perampok, bahkan saya harus menjadi pembunuh. Kejam? Memang, tapi semua saya lakukan untuk bertahan. Daerah Lapangan Ban­teng sudah saya kuasai. Semua preman tak ada yang tidak mengenal saya. Mereka tunduk, hormat dan mau melakukan apapun yang saya minta. Daerah kekuasaan saya sampai Poncol, Senen, Tanjung Priuk sampai Tangerang.
Walaupun preman, wajah saya tidak segarang yang dibayangkan orang. Fisik saya gagah dan tampan. Kekuatan saya tidak hanya pada dunia kriminalitas, tapi juga dalam menaklukan wanita. Saya sering gonta-ganti pasangan. Siapa pun wanita yang melihat saya langsung tunduk bahkan ada yang mengejar-ngejar saya.
Saya semakin hanyut, saya menggunakan daya tarik fisik saya untuk memperkaya diri. Ya, terjerumuslah saya dalam gelimang dunia gigolo. Naudzubillah. Setiap mengingat ini, perasaan saya sedih, pilu mengingat masa-masa kelam itu.
Waktu itu saya tidak merasa bersalah apalagi berdosa. Tidak pernah. Saya menikmati dunia yang mengumbar nafsu syahwat untuk kenikmatan sesaat. Saya memang tidak pernah merasa puas, justru saya semakin hanyut, larut, dalam nikmat dunia yang tidak pernah terpuaskan. Bayangkan, saya memiliki semuanya. Uang, perempuan dan status. Beberapa kali saya terpilih sebagai ketua preman, tapi semua itu sedikit pun tak pernah membahagiakan jiwa saya.
Saya bergelimang uang. Uang dari berzina, orang-orang yang membayar jasa saya ketika saya melakukan apa yang dia perintahkan, dan anak-anak buah yang rutin memberikan setoran. Mereka tunduk, memberikan berapa pun uang yang saya minta. Tapi, rezeki setan tidak pernah berkah. Saya tidak memiliki rumah, kendaraan mewah, atau harta lainnya. Semua uang saya habis di meja judi.
Judi adalah permainan yang membuat saya ketagihan, saya gila karenanya. Berapapun uang yang saya terima selalu habis di sana. Bahkan ketika saya menang pun, uang jutaan rupiah selalu habis dalam sekejap.
Hingga suatu sore, di tahun 2003, saya main judi di Gerendeng, daerah pusat kota Tangerang. Tiba-tiba saya mendengar suara adzan, panggilan untuk menunaikan shalat Ashar. Saya kemudian ke luar ruangan, telinga saya berdengung, hati saya bergetar. Tiba-tiba terbersit dalam hati: “Ya Allah, saya ingin bertaubat. Saya harus meninggalkan judi, minum, main perempuan. Saya bersumpah, ya Allah. Saya ingin taubat.”
Saya pun mengutarakan hal itu kepada 40 orang anak buah saya.  Mereka terkejut, tidak percaya apa yang saya katakan.  “Mana mungkin shalat Abang diterima, tato Abang kan banyak,” kata mereka.
Ada juga yang bilang, “Shalat Bang? Bakal hujan gede, geledek besar kalau Abang shalat,” atau ada yang berkomentar, “Yang bener nih? Berarti Abang nggak bakal bergaul sama kita lagi dong.”
Intinya mereka menghalagi saya ketika saya akan shalat. Tapi saya tidak peduli, saya sudah berbulat hati, saya capek hidup dalam kegelapan terus. Saya ingin shalat, saya ingin taubat. Itulah pertama kalinya saya menginjak masjid. Tubuh saya menggigil, dijalari rasa takut. Niat saya sudah bulat, saya berwudhu dan shalat.

Membangun Mushala

Saya mengalami perasaan luar biasa ketika pertama kalinya saya mencium bumi, bersujud dalam shalat. Nikmatnya luar biasa. Sulit saya gambarkan perasaan saya waktu itu.  Hari-hari berikutnya saya habiskan untuk shalat dan berzikir, saya memohon kepada Allah untuk mengampuni dosa-dosa yang saya perbuat. Saya terus bermunajat, berharap hanya kepada Allah. Saya tidak ingat hari; siang-malam saya habiskan untuk duduk bertafakur kepada-Nya. Setiap membaca inna shalati, wanusuki, wama yahya wa mati…saya merasakan siap untuk mati, menghadap Allah swt.  Saya menangis setiap menyebut nama-Nya.
Subhanallah. Apakah taubat saya diterima? Allahu a’lam. Saya merasakan perasaan lapang, damai, dan kelembutan. Setelah rutin menjalani shalat, saya menjadi sosok yang mudah menangis, dan tidak bisa berbuat kasar. Bahkan menepuk nyamuk pun saya tidak tega. Benarlah janji Allah, bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan munkar.  Setiap hari yang ingin saya lakukan hanya shalat saja. Apalagi shalat Tahajud, ibadah sunnah yang selalu saya rindukan.
Di saat saya kembali ke jalan Allah, ujian terberat adalah rezeki. Dulu, saya bergelimang uang, yang mudah sekali saya dapatkan. Berapapun yang saya minta selalu diberi. Kini, uang sangat sulit saya dapatkan, karena saya mantap mau menerima uang halal. Saya tidak mau menerima uang hasil rampokan dan sebagainya. Di sinilah kesabaran saya diuji.
Pada saat yang sama muncul dalam benak saya keinginan yang ingin segera saya wujudkan, yakni  membangun mushala. Saya bisa saja mendapatkan uang dari yang tidak halal, tapi saya tidak mau. Saya ingin uang itu dari keringat saya sendiri. Saya mau uang itu terjaga kehalalannya. Saya pun mulai bekerja. Apa saja; menjadi satpam, menjaga rumah atau membantu orang-orang yang butuh bantuan.
Alhamdulillah, banyak orang yang mempercayakan saya untuk menjaga amanahnya.  Waktu tak begitu lama, saya sudah mendapatkan rezeki untuk membangun mushala, saya menerima tanah wakaf seluas 100 meter persegi.  Tidak hanya bantuan materi, bantuan fisik pun saya dapatkan dari para penduduk desa setempat. Kami bergotong-royong, bahu membahu, mengerjakan mushala.
Saya bersyukur kepada Allah swt. yang telah mengaruniakan semua ini. Sampai sekarang pun saya selalu memikirkan proses taubat saya yang tiba-tiba. Tapi itulah hidayah Allah yang tidak bisa dihalangi oleh siapapun. Kadang saya bertanya: Mungkinkah ini karena puasa Senin-Kamis yang tidak pernah saya tinggalkan semenjak muda? Ya, walaupun hidup berkubang maksiat, saya memang tidak pernah meninggalkan puasa sunnah itu. Entah mengapa ada kepercayaan kuat bahwa puasa itu akan membuat saya lebih kuat dari segi fisik.

Mendirikan Panti Asuhan

Kata orang, satu ibadah yang kita yakini akan menolong kita, akan menjadi pintu untuk kembali kepada cahaya-Nya. Mungkinkah karena puasa yang tidak pernah saya tinggalkan ini? Ya, apapun itu saya sangat bersyukur karena diberi kesempatan untuk kembali kepada jalan-Nya yang lurus.
Saya tidak mau merasakan nikmat ini sendirian. Saya kemudian mengajak teman-teman-teman preman untuk mengikuti jejak saya. Caranya, saya mengundang mereka untuk syukuran. Di sana saya akan menyusupkan pesan-pesan untuk bertaubat.  Malam itu telah hadir 40 preman. Mereka senang, karena menyangka saya akan kembali dalam dunia mereka. Mereka datang ada yang teler, setengah teler, dengan menggunakan motor dengan suara yang meraung-raung. Acara saya adakan di mushala.
Acara saya susun seperti acara pengajian. Banyak anak buah yang protes, “Bang, bilang dong kalo ngadain pengajian,” ungkap mereka. Banyak yang meninggalkan tempat, tapi ada juga empat orang preman yang ingin bertaubat dan mengikuti langkah saya. Alhamdulillah.
Saya tidak pernah meninggalkan teman-teman saya, walaupun banyak dari mereka yang kecewa pada perubahan saya. Sebaliknya saya tetap baik dan berdakwah kepada mereka. Mereka pun sama kuatnya untuk mengajak saya kembali berbuat maksiat. Tapi saya selalu menolaknya dengan cara halus. Saya yakin bahwa dakwah yang lembut akan mudah diterima. Saya tidak pernah menyerah. Saya akan terus mengajak mereka. Saya harus tanamkan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kita jika kita sungguh-sungguh bertaubat.
Hadits yang mengatakan jika kita berjalan menuju jalan Allah, Allah swt. akan berlari menyambut kita. Setelah bertaubat banyak kenikmatan dunia yang saya dapatkan, hidup tentram, rumah tangga saya harmonis. Kini amanah saya bertambah, yakni menjaga anak yatim.
Ceritanya, di wilayah yang tidak jauh dari tempat saya tinggal, ada sebuah rumah panti asuhan yang akan dibakar warga, karena seorang ibu asuhnya ingin membakar salah satu anak asuhnya. Beberapa orang datang kepada saya, “Bapak Ambon, tolong jaga rumah itu sebelum dibakar warga,” kata mereka. Saya pun menjaganya supaya tidak ada korban yang berjatuhan.
Peristiwa itu kemudian ditangani polisi. Masalah selanjutnya, siapa yang akan menampung 8 anak asuh yang tinggal di sana. Saya langsung menyatakan kesediaan. Istri saya sempat ragu, “Bagaimana Bapak ini, mencari nafkah untuk menghidupi anak 2  saja sulit, bagaimana dengan 8 anak lainnya?” kata istri saya khawatir.  Saya pun meyakinkan, kita percaya Allah akan menolong kita, jika kita menolong anak-anak istimewa, titipan Allah itu.  Akhirnya istri saya setuju.
Kami memiliki 5 pintu untuk dikontrakkan. Sekarang, seluruh tempat dipakai untuk anak-anak yatim. Sekarang jumlah anak asuh saya lebih dari 20 orang. Mareka adalah anak-anak yatim yang berasal dari wilayah di Tangerang. Saya tidak hanya menampung, tapi juga menyekolahkan mereka. Saya akan berupaya supaya mereka mendapat pendidikan yang tinggi, kalau perlu kuliah sampai sarjana.  Istri saya, Ani Nurhayati, seorang ibu yang sabar, disipilin dan  tekun beribadah. Yang saya kagum padanya adalah kekuatan dari dirinya untuk menyadarkan dan mendukung saya sepenuhnya.
Istri saya sangat sabar dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anak. Tadi pagi kami kedatangan tamu, seorang ibu yang menyerahkan anaknya yang baru berusia dua hari, karena tidak mampu memberinya makan. Istri saya dengan tangan terbuka mau mengasuh bayi tersebut.
Subhanaallah. Padahal dia tidak muda lagi, usianya sudah berkepala 6. Sekarang, kami sepakat untuk konsentrasi mengasuh anak-anak yatim. Saya berniat membangun asrama yatim. Semoga Allah memudahkan niat kami. Amin. 

TAUBAT MANTAN PENJAHAT, JADI IMAM MASJID



Sebut saja namanya Kadir. Wajahnya lumayan gagah. Ia anak kesayangan kedua orang tuanya sejak kecil. Di samping berprestasi, ia juga patuh dan taat pada kedua orang tua. Karena itu, saat keluar dari SMP, ia dimasukkan ke sebuah pesantren di Jawa. Sebelum berangkat, sang bapak hanya berpesan satu hal, “Nak, mudah-mudahan kelak kamu bisa bangun langgar ya di sini. Kamu nanti yang menjadi imamnya.” Kadir yang masih remaja, hanya manggut-manggut saja.
Bertahun-tahun Kadir menghabiskan waktunya di pesantren. Akhirnya, Kadir lulus dengan nilai yang memuaskan. Doa kedua orang tuanya dikabulkan Tuhan. Kadir pun pulang ke rumah dengan dada tegap dan penuh kebahagiaan. Orangtuanya sampai membuat pesta syukuran.
Lulus dari pesantren, tidak banyak yang dilakukan Kadir di rumah. Untuk mengamalkan ilmunya, ia mengalami kesulitan. Sebab, di kampungnya, tidak ada pesantren dan masjid besar yang menyelenggarakan pengajian. Tadinya, orangtuanya berniat langsung memasukkan Kadir ke bangku kuliah, tapi bapaknya minta Kadir rehat dulu setahun atau dua tahun. Masalahnya, usaha kebun palawija bapaknya sedang bangkrut karena habis dimakan hama. Jadi, tidak ada biaya lagi untuk menyekolahkan Kadir ke perguruan tinggi.
Banyak waktu luang, Kadir menghabiskan waktu dengan nongkrong bersama kawan-kawannya. Pergaulan dengan teman-teman lamanya ternyata membawa pengaruh buruk bagi Kadir. Ia jadi akrab dengan minuman keras. Mulanya ia bisa menolak jika teman-temannya menawarkan minuma keras kepadanya. Tetapi lama kelamaan keteguhannya jebol juga.
Hampir setiap hari, Kadir mabuk dengan kawan-kawannya. Tapi, untuk membeli minuman keras itu tentu membutuhkan uang. Dari mana Kadir mendapatkan semuanya itu? Jika sebelumnya, Kadir dikasih gratis oleh kedua sahabatnya, kali ini ia harus memakai uang sendiri. Sejak itu Kadir menjadi seorang pemalak. Dalam perkembangannya, aksi Kadir lebih dahsyat lagi. Ia berani menghajar orang hanya karena tidak dikasih uang. Bahkan, Kadir mulai berani membawa senjata tajam berupa celurit kecil. Dengan senjata itu, pernah ia menyelurit kuping orang hingga putus dan berurusan dengan kepolisian. Tetapi, setelah keluar dari kantor polisi, ia tidak jera, malah semakin beringas. Dalam kondisi inilah, kedua orang tua Kadir akhirnya meninggal dunia dengan tekanan berat karena kelaukan anaknya.
Mimpi Ayah
Bertahun-tahun Kadir melakoni kejahatannya: malak, mabuk, dan judi. Selama itu pula, banyak orang yang disakiti olehnya. Suatu kali, di tengah malam, ia duduk di depan rumahnya sendirian. Kali ini ia tidak berkumpul dengan sahabat-sahabatnya. Ia menatap langit yang bertaburkan bintang.
Tiba-tiba ia teringat masa kecilnya yang indah bersama ibu dan bapaknya. Ia masih ingat bagaimana kedua orangtuanya mengajarinya mengaji dan memasukkannya ke pesantren di Jawa.
Terbersit dalam hatinya penyesalan mendalam atas perbuatan yang telah dilakukannya selama ini. Ia sudah lupa pada Tuhan. Shalat kadang ditinggalkannya. Bahkan, saat bulan Ramadhan tiba, ia jarang sekali berpuasa. Tak lama kemudian Kadir masuk ke dalam dan tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu bapaknya di suatu tempat yang sangat asing baginya. Di sekitarnya benar-benar hanya berwarna putih. Oleh bapaknya, Kadir ditanya, “Dir, kenapa kamu gak sadar-sadar juga? Hidup ini hanya sebentar. Kembalilah ke jalan yang benar!” Setelah itu, bapaknya pergi begitu saja.
Kadir terkejut dan terjaga dari tidurnya. “Ah, saya hanya mimpi!” bisik Kadir dalam hati. Tetapi, peristiwa itu tak pernah dilupakannya. Mimpi itu selalu tergiang-ngiang di telinganya. Akhirnya, Kadir menjadi malas keluar rumah. Saat temannya menyambanginya, ia pun hanya berkata, “Badan saya lagi gak enak, nih. Kali ini saya absen lagi deh.”
Suatu kali Kadir masuk ke kamar bapaknya yang sudah lama tidak dilihat, sejak bapaknya meninggal. Keadaannya kotor sekali tak terurus. Debu dan sawang bertebaran di mana-mana. Ia kemudian membuka lemari pakaian bapaknya dan tiba-tiba sebuah benda jatuh. Ternyata benda yang jatuh itu adalah foto bapaknya.
Diambillah foto itu dan dilihatlah wajah bapaknya. Tanpa sadar Kadir menangis. Kedua kelopak matanya sembab dengan air. “Pak, maafkan Kadir! Selama ini Kadir telah mengecewakan Bapak. Karena Kadir, Bapak akhirnya meninggal dunia,” bisik Kadir dalam hati, sambil mengusap kedua pipinya yang basah karena lelehan air mata.
Sejak itulah, Kadir akhirnya bertaubat dan meninggalkan kebiasaan buruknya yang suka mabuk dan memalak orang. Pakaian lama yang pernah dikenakannya seperti kopyah dan sarung, kini mulai disarungkan kembali ke badannya. Ya, ia sudah mulai shalat dan beribadah lagi kepada Tuhan. Sebagai bentuk penyesalannya, ia kemudian menjual kebun palawija warisan bapaknya untuk memenuhi amanat almarhum sebelum dirinya berangkat ke pesantren, yaitu mendirikan langgar (tajug).
Banyak orang yang tidak mau membantu Kadir. Mereka tidak percaya dengan maksud baik Kadir. Preman mana yang mau membuat langgar? Ejek mereka dalam hati. Akhirnya, Kadir mencari orang dari desa tetangga untuk membangun langgarnya. Setelah langgar itu selesai dibangun, Kadir sendiri yang menghidupi langgar tersebut. Ia yang adzan dan iqamah. Bahkan, bila ada jamaah datang, ia sendiri yang menjadi imamnya. Lama-kelamaan jamaah di langgar milik Kadir semakin banyak yang berdatangan. Langgar milik Kadir pun menjadi hidup dan ramai. Pasalnya, suara Kadir juga tidak jelek-jelek amat saat membacakan ayat-ayat suci al-Qur’an. Bacaan tajwidnya juga bagus, sebab ia pernah jadi santri di Jawa.
Bahkan, setelah sekian lama berjalan, Kadir mulai dipakai di masjid di kampungnya sendiri. Ia sekali-kali menjadi imam dan khatib Jum’at di sana. Subhanallah! Sebuah akhir kisah hidup yang manis untuk seorang mantan penjahat! Semoga banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah ini! Amien.

KISAH PERTOBATAN ANAK PUNK


Nama aslinya Darmaputra tapi ia dikenal dengan nama Ambon. Sejak kecil ia mengaku tidak pernah berpegang pada satu agama yang jelas. Orangtuanya yang beragama Hindu tidak menekankan anak-anaknya untuk mengikuti keyakinan mereka. Karena itu pula Ambon kecil terkadang juga ikut dalam ritual agama lain. Yang dia kenang, saat tetangganya merayakan Paskah, ia pun ikut. Ia juga cukup sering pergi ke Gereja.
Ambon kecil pun menjelma anak nakal. Mirisnya, kenakalannya berbeda dari kenakalan anak-anak pada umumnya. Sejak SD ia sudah mengenal narkoba. Ia bahkan sempat menjadi bandar. Beranjak remaja ia masuk makin dalam ke lembah hitam.
Pada masa-masa ini ayah Ambon menjadi mualaf dengan memeluk Islam. Ambon kemudian diajarkan mengenai Islam dan dimasukkan ke pesantren. Di sini kelakukan Ambon justru menjadi-jadi ia seperti mendapat kebebasan dan makin sering mengkonsumsi narkoba sampai akhirnya dia kabur dari pesantren.
 “Kalau minuman bawaannya emosi, kalau ganja bawaannya lucu, ngobrol sama orang bawaannya mau ketawa terus, lucu nggak lucu. Kalau pake obat pikirannya kotor, kalau putaw, khayalannya tinggi, ngefly, pikiran enak. Kalau Sabu lain lagi, seperti ada spirit. Makanya kalau begadang pakai sabu, tiga hari nggak tidur juga kuat,” ujar Ambon menggambarkan petualangnya dengan narkoba kepada Hidayah.
Dalam kondisi demikian, dengan susah payah, Ambon berhasil menamatkan SMU di Bojong Gede sekitar tahun 2003. Begitu lulus, orangtua Ambon memasukkannya ke Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Ia menurut walaupun sebenarnya ia ingin masuk ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Di masa ini Ambon sempat bekerja di sebuah stasiun TV dan mendapat gaji lumayan. Tapi lagi-lagi karena jiwanya labil ia hengkang dan memilih hidup bebas.

Punk to  Punk Muslim
Ambon pun masuk ke komunitas anak Punk. Menurut Ambon untuk masuk ke dalam komunitas tersebut tidak bisa sembarangan. Di era 90-an seluruh anggota Punk harus memiliki kartu anggota dan itu ada harganya. Calon anggota akan melewati perpeloncoan dari anggota lama.
Ambon mengaku, sempat sewaktu dirinya mau bergabung dengan Punk Kelapa Gading ia diharuskan makan sampah. Karena pada prinsipnya, di punk tidak boleh memikirkan soal makan atau tidak, atau nanti makan apa. Begitu juga tidur. Sebagai remaja yang mengusung kebebasan, ia tidak ambil pusing akan tidur dimana.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, rasa bosan dengan ritual hidup mulai menghinggapi hari-hari Ambon. Ia kemudian bertemu seniman jalanan, Budi  Khaeroni, mengantarnya pada pintu pertobatan sekaligus pencarian jati diri yang sempat hilang.
            Di bawah pengawasan Budi, banyak anak jalanan mulai diarahkan pada spiritualitas. Lahirlah kemudian Punk Muslim. Label Punk Muslim serta merta merubah segala tata laku yang ada dalam komunitas punk. Perubahan tersebut bukan main berat. Mereka harus meninggalkan narkoba serta kebiasaan buruk lainnya.
"Karena pada dasarnya saya suka sesuatu yang gambling, saya ingin menjawab tantangan untuk berubah. Dengan berbekal keyakinan dan tak mau menyerah inilah hati saya kembali nyaman," kata Ambon.
Sejak itu pula, adrenalin Ambon dalam mengeksplorasi musik semakin dalam dan mendalam. Ia lebih tekun mendalami musik. Karena berlabel Punk Muslim Ambon membuat lirik lagu bernuansa Islami. Ini tentu menjadi fenomena tersendiri di dunia Punk. “Kami sempat kesulitan mencari vokalis, sebab banyak yang mengaku tak kuat membawakan lagu-lagu Punk Muslim,” ujar Ambon sambil tersennyum.
 Ada kejadian unik pada pada bulan-bulan pertama kemunculan Punk Muslim.Sehabis mentas, semua personil Punk Muslim jatuh sakit. Namun rupanya itulah titik balik mereka menuju perubahan. Sejak itu, komitmen mengkaji Islam lebih dalam mulai tumbuh.
"Kini tujuan saya cuma minta keselamatan di akhirat nanti. Bagaimana caranya jalan di shiratal mustaqim bisa ngebut..." harapnya. [ ]
 Gambar sekedar ilustrasi diambil dari commons.wikimedia.org

Mahabbah Sang Nabi untuk Zainab binti Jahsy


 

Satu lagi lelaku Nabi yang dicemooh habis-habisan kaum Quraisy ketika itu, yakni saat ia memutuskan menikahi Zainab binti Jahsy, mantan istri anak angkatnya, Zaid bin Haritsah. Bagaimana kisah ini bermula dan apa hikmah di baliknya?

Bekas Budak dan Wanita Ningrat 

Sebelum dinikahi, Rasulullah sudah mengenal betul siapa Zainab binti Jahsy. Dialah putri Umaimah binti binti Abdul Muthallib, bibi Rasulullah. Ia dibesarkan di bawah asuhannya sendiri dan dengan bantuannya pula. Kedekatan ini pula yang mengantarkannya pada keputusan bahwa Zainab sudah semestinya dipersunting lelaki shaleh kelak di kemudian hari. Dan pilihan pun jatuh pada Zaid bin Haritsah, bekas budak Rasulullah yang kemudian diangkatnya menjadi anak.
Pernikahannya menjadi bahan gunjingan semesta Mekkah, karena ada banyak rambu-rambu adat Jahiliyah yang dilanggar.
Sayangnya, tali pernikahan itu tidak berjalan mulus. Bahkan sejak awal, saat Rasulullah melamarkannya untuk Zaid, Abdullah bin Jahsy, saudara Zainab, menolak jika Zainab yang dari suku Quraisy terhormat, apalagi ia juga sepupu Nabi sendiri, harus diambil oleh Zaid yang budak belian. Rasa feodalisme dan primordialisme masih tertanam kuat di kalangan Arab. Jika perkawinan ini sampai terjadi, aib besar akan menimpa keluarga Zainab.



Memang belum ada gadis-gadis kaum bangsawan terhormat akan menikah dengan bekas budak. Tetapi Rasulullah justru ingin menghilangkan feodalisme dan primordialisme itu lewat perkawinan Zainab-Zaid. Ia ingin supaya orang mengerti bahwa orang Arab tidak lebih tinggi dari yang bukan Arab, kecuali kadar ketakwaannya. Meski demikian, Abdullah tetap kukuh dengan pendiriannya. Rasa ashabiyah-nya (fanatik golongan) lebih kuat ketimbang perintah Rasul. Hingga akhirnya Allah menurunkan wahyu yang tertulis dalam al-Qur’an,
 “Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan  yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasulnya maka sungguhlah dia telah sesat dalam kesesatan yang nyata.”  (QS. Al-Ahzaab : 36)
Maka setelah turun ayat ini, tidak ada lagi alasan Abdullah dan Zainab untuk menolak, selain harus tunduk menerima. Namun sayang, oleh karena sejak awal pernikahan itu dilandasi setengah hati, maka hubungan Zainab-Zaid bak api dalam sekam. Suasana tidak nampak harmonis oleh karena Zainab belum bisa menerima Zaid sepenuh hati.
Mengapa aku mesti hidup berdampingan dengan seseorang yang pernah menjadi budak di rumahnya? Demikian Zainab selalu merasa begitu di hatinya. Setali tiga uang. Zaid pun didera perasaan tertekan. Ia sangat menderita oleh keangkuhan Zainab. Sampai sering dia mengadukan tindakan istrinya itu kepada Rasulullah. Bahkan, ia pernah ingin menceraikannya pula, saking kesalnya. Malangnya kekisruhan yang mewarnai rumahtangga mereka makin membuat jurang dalam sehingga nyaris susah dipertahankan.


Dalam situasi seperti ini, Rasulullah hadir sebagai juru damai, sebagaimana yang kerap dilakukan pada setiap permasalahan yang dihadapi para sahabat, tak terkecuali urusan rumahtangga. Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah mendatangi rumah Zaid. Sayangnya Zaid tidak ada di rumah namun sesaat tirai yang menutup kamar di rumah Zaid tersingkap. Angin telah menyibakkan tirai itu, sehingga tampak di dalamnya Zainab sedang membenahi baju. Rasulullah melihat itu, lantas bergegas pergi seraya bertahmid dan terus membasuhi lidahnya dengan kalimat thayyibah. “Subhanalallah al Adziim, subhanallah yang membalik hati,....”
Zainab yang ada di dalam dan menyadari hal tersebut tentu saja mendengar ucapan tersebut. Maka tatkala Zaid datang, Zainab segera menceritakan kejadian yang baru saja terjadi. Zaid diam sejenak mendengar cerita itu, kemudian bergegas menemui Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, aku mendengar engkau telah masuk ke rumahku. Demi ayah bundaku, adakah sesuatu yang tak pantas, apakah harus kuceraikan dia?” Zaid bertanya risau, seakan-akan ada yang salah dengan perilaku Zainab. Tentu saja Rasulullah heran mendengar itu, sehingga ia pun balik bertanya, ‘Apakah ada yang diragukanmu dari Zainab?”
“Sungguh tak ada yang jelek dari dirinya selain dia yang selalu mengangkat-angkat dan sering membanggakan dirinya,” keluh Zaid seraya mengucapkan dengan kata penuh sesal karena khawatir perkataanya menyinggung Rasulullah.
Dan Rasulullah hanya tersenyum melihat kerisauan itu sambil tetap menyuruh Zaid mempertahankan rumahtangganya. “Jaga baik-baik istrimu, jangan diceraikan. Hendaklah engkau takut kepada Allah,” yakin Rasulullah.
Zaid menurut. Dia berusaha bersabar dan mencoba bertahan. Namun semakin ia bertahan, semakin sakit hatinya. Hingga akhirnya terpaksa Zaid menceraikanya. Mendengar penceraian itu, Rasulullah sedih dengan derita yang menimpa keduanya. Ingin rasanya pemimpin umat yang kerapkali menjadi mediator para sahabat yang berselisih itu bisa mempertahankan rumahtangga mereka. Sebab mengekalkan hubungan rumahtangga jauh lebih baik dibanding memecahnya. Apalagi dengan putusnya hubungan itu, Zainab menyandang status janda, sebuah status yang amat disandang perempuan yang hidup di tengah liarnya alam Arab saat itu.
Peristiwa tersebut rupanya bocor dan didengar kaum kafir Quraisy. Tentu saja sebagai pihak yang antipati terhadap Rasulullah dan Islam, isu keretakan rumahtangga Zaid-Zainab jadi sasaran empuk mereka untuk semakin memojokan Rasulullah. Maka, dibuatlah rekayasa peristiwa sedemikian rupa. Dihembuskan kabar bahwa Rasulullah telah menjadi biang keretakan rumahtangga Zaid-Zainab. Bahkan bisa jadi kedatangannya di rumah Zaid tanpa kehadiran Zaid menjadi ajang perselingkuhan. Sungguh gosip murahan yang sangat menyudutkan. Dan Rasul pun bertawakal atas tuduhan tersebut.

‘Dinikahkan’ Allah

Babak baru kehidupan Zainab dengan label janda membuatnya sulit menjalani hari-harinya. Karena itu, sempat terlintas dalam benak Rasulullah untuk menikahinya demi menyelamatkan dan menolong Zainab. Akan tetapi, apa kata orang-orang nanti bila seorang ayah menikahi bekas istri anak angkatnya. Meski Rasul terkenal dengan kesabarannya, namun ia merasa berat menerima reaksi orang-orang Arab jika ia sampai menikahi Zainab.
Tapi Allah tampaknya punya skenario lain terkait kehendak yang muncul di hati Rasulullah. Allah telah menyetir hati sang Rasul agar sejalan dengan skenario-Nya. Skenario itu bermula dari rasa suka yang juga muncul di hati Zainab. Maka ketika telah timbul mahabbah antar keduanya, Allah segera menurunkan perintah,” Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya : “Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya. (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) istri-istri dari anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyeleseikan keperluannya daripada istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab : 37).
Dengan turunnya perintah ini, maka tiada lagi keraguan pada diri Rasulullah untuk menikahi Zainab.
Melalui ayat ini rupanya Allah hendak menurunkan risalah larangan bagi anak mengawini bekas istri ayah angkatnya. Sebab sesungguhnya seorang ayah angkat boleh mengawini bekas istri anak angkatnya. Dalam ayat ini pula dijelaskan bahwa bukan hanya tentang hukum perkawinan itu saja wahyu yang turun berlatar belakang Zainab, tetapi juga tentang perintah hijab, yakni tatkala Rasulullah dan Zainab sedang melangsungkan pernikahan.
Anas meriwayatkan, pesta pernikahan Rasulullah-Zainab berlangsung meriah. Untuk perhelatan tersebut Rasulullah menyembelih seekor kambing. Lewat Anas bin Malik, ia mengundang para sahabat untuk datang dalam walimatul ‘ursy. Tentu saja banyak yang datang pada pesta walimahan orang nomor satu itu. Mereka datang silih berganti. Sekelompok datang, makan, kemudian pergi, dan datang lagi. Demikian seterusnya.
Setelah tamunya pulang semua, mendadak kemudian Rasulullah menutup tirai rumahnya, memisahkan Zainab dan seisi rumah itu. Ternyata ia sedang menerima wahyu yang menyatakan larangan memasuki rumah Nabi saw dan perintah hijab. Wahyu itu ada di surat Al-Ahzab ayat 53.
Pernikahan Rasulullah-Zainab sendiri berlangsung di Madinah, namun terjadi perbedaan pendapat mengenai tahun berlangsunya; ada yang menyatakan tahun 3 H, 4 H, ada juga yang 5 H. Ketika itu usia Zainab baru mencapai 35 tahun.

Kebahagiaan Ummul-Mukminin

Zainab mulai memasuki rumah tangga Rasulullah dengan dasar wahyu Allah. Dialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dan kerabat dekatnya. Rasulullah tidak perlu meminta izin jika memasuki rumah Zainab sedangkan kepada istri-istri lainnya ia selalu meminta izin. Kebiasaan seperti itu ternyata menimbulkan kecemburuan di hati istri Rasul lainnya.
Orang-orang munafik yang tidak senang dengan perkembangan Islam membesar-besarkan fitnah bahwa Rasulullah telah menikahi istri anaknya sendiri. Karena itu, turunlah ayat yang berbunyi, “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi…. “ (QS. Al-Ahzab: 40)
Zainab sendiri bersuka cita luar biasa seraya menegaskan kepada Rasulullah, “Aku adalah istrimu yang terbesar haknya atasmu, aku utusan yang terbaik di antara mereka, dan aku pula kerabat paling dekat di antara mereka. Allah menikahkanku denganmu atas perintah dari langit, dan Jibril yang membawa perintah tersebut. Aku adalah anak bibimu. Engkau tidak memiliki hubungan kerabat dengan mereka seperti halnya denganku.”
Sejak itu Zainab diliputi kebahagiaan yang sangat sampai-sampai ia menjadi istri yang pencemburu terhadap istri Rasul lainnya. Menyikapi hal ini Rasulullah pernah sampai tidak tidur bersamanya selama dua atau tiga bulan sebagai hukuman atas perkataannya yang menyakitkan hati istrinya yang lain, yakni Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab.

Status Kebaikan yang Melekat

Diantara istri-istri Rasulullah, Zainab dikenal dengan kedermawanannya. Aisyah, istri Nabi yang paling muda berkisah, “Rasulullah pernah bersabda, “Paling duluan yang menyusulku dari kalian adalah yang paling panjang uluran tangannya.” Setelah Rasulullah wafat, suatu saat ketika kami berkumpul di rumah salah seorang dari kami, kami lalu berlomba mengukur panjang tangan kami pada tembok. Setelah Zainab wafat, baru kami sadar bahwa yang dimaksud oleh Rasulullah itu adalah uluran tangan yang suka bersedekah. Dan Zainab paling suka mengulurkan tangannya, yakni menyedekahkan apa yang dimilikinya untuk sabilillah.

Dalam riwayat yang lain Aisyah mengatakan pula, “Semoga Allah mengasihi Zainab. Dia banyak menyamaiku dalam kedudukannya di hati Rasulullah. Aku belum pernah melihat wanita yang lebih baik agamanya daripada Zainab. Dia sangat bertakwa kepada Allah, perkataannya paling jujur, paling suka menyambung tali silaturahmi, paling banyak bersedekah, banyak mengorbankan diri dalam bekerja untuk dapat bersedekah, dan selalu mendekatkan diri kepada Allah. Selain Saudah, dia yang memiliki tabiat yang keras.”
Selain Aisyah, Umar ra pun memberi kesaksiannya. Saat itu ia pernah masuk ke rumah Rasulullah untuk menemaninya. Saat itu, keduanya melihat Zainab sedang berdiri shalat dan berdoa. Saat itu Rasul langsung mengatakan kepadanya bahwa Zainab pantas disebut sebagai wanita awwahah (wanita yang khusyuk dan merendahkan dirinya di mata Allah).
Memasuki tahun tahun ke-20 H (ada juga yang mengatakan 21 H), Zainab binti Jahsy wafat. Ia istri Rasulullah yang pertama kali wafat menyusulnya, yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, saat usianya 53 tahun. Ia dimakamkan di Baqi’. Seluruh penduduk Madinah berduka dan mengiringinya sampai ke tempat peristirahatan terakhir. Momentum itu, bertepatan dengan ekspansi umat Islam yang mulai merambah wilayah Iskandariyah.

KISAH PELACUR TAUBAT DALAM AL-QURAN

 

Menerima Hidayah, pelacur cantik di masa Nabi SAW ini kabur dari germonya. Ia kukuh bertaubat setelah sebuah ayat Al-Quran turun khusus untuknya.


Hari itu, Abdullah bin Ubay bin Salul --tokoh kaum munafik-- sedang istirahat, melepas penat dan lelah. Tetapi istirahat Ibnu Salul harus terusik karena penjaga rumah tiba-tiba mengetuk pintu.  Ibnu Salul terpaksa bangun dan melihat penjaga bermuka sedih di depannya. Di tangan penjaga itu ada segenggam uang.Uang itu ternyata hasil kerja pegawainya, tapi Ibnu Salul gusar sebab uang itu jumlahnya tak seperti yang diharapkan.
“Sesungguhnya, uang sebesar ini adalah hasil kerja setengah hari bukan hasil kerja sehari penuh…” ujar Ibnu Salul berang.
Tak ingin dituduh menggelapkan uang maka penjaga rumah itu lantas menukas, “Tahukah tuan, kenapa penghasilan tuan sekarang ini menurun?”
“Ya, aku tahu! Semua ini gara-gara Muhammad telah merampas mahkotaku. Ia menjadikan orang-orang menjauh dari budak-budak wanitaku lantaran mereka terpengaruh ajaran-ajaran yang diserukan oleh Muhammad.”
Bersamaan itu, Ibnu Salul mendengarkan suara orang memanggil namanya. Ia kemudian menyuruh penjaga rumahnya untuk melihat siapa yang datang dan penjaga rumah cepat-cepat keluar. Sekeluar dari kamar, penjaga rumah mendapati beberapa orang dari Bani Tamim yang berkunjung ke Madinah. Penjaga rumah sudah mengenal mereka, yang tidak lain adalah para pembesar dari Bani Tamim yang biasa menginap beberapa hari  di tempat Ibnu Salul untuk bersenang-senang setiap kali mereka kembali dari  berdagang atau perjalanan dari Syam.
“Di manakah tuanmu, Ibnu Salul?”  tanya salah seorang dari mereka.
“Ada di dalam…”  jawab penjaga rumah
Tidak ada rasa canggung, para pembesar Bani Tamim itu kemudian masuk. Ibnu Salul cepat-cepat menyembunyikan uang di kamar, lantas segera keluar untuk menemui mereka. Ibnu Salul menyambut dengan hormat dan mereka pun membalas.
“Manakah wanita yang dulu pernah Anda kirimkan untuk kami?”  tanya seorang lelaki di antara para pembesar Bani Tamim itu.  
 “Wanita yang mana, ya? Mereka itu banyak….,”  jawab Ibnu Salul.
“Budak wanita Anda yang paling cantik!”
“Apakah dia itu Masikah?” tanya Ibnu Salul.
“Ya, dia! Tidak salah lagi… ” jawab seorang laki-laki, dengan girang.
“Nanti akan kami kirim dia untuk kalian semua bersama yang lainnya jika mereka mau…”
“Segeralah, wahai Abul Hubab, segeralah… Nanti kami akan memberinya uang sebagai upah kepadanya.”
Tak sabar ingin cepat mendapat upah, Ibnu Salul pun menyuruh penjaga rumah untuk memanggil Masikah serta budak-budak wanita yang lain. Tetapi penjaga rumah menukas, “Masikah tidak mau lagi melakukan hal itu, Tuan.”
“Bagaimana hal itu bisa terjadi?” ujar Ibnu Salul gusar.
“Hal ini terjadi sejak hari ini, Tuanku. Ia telah meluruskan pikirannya...”
Ibnu Salul pun bangkit, pergi ke kamar Masikah dan mendorong pintu dengan kakinya. Tetapi betapa terkejutnya Ibnu Salul, saat ia melongok ke kamar ternyata mendapati Masikah, budak wanita yang ia miliki sedang menunaikan shalat. Ibnu Salul tercekat, melihat perubahan yang terjadi pada Masikah. Maka tanpa banyak berkata, Ibnu Salul mendekat dan mendera Masikah dengan kasar.
“Celaka kamu! Muhammad rupanya telah membujukmu!”
“Tidak,” jawab Masikah setengah kaget “Justru Beliau telah menunjukkan jalan terang padaku tentang kebenaran…”
Jawaban Masikah seketika membuat Ibnu Salul murka. Dia kembali mendera Masikah, menyepak budak itu dengan kakinya. Masikah pun terluka. Lantas Ibnu Salul keluar, seraya memendam geram dan kecewa. Penjaga yang melihat itu berujar, "Coba aku bicara padanya, Tuan, agar ia bisa kembali seperti sediakala."
Penjaga rumah Ibnu Salul itu memasuki kamar Masikah bersama seorang wanita. Tatkala dia melihat keadaan Masikah yang terluka, ia ikut iba. Wanita yang ikut bersama penjaga rumah, kemudian menyuruh membalut luka yang diderita Masikah dan mengambilkan buah.
Penjaga rumah itu kemudian bertanya tentang apa yang diperbuat Ibnu Salul setelah dia didatangi tamu dari Bani Tamim yang ternyata menaruh minat terhadap Masikah. Setelah itu, penjaga rumah menjelaskan bahwa orang-orang dari Bani Tamim yang menghendaki Masikah itu akan memberikan harta sebagai tebusan bagi anaknya kelak jika Masikah melahirkan.
“Demi Allah, aku tak akan mendurhakai Allah lagi meskipun tubuhku dipotong-potong!” tegas Masikah.
Masikah sudah lama menjadi budak wanita Ibnu Salul. Tetapi, Ibnu Salul ternyata tidak menjadikan Masikah kerja dalam hal baik, melainkan dijadikan budak nafsu bagi lelaki yang butuh kesenangan. Dari situ Ibnu Salul meraih upah. Sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, Ibnu Salul sudah memaksa budak-budak wanita dari kaum Yahudi dan yang lain, termasuk Masikah. Untuk menampung mereka itu, Ibnu Salul membuka rumah yang di depannya dikibarkan bendera merah sebagai tanda pengenal.
Secara sembunyi-sembunyi, Masikah kemudian mendekati wanita-wanita dari kaum Anshar dan dia bisa mendapatkan keterangan jelas tentang Islam. Dari ayat-ayat al-Qur`an yang didengar dari wanita-wanita Anshar itu akhirnya hati Masikah mendapat cahaya terang. Di antara ayat al-Qur`an yang pernah didengar Masikah, adalah firman Allah surat Thaha [20] 1-8:
Thaha, Kami tidak menurunkan al-Qur`an ini kepadamu agar kamu menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemanyam di atas arsy. Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya  Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al-Asmaaul Husna (nama-nama yang baik)”.
Seiring perjalanan waktu, Masikah pun semakin mengenal Islam. Ia tahu Islam itu adalah kesaksian bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad itu adalah utusan Allah. Selain itu, Islam itu mendirikan shalat, membayar zakat, menjalankan puasa bulan Ramadhan dan mengerjakan haji bagi siapa yang sanggup menunaikan perjalanan ke Baitullah. Tahu bahwa ia bergelimang dosa maka Masikah bertanya tentang  seseorang yang berbuat dosa.
Ia mendapat jawaban, bahwa pintu-pintu harapan untuk bertobat kepada Allah itu senantiasa terbuka, sebagaimana bunyi firman Allah yang dia dengar, “Katakanlah, ‘hai, hamba-hambaku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. Az-Zumar  [39]: 53).
Maka Masikah merasa sudah waktunya untuk taubat, lari dari jeratan dosa. Akhirnya, malam tiba, Masikah keluar dari rumah Ibnu Salul, sambil mengendap-endap.  Sementara itu, budak-budak wanita lain sedang hanyut dalam buaian kesenangan. Dalam kegelapan itu, Masikah bisa keluar rumah dengan selamat.
Tapi setelah Masikah keluar ia bingung.“Ke mana saya harus pergi?” Untung, ia teringat dengan wanita tua yang pernah membuat dia sempat mendengarkan al-Qur`an, mengenal Islam dan mendapatkan hidayah Allah. Masikah lantas berjalan ke rumah wanita tua tersebut, yang tinggal seorang diri. Wanita itu menerima MAsikah dengan tangan terbuka.

Esok paginya, perempuan itu mengantar Masikah pergi ke masjid guna menemui Rasulullah. Bersamaan ketika Abu Bakar keluar masjid, Masikah yang diantar wanita itu tiba di masjid. Abu Bakar berhenti, melihat wanita yang menderita luka. Sementara itu, wanita tua yang mengantar Masikah kemudian bercerita bahwa semua itu tidak lain akibat ulah Ibnu Salul yang telah memaksa Masikah untuk melacur.
Abu Bakar buru-buru masuk masjid untuk menemui Rasulullah, dan bercerita apa yang dialami Masikah. Rasulullah diam sesaat, sebelum kemudian turun wahyu dari Allah kepada Rasulullah yang berbunyi, “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu” (QS. An-Nuur [24]: 33).
Masikah tahu, ayat yang turun itu berkaitan dengan dirinya. Maka hati Masikah semakin teguh. Sementara berita tentang Masikah tersebar dan orang jadi tahu tentang maksud dan tindakan dari Abdullah bin Ubay bin Salul yang tidak terpuji itu.

(Disarikan dari Profil di Balik Cadar; Kisah Wanita dalam Al-Qur`an, Jabir asy-Syal, terj. Alwi AM, Penerbit Grafiti Pers, Jakarta; 1986).


Kaki Tersayat di Muka Ka’bah

 



sebagai tempat mulia dan arena pembersihan jiwa bagi siapa saja yang menunaikan ibadah memang sudah masyhur adanya. Banyak kisah para jamaah haji yang mendapati pengalaman spiritual yang begitu membekas di hati mereka. Pengalaman itu jugalah yang menimpa seorang anggota polisi aktif. Sebut saja ia Heru, yang mendapat kesempatan menunaikan ibadah haji sekitar 12 tahun lalu.

Heru adalah polisi yang rutin berpatroli di jalan raya ibukota. Sebagai petugas Polantas [polisi lalu lintas], ia kerap menilang dan menertibkan pengendara kendaraan bermotor yang melanggar peraturan. Rutinitas itu ia jalani setiap harinya dengan semangat. Yang unik dari Heru adalah ia ternyata memiliki cita-cita naik haji. Dan hal ini tak hanya niat belaka, tapi sekuat tenaga berusaha diwujudkannya. Sekalipun bergaji standar PNS, ia selalu mewajibkan dirinya untuk menabung setiap bulannya. Tabungan itulah yang ia harapkan kelak akan dapat menyukupi biaya naik hajinya.
Saat kakinya tersayat tanpa tahu apa penyebabnya, laki-laki itu terduduk pasrah. Matanya menerawang, merenungi perbuatan-perbuatannya terdahulu.
Seperti falsafah yang berbunyi “dikit-dikit nanti jadi bukit”, uang Heru akhirnya menyukupi untuk biaya naik haji. Uang yang memang ia simpan dalam bentuk tabungan haji itu membuatnya terdaftar sebagai salah satu jamaah haji Indonesia yang akan terbang ke Arab Saudi bersama ratusan ribu jamaah haji lainnya.
Saat kepastian berangkat diterima Heru, terlihat sekali ia sangat gembira. Walau uang tabungannya hanya cukup buat membiayai dirinya seorang ke tanah suci, tanpa istrinya. Tapi Heru terlihat cukup bersyukur, apalagi saat itu banya temannya sesama polisi yang masih jarang menunaikan ibadah haji. Karena itulah kesempatan emas itu membuatnya sangat gembira.
Maka sebagaimana biasa, Heru menggelar walimatussafar di rumahnya dengan mengundang ustadz dan para tetangga. Para tetangga tampak senang karena ada salah seorang warga di lingkungan mereka yang naik haji. Terlebih ia adalah Heru yang cukup dikenal oleh mereka.
Demikianlah. Heru berangkat dengan keyakinan penuh. Semua kelengkapan haji dan manasik sebagian besar sudah ia kuasai. Warga pun melepasnya dengan doa. Saat di tanah suci itulah Heru mengalami pengalaman spiritual yang membekas di dalam di hatinya. Kisah itu, ia ceritakan kepada seorang ustadz muda di lingkungannya. Ustadz muda itulah yang kemudian mengisahkan kembali kisahnya kepada Hidayah agar diambil pelajaran. Berikut penuturannya.

Selalu Kehilangan Sandal

Kejadian unik pertama yang merepotkan Heru adalah saat ia kehilangan sandal, baik saat di Mekkah maupun Madinah. Ada-ada saja tempat ia kehilangan sandal. Dari penginapan, masjid, WC umum dan banyak lagi yang lainnya.
“Menurut pengakuan Heru kepada saya, ia kehilangan sandal lebih kurang 30 kali selama menunaikan ibadah haji. Karena itu pula ia sampai bolak-balik ke toko sandal untuk mengganti sandalnya yang hilang itu,” ujar Ustadz Rusli, narasumber Hidayah.
Kejadian sandal hilang berulang-ulang ini sebenarnya membuat Heru menjadi waspada dan lebih berhati-hati. Tak seperti perkiraannya, sekalipun di tanah suci, masih saja ada orang yang iseng mencuri sandal. Sekali dua kehilangan ia menjadi hati-hati dengan selalu meletakkan sandalnya di tempat yang menurutnya aman. Tapi ternyata tetap saja hilang.
Heru tentu saja tak habis pikir dibuatnya. Padahal, ia lihat teman-temannya yang lain tak mengalami peristiwa sepertinya. Kalau satu-dua kali kehilangan sandal barangkali itu wajar saja, karena dalam jamaah yang begitu banyak sangatlah terbuka kemungkinan sandal saling tertukar dan sebagainya. Tapi kalau sampai 30 kali, tentulah ada yang tak beres.
Kejadian itu membuat Heru merenung; apa sebenarnya yang ingin diisyaratkan Allah swt kepadanya dengan kejadian itu? Apakah ada yang salah dengan langkah dan niatnya dalam menunaikan ibadah haji ini? Heru hanya bisa bertanya-tanya tanpa tahu jawabannya. Ia juga tak habis pikir kenapa mesti sandal dan bukan barangnya yang lain, atau uangnya yang hilang? 

Kaki Tersayat

Di sela-sela kejadian itu Heru tetap teguh menunaikan rukun haji. Tak hanya mengerjakan yang wajib, ia juga menunaikan ibadah sunnah yang sering dilakukan jamaah di sana, seperti shalat dan thawaf di Ka’bah.
Suatu ketika, Heru menunaikah thawaf. Ia mengumandangkan kalimat talbiyah bersama jutaan jamaah lain dari penjuru dunia. “Labbaik allahuma labbaik,’ aku datang memenuhi seruan-Mu, ya Allah, aku datang….”
Lantai Masjidil Haram tampak sejuk di kaki Heru. Ya, lantai itu sudah diinjak oleh berpuluh bahkan beratus juta jamaah haji sejak dahulu kala. Lantai itu merekam keshalehan dan niat baik manusia yang ingin dekat dengan Tuhannya. Heru kini menjejak lantai masjid suci itu mengelilingi satu bangunan suci yang menjadi pemersatu umat Islam dunia dari segala zaman, yakni Ka’bah.
Sedang asyik dan khusyuk melangkahkan kaki mengelilingi Ka’bah, tiba-tiba Heru merasakan nyeri luar biasa di kakinya. Ia berteriak tertahan. Rasa sakit itu seperti menyengat dan membuatnya langsung terpincang-pincang dan tak mampu lagi berdiri dengan benar. Heru begitu terkejut karena merasakan ada cairan lengket dari telapak kakinya. Rupanya kakinya sudah berlumuran darah yang mengalir dan membasahi lantai Masjidil Haram di dekat Ka’bah.
Kakinya yang semula sehat dan baik-baik saja itu rupanya kini sudah terluka dengan luka sayatan. Bentuknnya memanjang seperti membelah telapak kakinya menjadi dua. Luka sayatan itu mirip dengan luka sayatan pisau yang tajam. Heru terduduk pucat, tak mengerti apa yang menimpanya itu. Sungguh tak mungkin ada pisau atau silet tergeletak di lantai masjid yang kemudian ia injak hingga membuat kakinya tersayat demikian rupa. Juga tak ada batu kerikil tajam atau pecahan kaca yang menancap di kakinya. Lagipula sungguh tak mungkin benda-benda itu ada di lantai masjid yang selalu dijaga dan dirawat dengan sangat baik itu.
Dengan nanar, Heru menatap lelehan darahnya di lantai. Ia beringsut lemas tak mengerti kenapa itu semua terjadi. Orang-orang yang ada di sekitarnya juga seperti tak terlalu memperhatikannya, mereka tetap berjalan memutar menunaikan thawaf.
Heru menarik dalam-dalam nafasnya. Dalam kebingungan dan kepanikannya, ia berujar pelan menyebut nama Allah. “Saya pasrah, ya Allah, saya pasrah atas apa yang Engkau timpakan padaku, aku berserah diri kepada-Mu,” ujar Heru lirih sambil menahan sakit.
Saat itulah, tiba-tiba, ada seorang kakek yang menghampirinya. Kakek itu memperhatikan luka Heru yang kini sudah terduduk lemas. Sesaat kemudian, kakek itu menyerahkan sebuah botol air kepadanya.
“Ini air zam-zam. Usaplah luka di kakimu ini dengan air ini, insya Allah, Allah akan memberi kesembuhan,” ujar kakek itu pelan.
Heru kemudian menerima botol tersebut. Dengan air yang ada di dalamnya Heru mengusap luka di telapak kakinya. Rasa sejuk hadir saat air tersebut menyentuh lukanya. Heru kemudian kembali membasuh luka tersebut sambil mengurut-urut telapak kakinya itu. Perlahan rasa sakitnya mereda, bahkan sesaat kemudian luka sayatan itu seperti merapat dan darah tak lagi mengalir dari luka itu. Sejurus kemudian, kaki Heru seperti sembuh total. Dan darah yang tadi berceceran di lantai tak tampak lagi seperti hilang entah kemana.
Dengan luapan gembira, Heru mengucap tahmid berulang kali. Sungguh kejadian itu seperti merasuk dalam dirinya. Ia tak mengerti, tapi nyata dan menyentuh kalbunya untuk lebih dekat menyebut nama Allah. Saat itulah Heru tersadar akan kakek yang tadi menolongnya dan menyerahkan botol air zam-zam untuk mengobati lukanya. Tapi kakek itu ternyata sudah tak ada lagi di hadapannya.

Pernah Menginjak-injak Orang

“Kisah itulah yang diceritakan Heru kepada saya sambil bercucuran air mata sepulang ia menunaikan ibadah haji,” ujar Rusli kepada Hidayah.
Menurut Rusli, sampai saat Heru kembali ke tanah air ia masih tak mengerti akan kejadian yang menimpanya itu. Yang dirasakan Heru adalah bahwa Allah tengah memperingatinya untuk bertaubat.
“Tapi Heru mengakui pernah satu kali menginjak-injak seorang pengendara sepeda motor yang melanggar lampu merah saat bertugas. Pengendara itu ternyata tak terima dan malah marah-marah, membuat Heru naik pitam dan menendang berkali-kali pengendara yang nampaknya adalah preman itu,” ujar Rusli.
Kejadian itulah yang dirasa Heru terkait dengan kejadian saat ia thawaf tersebut. Heru kemudian berikrar untuk bertaubat dan tak mau lagi mengulanginya di lain waktu. Memang, menzhalimi orang merupakan perkara besar karena sulit mendapat ampunan Allah, tanpa kita terlebih dahulu memohonkan maaf kepada yang bersangkutan.
Demikianlah. Pengalama Heru itu menjadi guru berharga dalam kehidupannya sekarang. Ia yang sebelumnya tampak temperamental, kini tampak lebih tenang dan tak suka marah-marah lagi. Ia juga makin rajin menunaikan ibadah dan terlibat dalam kegiatan keagamaan di lingkungannya. Semoga kita bisa mendapat hikmah.

Ibu dan Anak Tertidur Saat Sa’i

 

Kisah tentang ibadah haji adalah sebuah gambaran tentang keagungan dan kesucian. Keagungan karena di sana kita melihat bagaimana agungnya Masjidil Haram dan kebesaran Ka’bah, kiblat yang selama ini kita berhadap saat shalat wajib atau sunnah. Sedangkan kesuciannya karena Tanah Haram adalah wilayah yang sangat sakral. Apa yang terbersit dalam pikiran dan benak kita, baik positif maupun negatif, kerapkali langsung berwujud menjadi kenyataan. Bahkan, perbuatan kita saat sebelum berangkat ibadah haji, akan menjelma menjadi nyata di Tanah Haram. Maka, banyak orang yang sangat berhati-hati saat melaksanakan ibadah haji.
Ketika Anda berjalan cepat, mungkinkah jika Anda tertidur? Rasanya agak sulit, tapi inilah yang terjadi pada dua perempuan saat melakukan sa’i.
Namun, ada saja orang yang lalai ketika sudah sampai di sana. Bisa jadi, hal ini terkait dengan perbuatan dia sebelumnya saat masih di Tanah Air, ataukah dia memiliki pikiran buruk atau tidak baik saat di sana. Kisah berikut ini memang agak unik. Bagaimana tidak, dua orang perempuan (ibu dan anak) bisa tertidur saat melakukan ibadah sa’i. Padahal, kita tahu sendiri, bahwa ibadah sa’i merupakan ibadah yang dilakukan dengan berlari-lari kecil atau jalan cepat, tapi kenapa masih sempat tertidur. Begini kisah lengkapnya!
Sebut saja namanya Mak Jamroh dan Ibu Saodah (keduanya nama samaran). Mereka adalah pasangan ibu dan anak yang tinggal di Bogor, Jawa Barat. Mereka berangkat ibadah haji belum lama, yakni tahun 2009. Mereka bisa berangkat ibadah haji karena hasil menjual tanah. Nenek ini memang terkenal memiliki lahan yang sangat luas, beribu-ribu hektar, sehingga anak cucunya bisa hidup dengan menjual tanah ini.  
Setelah menjual tanah, Mak Jamroh pun mengajak anaknya untuk berangkat ibadah haji. Mereka mendaftar tahun 2008 dan baru bisa berangkat tahun 2009. Sebuah penantian yang tidak panjang sebenarnya. Maka, keadaan ini pun disambut positif oleh keluarga Mak Jamroh dan anaknya, Saodah. Pada waktunya, seminggu sebelum hari H, Mak Jamroh mengadakan walimah al-safar, yaitu mengadakan pengajian selama seminggu penuh.
Setelah itu, mereka pun berangkat. Keluarga besarnya mengiringi kepergian mereka. Di usianya yang sudah berkepala enam (65 tahun), Mak Jamroh akhirnya bisa berangkat juga ke Tanah Suci, itu pun karena desakan sanak familinya. Selama ini, jika ia menjual tanah selalu dipakai untuk kehidupan sehari-hari, tak pernah digunakan untuk kepentingan ibadah.
Selama melaksanakan ibadah haji, segala ritualnya berhasil ia tunaikan. Namun, hal aneh kemudian terjadi saat mereka melakukan ibadah sa’i. Ketika mereka melewati Bathnul Waadi, yaitu kawasan yang terletak di antara Bukit Shafa dan Marwah (saat ini ditandai dengan lampu neon berwarna hijau), tiba-tiba mereka terkantuk (tertidur) tanpa disadari oleh mereka. Sementara orang lalu-lalang di depan mereka dan seperti membiarkan mereka karena memiliki kesibukan masing-masing. Mereka baru sadar setelah petugas keamanan di sana membangunkan mereka dan mengantarkan mereka pulang ke pemondokan. Mereka seperti linglung saat dibangunkan. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan kami?” tanya salah seorang dari mereka.
Merasa ibadah sa’inya gagal, mereka pun kemudian mengulanginya kembali dan akhirnya berhasil. Itu pun mereka lakukan setelah mereka bertaubat sebelumnya kepada Allah atas apa yang mereka perbuat selama ini.
Apa yang dialami oleh ibu dan anak tersebut benar-benar sebuah peristiwa yang agak ganjil. Bagaimana tidak? Ketika sa’i, sebenarnya mereka akan melakukan perjalanan yang cepat. Sekantuk apapun, jika kondisi kita dalam keadaan berlari atau jalan cepat, apalagi di kanan kiri kita ada lautan manusia, maka rasa kantuk pasti bisa diatasi, apalagi sampai tertidur. Tapi, rupanya, mereka tak tahan mengusir kantuknya sehingga tanpa disadari mereka pun tertidur saat sa’i tersebut.
Hal-hal ganjil seperti itu sebenarnya tidak perlu kita risaukan karena memang begitulah yang terjadi di Masjidil Haram. Hal-hal yang sifatnya irasional terkadang bisa terjadi, seperti ada jamaah haji yang tidak bisa melihat Ka’bah, bahkan sampai berkali-kali padahal Ka’bah sudah di depan matanya. Ada pula jamaah haji yang terantuk atap pintu padahal tubuhnya pendek dibandingkan tinggi pintu itu sendiri. Bahkan ada jamaah haji yang sandalnya hilang saat shalat di Masjidil Haram hanya karena punya pikiran iseng untuk menyembunyikan sandal sahabatnya dan sebagainya. Yang jelas, peristiwa ganjil di Masjidil Haram selalu terkait dengan pikiran buruk kita saat ibadah haji atau perbuatan kita sebelumnya saat masih di Tanah Air.
Lalu, apa yang Mak Jamroh dan Saodah perbuat sebenarnya sehingga saat sa’i keduanya bisa tertidur?
Mak Jamroh, meski kaya dengan tanahnya yang luas, dia adalah seorang pedagang pakaian keliling. Karena suaminya sudah meninggal dunia, Mak Jamroh praktis menghidupi dirinya sendiri. Pakaian yang dijualnya bisa cash atau kredit. Untungnya tidak seberapa, tapi Mak Jamroh menikmati profesinya itu, meski kadang dilakukannya dengan tidak serius karena usianya yang sudah renta.
Sedangkan anaknya, Saodah, adalah seorang pedagang kecil-kecilan, yakni membuka warung sembako di depan rumahnya. Sebagian besar pelanggannya adalah orang-orang sekampung, para pejalan kaki dan pengendara motor atau mobil serta para TKW yang memang tempat penampungannya berada di depan warung.
Tidak ada yang salah dengan profesi mereka. Tapi, menurut pengakuan Saodah sendiri, dia dan ibunya kerapkali tertidur saat mengikuti pengajian yang diadakan oleh ibu-ibu pengajian di kampung. Mungkin karena capeknya dengan profesi mereka yang harus bangun pagi-pagi, sehingga ketika mengikuti pengajian di kampung, mereka kerapkali tertidur dan tidak mendengarkan ustadz atau ustadzah saat berceramah atau memberikan nasehat agamanya.
Lebih lanjut, Saodah menuturkan bahwa sebelum berangkat ibadah haji, ibadah shalat mereka sebenarnya bolong-bolong–meski kerapkali mengikuti pengajian Minggu Pagi di kampungnya. Bahkan, beberapa tahun sebelumnya, dia dan ibunya nyaris tidak pernah shalat.
Maklum, Mak Jamroh dan Saodah terdidik dalam lingkungan keluarga yang kurang agamis. Bahkan, Ibu Mak Jamroh hingga akhir hayatnya belum merasakan sama sekali shalat –apalagi baca al-Qur’an. Mereka seperti teralienasi untuk urusan agama. Di kampungnya sendiri, yang namanya seorang ustadz atau ustadzah sangat langka. Ketika mereka mengadakan pengajian pun, rata-rata mengambil ustadz atau ustadzah dari luar kampung. Bahkan, ustadz atau ustadzah mereka sendiri sebenarnya belum layak dipanggil demikian karena bacaan al-Qur’annya yang kurang tartil dan tak pernah punya latar belakang pendidikan pesantren. Hanya saja, kebetulan, mereka bisa baca al-Qur’an dan bisa sedikit ceramah agama.
Dengan lingkungan sosial seperti itu, maka pantas jika keluarga Mak Jamroh dan Saodah tumbuh dalam keluarga yang kurang agamis. “Tanyakan saja ke saya, apakah saya bisa baca al-Qur’an?” tantang Saodah kepada Hidayah. Dia pun menjawab sendiri bahwa dia sama sekali tidak bisa membaca al-Qur’an.
Satu hal lagi, kata Saodah, bahwa sesaat sebelum melakukan sa’i tersebut terbersit dalam pikiran mereka “rasa malas”. Meski tak diucapkan dalam bibir mereka, rupanya bisikan hati mereka akhirnya mewujud. Allah Maha Mendengar. Ketika mereka sa’i, rasa malas itu berbuah menjadi rasa kantuk yang sangat dalam sehingga tanpa mereka sadari bahwa mereka tertidur di Bathnul Waadi. Karena itu, hendaklah kita selalu ikhlas dalam melakukan ritual-ritual ibadah haji, sehingga ibadah haji kita diterima Allah swt (haji mabrur).
Namun, satu hal yang pasti, bahwa pengalaman ibadah haji tersebut benar-benar menjadi pelajaran yang sangat berharga buat dirinya dan ibunya. Selain itu, penting untuk mengetahui lebih mendalam tentang informasi ritual ibadah haji dan amalan-amalan yang mesti dilakukan, agar kita tidak tersesat saat beribadah haji. Saodah dan ibunya menyadari bahwa kebodohan mereka akan selak-beluk ibadah haji ternyata membuat mereka merasakan hal yang aneh saat sa’i.
Demikian pengalaman kisah haji yang terjadi kepada ibu dan anak dari Bogor ini. Semoga ada iktibar (pelajaran) yang bisa kita petik dari kisah ini! Amin.