Jumat, 24 Mei 2013

Denny Sanusi (Tjong Bun Lie) : KARENA MENJADI MUSLIM, SAJADAHNYA SEMPAT DIBAKAR



 
Perjalanannya  merengkuh iman begitu berliku. Puncaknya, ia pernah diusir sang ayah dari rumah.

Sejak kecil, Denny hidup dengan gelimang harta dan agama Konghucu. Ia terdidik untuk mengikuti agama bapaknya yang merupakan asli orang China dan merantau ke Jakarta. Kemudian ia bertemu dengan gadis Bandung untuk dinikahinya.
Sebagai pemeluk agama Konghucu, Denny sebenarnya cukup taat. Namun, keluarga cukup demokratis menerapkan nilai-nilai keberagamaan kepada anak-anaknya. Sikap demokratis inilah yang kemudian membawa Denny untuk dididik di Sekolah Katolik saat SMA.
Denny pun mulai belajar agama Katolik. Ia membaca Bible dan pergi ke gereja dengan sangat rajin. Setelah setahun bergelut dengan ajaran-ajaran Katolik, ia pun memutuskan masuk Katolik. Saat itu ia kelas dua.
Perpindahan Denny ke agama Katolik ini diketahui oleh orangtua dan keluarganya. Namun, mereka tidak marah. Mereka memperbolehkan anak-anaknya untuk memeluk agama manapun, asalkan bukan Islam.
Namun, ajaran agama yang baru digenggamnya itu justru tidak memuaskan dahaga spiritualnya. Ia merasa tidak nyaman menjalani agama tersebut.
Hatinya gelisah dan resah. Di tengah hatinya yang gundah gulana itulah ia akhirnya bertemu dengan seorang yang cukup mengerti tentang agama, meski bukan seorang ustadz. Ia pun mengutarakan kegundahannya ini.
Bagi seorang anak remaja yang masih kelas tiga saat itu, jelas saja sikap Denny ini mengundang decak kagum orang itu. Bagaimana mungkin, seorang anak remaja sudah mengungkap kegelisahan dirinya terkait masalah keyakinan? Tapi itulah kenyataannya.
“Pak, sejak saya memeluk Katolik kok hati selalu gelisah. Saya semakin malas pergi ke gereja. Ada apa ya?” tanya Denny.
Orang itu bertanya balik, “Kamu percaya Tuhan?”
“Ya.”
“Berdoalah kepada-Nya, tapi jangan menyebut nama Tuhan saya (Allah) dan juga tuhan kamu!” ujar orang itu.
“Doa apa yang harus saya baca?” Denny penasaran.
“Berdoalah sebelum tidur seperti ini: ‘Ya Tuhan, tolonglah saya. Tunjukkan saya agama mana yang paling benar di dunia dan akhirat. Yang dapat menyelamatkan saya di dunia dan akhirat.’”
Karena Denny sedang bersemangat mencari kebenaran, malam itu juga, sebelum tidur, ia membaca doa tersebut. Entah kebetulan atau tidak, esok harinya kebetulan memasuki Ramadhan, dimana Denny menyadari kalau saat-saat seperti ini umat Islam akan berpuasa, ia pun mencoba untuk berpuasa.
Hal itu terus berlangsung hingga memasuki puasa hari ke tujuh. Denny selalu berpuasa. Pada hari ketujuh, menjelang Maghrib, Denny menyalakan radio. Tanpa diduga-duga, ia mendengar suara adzan yang sangat merdu. Saking terkejutnya, ia pingsan sejenak selama kurang lebih semenit. “Saya sendiri heran, padahal setiap hari saya sering mendengar adzan tetangga terdekat,” ujar Denny yang sejak kecil memang hidup di tengah masyarakat yang banyak beragama Islam ini.
Bagi Denny, apa yang dialaminya itu merupakan salah satu kejadian yang luar biasa dalam hidupnya. Betapa tidak. Ia tidak pernah pingsan selama ini –apalagi oleh sebuah kasus yang sebenarnya sering ia dengar dari masjid atau mushala di lingkungannya. Tapi, kenapa adzan di bulan Ramadhan yang didengarnya lewat radio itu justru menggetarkan jiwanya hingga membuatnya pingsan? Pertanyaan inilah yang sejenak membuat Denny tidak bisa berkata apa-apa di kala itu.
Kejadian ini pun ditanyakannya ke orang yang cukup mengerti agama itu, “Pak, apa artinya ini?”
“Mungkin itu sebuah hidayah dari Tuhan. Tapi, coba saja kamu terus berdoa kepada Tuhan menjelang tidur dari doa yang saya ajarkan itu,” ujar orang itu, yang hingga kini Denny sudah lupa namanya.
Tak terasa, puasa pun telah di ambang perpisahan. Saat itu puasa telah memasuki hari ke-20, hendak memasuki hari ke-21 dan Denny masih berpuasa. Tiba-tiba, Denny dipanggil oleh orang itu ke rumahnya.
Di depan Denny, orang itu meminta, “Den, kalau bisa, malam ini kamu jangan tidur. Kalau saya jelaskan, kamu nanti tidak akan mengerti.Yang jelas, malam ini adalah malam istimewa, mungkin keistimewaan itu akan turun ke kamu.”
Tanpa mau bertanya lebih lanjut, Denny pun pulang. Namun, ia tidak pulang ke rumah, tapi langsung ke pabrik minuman ringan milik kedua orang tuanya. Di pabrik itu, ia naik ke tingkat dua. Di sana ia menghadap kiblat dan bertafakur dengan khusuk. Di tengah-tengah perenungannya, tiba-tiba tangan kirinya seperti ada yang mencengkeram begitu kuat, hingga ia tidak bisa bergerak. Ia berusaha memberontak, tapi tak kuasa. Akhirnya, ia pasrah. Tak lama kemudian cengkeraman itu berangsur lepas dari tangannya.
Kejadian itu tidak membuat Denny ketakutan. Ia malah turun ke bawah mendekati pancuran untuk mengambil air wudhu. Sebuah tindakan yang sebenarnya tidak ia mengerti sama sekali. Di saat itulah peristiwa aneh kembali terjadi. Saat ia sedang menyela jari-jari tangannya. Jari-jari tangan kanannya seperti tertahan begitu kuat di pangkal jari-jari tangan kirinya, hingga teramat sulit dilepaskan.
“Sepertinya Tuhan sedang mengeluarkan dosa-dosa saya,” ujarnya. Saat peristiwa itu terjadi, jam telah menunjukkan pukul satu malam. Setelah kejadian itu, ia kembali naik ke atas untuk menunaikan shalat dua rakaat. Entahlah, bisikan hati apa yang menggerakan Denny untuk melakukan semuanya ini. Padahal, ia belum menjadi seorang muslim. Ia mengikuti kata hati saja untuk melakukan gerakan-gerakan yang sudah lazim dilakukan oleh umat Islam, yaitu shalat. Usai itu, tidak ada lagi kejadian aneh yang menimpanya, dan ia pun pulang ke rumahnya.
Esok harinya, ia menemui orang itu kembali dan menceritakan apa saja yang baru dialaminya. Dengan diplomatis orang itu pun kembali berkata, “Kamu telah mengalami semuanya. Sekarang terserah kamu. Sebab, Islam tidak pernah memaksakan siapapun untuk memeluk agamanya.”
Denny berpikir sejenak. Akhirnya keputusan terbesar dalam hidupnya pun diambil. Ia memilih untuk menjadi mualaf. Subhanallah!

Diusir Keluarga
Sejak menjadi muslim, Denny pun mulai rutin menjalani shalat dan puasa. Selama dua tahun, keislaman Denny ini mampu ditutupinya dengan sangat erat. Namun, sepandai-pandai orang menjaga rahasia, akhirnya terbongkar juga.
Denny pun diinterogasi ayahnya. Namun, di depan sang ayah dan keluarganya, ia selalu mengaku non-muslim. Tapi, sang ayah tidak percaya begitu saja. Sang ayah pun mulai melarang Denny bepergian ke luar rumah; takut sang anak  melakukan akvitias ibadahnya di luar. Termasuk ketika hari Jumat tiba, Denny dilarang keluar untuk melakukan shalat Jumat. Namun, Denny selalu bisa berkelit. Ia berusaha melakukan apa saja agar tetap bisa shalat dan puasa, meski dalam kontrol keluarganya yang sangat ketat.
Tapi, suatu kali ayah dan keluarganya benar-benar mengetahui kalau Denny adalah seorang muslim. Betapa murkanya mereka pada Denny hingga mereka sempat berucap kalau darah Denny adalah halal. Artinya, kalaupun dibunuh, hal itu tidak menjadi masalah karena Denny telah murtad.
 
Kamar Denny pun diobrak-abrik dan sajadahnya dibakar. Lebih tragis lagi, Denny hampir sempat dibunuh oleh adiknya sendiri. Hanya saja, tidak sempat melukainya secara serius. Ia hanya mengalami luka ringan. Ulah sang adik ini diketahui warga. Warga yang jengkel melihat sesama muslimnya teraniaya, akhirnya mengeroyok adik Denny dalam suatu kesempatan. Hal ini pun menjadi perkara di kepolisian. Oleh adiknya, Denny dituduh sebagai biang keladi pengeroyokan tersebut.
Mulai dari cara yang halus hingga cara kasar sudah ditempuh ayah dan keluarganya. Namun, tak kuasa juga mengubah keislaman Denny. Akhirnya, Denny pun diusir dari rumah. Setelah diusir, hidup Denny pun tidak menentu. Di mana saja  ia menetap; kadang di markas PITI (lembaga mualaf) dan sebagainya.
Kendati begitu, di tengah jalan, sang ayah kadang masih menitip pesan lewat orang bahwa Denny bisa diterima kembali di keluarganya kalau ia mau balik ke agama yang lama. Tapi, Denny menolak tawaran itu. Baginya, Islam sudah harga mati; sebuah prinsip yang patut kita tiru bersama.
Dalam kondisi seperti itulah justru Denny menemukan jodohnya. Ia akhirnya menikahi seorang gadis muslimah keturunan China bernama Haryani (Tjong Siu Lan), asal Sukabumi. Denny menikah di Pengadilan Sipil karena sang ayah tidak merestuinya. Namun, demi gengsi pada teman-temannya, beberapa saat kemudian sang ayah membuatkan pesta pernikahan untuk Denny di sebuah gedung. “Tapi, setelah itu kami kembali tidak akur. Masalah akidah kami tetap berbeda,” ujar Denny.
Ujian kemudian datang lagi kepada Denny. Aset-aset perusahaan milik bapaknya yang memang atas nama dirinya akan diubah. Diketahui bahwa sejak ibunya meninggal, segala aset perusahaan milik orangtuanya berubah menjadi atas nama Denny. Namun, setelah Denny beragama Islam, sang ayah mengancam akan menyita semua aset-asetnya dan membalikan nama lagi ke diri sang ayah.
Tapi, Denny tidak mau. Ia datang ke notaris bersama sang ayah untuk mengubah kembali nama aset-aset perusahaan atas namanya tersebut menjadi atas nama ayahnya. Denny berprinsip, lebih baik kehilangan harta (aset) daripada harus menggadaikan keislamannya.
Toh Allah tidak pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya. Kini, alhamdulillah Denny mendirikan PT. UD Mulia yang bergerak di bidang supplier limbah kertas. 

SURAT MARYAM MENGGUGAHKU UNTUK MASUK ISLAM


 
"Entahlah, jika temanku tidak pernah memberikanku sebuah al-Qur’an terjemahan, mungkin aku akan tersesat selamanya. Sebab, melalui al-Qur’an inilah aku menemukan setetes hidayah yang aku cari selama ini. Di sini akhirnya aku temukan sebuah kebenaran bahwa Isa bukanlah Tuhan, tapi hanya seorang Nabi.”
Demikian pengakuan Ahmad Beben, laki-laki keturunan Tionghoa yang kemudian masuk Islam setelah mem­baca al-Qur’an terjemahan pe­mberian sahabatnya. Kepada Hidayah, laki-laki berkacamata pemilik nama asli Bernard Juniardi ini pun bicara blak-blakan seputar perjalanan hidupnya menjadi seorang Muslim yang penuh lika-liku, termasuk dirinya yang nyaris diusir kedua orangtuanya.

Yesus Hanya Seorang Nabi, Bukan Tuhan
Aku lahir di Jakarta, 11 Juni 1973. Aku tidak memiliki nama Tionghoa karena kedua orang tuaku sudah memberikan nama khas Indonesia sejak lahir yaitu Bernard Juniardi. Nama depanku sekilas agak kebarat-baratan, tetapi aku bangga dengan nama ini. Ada beberapa alasan kenapa kedua orang tuaku tidak memberikan nama Tionghoa, padahal aku murni keturunan Tionghoa.
Pertama, aku lahir pada situasi di mana orang yang memiliki nama Tionghoa harus diganti dengan nama Indonesia atau nama lainny dan juga agar bisa membaur dengna masyarakat. Sehari-hari aku dipanggil Beben. Sejak kecil aku menganut agama Katolik Roma, bukan agama nenek moyang yaitu Tionghoa. Sejak kecil aku pun diberikan bimbingan dan pengetahuan tentang ajaran-ajaran Katolik. Aku diajarkan bahwa Yesus adalah Tuhan, bukan seorang Nabi. Aku juga diajarkan bahwa Yesus telah meninggal dunia sebagai bentuk pengorbanannya kepada umat manusia. Yang lebih mengerikan lagi, aku didoktrin sebuah citra negatif tentang agama Islam yang suka pada kekerasan dan sebagainya. Pada usia 27 tahun, tepatnya tahun 2000 aku sampai pada momen penting keimananku.
Awalnya, seorang sahabat memberikanku sebuah al-Qur’an terjemahan. Bagiku, kitab suci ini tidaklah begitu asing. Karena itu, aku menerimanya dengan lapang dada. Meski begitu, kadang hati kecilku selalu bertanya-tanya, kenapa aku harus menerima pemberian temanku itu padahal aku beragama Katolik.
Mungkin inilah yang dinamakan takdir! Aku lalu membaca al-Qur’an terjemahan tersebut mulai dari surat al-Fatihah, al-Baqarah, al-Imran, al-Nisa dan seterusnya. Aku baca perlahan-lahan penuh konsentrasi. Tidak ada yang mampu menggugah perasaanku saat membacanya. Semuanya sama seperti aku membaca buku-buku lainnya atau saat aku membaca Injil, kitab peganganku sendiri.

Tetapi, keanehan kemudian menghinggap perasaan dan pikiranku tatkala bacaanku sampai pada Surat Maryam. Tidak pernah kusadari, aku menemukan sebuah ayat yang menjelaskan bahwa Yesus bukanlah Tuhan, tapi hanyalah seorang Nabi. Pengetahuan semacam ini jelas saja membredel keyakinanku selama ini yang mengklaim bahwa Isa adalah Tuhan.
Beberapa saat aku tercenung memikirkan ayat tersebut. Benarkah yang ditulis oleh al-Qur’an itu? Apakah yang diajarkan oleh Injil selama ini adalah salah? Sejuta pertanyaan menggelanyut dalam pikiranku kala itu. Aku nyaris tidak bisa tidur memikirkannya. Aku stress berat.
Lalu aku tanyakan mengenai hal ini kepada pendeta dan pastur. Apakah benar Yesus itu adalah Tuhan? Mereka ternyata tidak bisa menjawab. Andai pun mereka menjawab, tetapi alasan-alasan yang mereka kemukakan tetap tidak rasional atau tidak masuk akal. Ironinya, kenapa hal ini baru aku rasakan sekarang setelah membaca al-Qur’an? Kenapa dari dulu aku tidak pernah meragukannya?
Tidak itu saja, aku pun mulai bertanya pada pendeta dan pastur itu mengenai kematian Yesus. Benarkah Yesus itu sudah meninggal? Jika ya, kenapa beberapa ilmuwan saat menggali kuburnya tidak menemukan jasadnya? Mereka pun tidak bisa menjawab. Begitu pula saat aku menanyakan pada mereka mengenai konsep trinitas, mereka tetap tidak bisa menjawab. Mereka sendiri kehilangan akal untuk menjawab kenapa Tuhan itu ada tiga?
Akhirnya aku memutuskan untuk mendalami lebih jauh mengenai al-Qur’an dan Injil. Selama setahun aku mendalami kedua kitab tersebut, akhirnya kutemukan sebuah kesimpulan bahwa apa yang dikatakan al-Qur’an semuanya adalah benar. Satu hal pula yang membuatku yakin pada al-Qur’an adalah bahwa di mana pun aku menemukan al-Qur’an, pasti tidak ada teks atau bacaan yang berbeda satu sama lain. Ini memberikan gambaran padaku bahwa kitab suci ini pasti ada yang menjaganya. Setelah kurenungi lebih dalam, pasti semua ini ada campur tangan Allah yaitu Tuhannya orang Islam. Kepastian mengenai hal ini pun akhirnya kutemukan pada ayat al-Qur’an yang berbunyi, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Peringatan (al-Qur’an) dan Kami pula yang Menjaganya.”
Pada tahun 2001 akhirnya aku putuskan untuk mempelajari agama Islam lebih mendalam. Aku masuk Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Cinere, Depok. Aku dibantu oleh orang-orang Departemen Agama di situ. Setelah yakin, pada 1 Ramadhan 1422 H (2002), akhirnya aku memutuskan untuk masuk Islam. Aku mengucap syahadat di Masjid Raya Bambu Apus, Ciputat, Tangerang disaksikan oleh KH. Ato’ Muzar Munawar dan KH. Muhammad Sidiq Umari serta para staf Departemen Agama.
Pada hari pertama Ramadhan itu pula aku mulai berpuasa dan shalat tarawih. Alhamdulillah, sebulan penuh aku bisa menjalankannya. Sebab, sebelum aku masuk Islam dan tinggal di pesantren aku sudah dilatih berpuasa dan zikir dulu oleh pak kiayi. Karena itu, saat aku masuk Islam pada hari pertama bulan Ramadhan, hari itu juga aku bisa menunaikan ibadah puasa sampai sebulan penuh.
Bagaimana reaksi kedua orang ketika mendengar aku masuk Islam? Saat mendengar aku masuk Islam, aku nyaris diusir kedua orang tua dan nenekku. Aku sempat berkelahi dengan bapakku. Untungnya, Allah masih menolongku sehingga mereka akhirnya mengurungkan niat untuk mengusirku. Sebab, meski bagaimana pun aku adalah anak mereka dan salah seorang anggota keluarga mereka.
Kini, namaku sudah berubah menjadi Ahmad Beben. Nama Ahmad sendiri merupakan pemberian KH. Muhammad Sidiq Umari, sedang Beben adalah nama kecilku. Aku ingin melekatkan nama Islam dan nama masa laluku juga. Aku pun menjadi manusia baru. Aku seperti bayi yang baru lahir lagi.
Setelah masuk Islam, di Masjid Raya Bambu Apus itu langsung kutegaskan pada jamaah bahwa aku masuk Islam tidak untuk main-main. Aku ingin mati dalam keadaan Islam. Aku ingin berdakwah menegakkan agama Islam sampai titik darah penghabisan. Bahkan, kalau bisa, aku meninggal di dalam masjid sebagai mujahid, sebagai orang yang sedang berdakwah.

Dua Sisi Mata Uang
Salah satu resiko yang kuterima setelah masuk Islam adalah aku dipecat dari perusahaan tempatku bekerja. Aku dianggap berani melawan pimpinan. Padahal, pada saat itu aku hanya berusaha mengatakan yang sebenarnya. Ceritanya, aku dan teman-temanku berniat shalat Jum’at, tapi dilarang oleh pimpinan. Aku tetap memaksanya. Bahkan, mengompori teman-teman untuk tetap melakukannya.
Usai shalat Jum’at, aku didatangi oleh pimpinan. Ia murka kepadaku. Ia mengomeliku karena dianggap berani melawan kebijakan perusahaan. Tapi, aku bilang padanya bahwa apa yang aku lakukan semata-mata kewajibanku sebagai seorang Muslim. Shalat itu merupakan perintah Tuhan. Hal ini kukatakan padanya secara gamblang. Tetapi, ia terus mengomeliku. Tidak ada kata ampun lagi, aku pun bilang pada pimpinanku itu bahwa ia seorang kafir. Aku lepas kontrol saat itu, karena ia benar-benar tidak menghargai diriku yang seorang Muslim dan juga teman-temanku yang lain. Usai kejadian itu, tiga bulan kemudian aku dipecat.

Tidak itu saja, aku juga dijauhi oleh teman-teman dan keluargaku. Tapi aku pandang hal ini sebagai resiko. Kini, kegiatanku adalah berdakwah dari satu tempat ke tempat yang lain. Aku dakwahkan apa yang bisa kulakukan. Keterbatasan pengetahuanku tentang agama Islam, tidak menyurutkanku untuk berhenti berdakwah. Ini jauh lebih baik dibandingkan tidak sama sekali. Bahkan, aku ingin meninggal di dalam masjid dalam keadaan berdakwah. Aku ikhlas jika seandainya harus mendapatkan ajalku dalam perjalanan dakwah. Justru inilah yang harus kucari yaitu keridhaan Allah SWT. Amien.

MASUK ISLAM KARENA WUDHU


 
Puluhan tahun ia menganut aliran kepercayaan Kejawen. Suatu hari ia ingin mati dalam keadaan Islam. Sejak itulah, wanita bernama Wiyanty ini bersaksi bahwa Allah adalah Tuhanku, dan Muhammad Rasulku. Berikut ini penuturan kisahnya. 
Saya terlahir dari keluarga penganut aliran kepercayaan Kejawen, yaitu ajaran spiritual asli leluhur tanah Jawa, yang belum terkena pengaruh budaya atau agama dari luar. Aliran kepercayaan ini mengajarkan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dan nilai-nilai kebajikan. Keluarga saya berasal dari Jawa. Kedua orangtua saya penganut ajaran leluhur itu, hingga ajal menjemput mereka.
Ketika masih remaja, sekitar umur 15 tahun, saya sedikit demi sedikit mulai bertanya tentang Islam. Waktu itu, di rumah saya, ada seorang pembantu rumah tangga beragama Islam. Saya bertanya kepada dia soal ajaran-ajaran dalam agama Islam, termasuk masalah wudhu yang dilakukan sebelum shalat.
Pembantu saya bilang, Orang shalat harus ber-wudhu dulu yakni mencuci bagian tubuh agar bersih. Sejak itulah saya mulai tertarik pada Islam. Saya berpikir bahwa Islam ternyata sangat menghargai kebersihan.
Saya belajar wudhu, shalat, baca al-Quran, dan sebagainya kepada pembantu saya. Hal ini berlangsung hingga puluhan tahun. Saya menikah dan kemudian dikaruniai tiga orang anak. Saya menikah dengan seorang penganut agama Katolik tapi suami saya tidak bisa memaksakan saya untuk ikut agamanya kala itu. Saya dikaruniai tiga anak dan lima cucu. Ketiganya memeluk agama yang berbeda. Satu diantaranya beragama Katolik. Dua lainnya beragama Budha. Mereka disekolahkan di sekolah Katolik sejak kecil.
Di samping saya belajar tentang Islam pada pembantu, saya juga sering menonton acara pengajian di televisi. Hingga suatu hari saya menonton sebuah acara religi di salah satu stasiun televisi swasta. Waktu itu mengupas seputar profil Yayasan Haji Karim Oei, yaitu sebuah yayasan yang menampung para muallaf dari etnis Tionghoa.
Di tempat itulah saya kemudian secara intens mempelajari agama Islam. Setidaknya, satu kali atau dua kali dalam seminggu saya berkonsultasi tentang agama Islam. Saya kemudian berpikir bahwa suatu hari saya akan meninggal. Persoalannya, ke mana saya akan berpijak setelah meninggal? Sebab, ibaratnya, saya ini masih berada dalam persimpangan jalan. Karena itu perlu ada kejelasan bagi saya.
Hingga akhirnya, pada tahun 2002, saya merasa yakin untuk memeluk agama Islam. Saya lalu mengikrarkan diri di hadapan umat Islam di Masjid Lautze, di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. “Asyhadu allaa ilaaha ill-Allah. Wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah.”
Respon Suami
Setelah memeluk Islam, suami saya meresponsnya biasa-biasa saja. Ia sudah tahu bahwa saya tidak mau ikut agama yang dia anut. Ia juga tahu bahwa saya sejak dulu tertarik pada Islam.
Saya masuk Islam bukan karena ikut-ikutan. Maka, saya juga tidak ingin mengajak orang untuk masuk Islam karena ikut-ikutan. Sebab, pintu hidayah itu datangnya dari Allah. Agama itu ibaratnya sebuah jalan. Jalan kan banyak. Tinggal kita mau mengambil jalan mana. Kita mau melangkah di sebelah mana. Dan, Islam adalah satu dari sekian banyak jalan yang ada. Semua terserah mereka. Yang terpenting, saya ingin menjalankan agama saya ini dengan sepenuh hati. Saya ingin memberi contoh pada keluarga saya, bahwa agama yang saya anut sangat baik. Saya ingin memberi gambaran tentang ajaran Islam melalui perilaku yang saya kerjakan setiap hari. Saya juga merasa belum begitu baik memahami tentang Islam. Saya masih banyak belajar.
Untuk melengkapi pengetahuan, saya sering mendengarkan acara pengajian di televisi dan radio. Salah satu acara favorit saya adalah pengajian yang disampaikan oleh Mamah Dedeh. Bisa dibilang bahwa saya ini pengagum beliau. Setiap hari saya menonton acara tersebut. Di samping itu saya juga sering menghadiri acara-acara pengajian yang lain. Setiap ada undangan pengajian, terutama di bulan Ramadhan, saya selalu datang.
Hingga kini saya merasa kesulitan untuk mempelajari al-Quran, karena al-Quran berbahasa Arab, sementara bahasa Arab sulit dipelajari. Maka dari itu, untuk menyiasatinya, saya mempelajari al-Quran yang terjemahan bahasa China. Saya merasa lebih mudah paham mempelajari al-Quran terjemahan berbahasa China.
Islam bagi saya adalah agama yang cinta damai. Hanya saja, agama Islam di Indonesia tercemar lantaran umatnya yang tidak menjalankan ajaran agama dengan sungguh-sungguh. Banyak kalangan di luar Islam menganggap jelek pada Islam, dikarenakan banyak kasus-kasus kriminal dilakukan oleh umat Islam sendiri. Kalau umat Islam benar-benar menjalankan ajarannya dengan baik, hal-hal jelek pasti dapat dihindari.
Misalnya saja; Islam sangat menghargai tentang kebersihan. Sebelum shalat kita harus ber-wudhu. Kita cuci tangan, muka, kepala, kuping, dan kaki. Itu artinya bahwa Islam adalah agama yang menghormati nilai-nilai kebersihan. Kita juga diwajibkan untuk shalat lima waktu. Semua waktu shalat itu sesuai dengan kebutuhan kita, dan ujung-ujungnya akan bermanfaat untuk kita.
Shalat adalah ibadah wajib yang tidak hanya akan memperoleh pahala, tapi juga bisa membuat yang mengerjakannya merasa tenang. Hati saya merasa tenang setelah melakukan shalat. Di samping itu, shalat juga menyegarkan kondisi kejiwaaan kita. Bayangkan saja, misalnya, ketika di siang hari kita merasa penat dengan segudang pekerjaan, terus kita berwudhu dan shalat Dzuhur. Hati dan jiwa tentu akan tenang dan enak.
Terlebih pada shalat Subuh. Shalat Subuh mengajarkan kita untuk disiplin. Islam adalah agama yang menguji keseriusan bagi umatnya. Di saat kita terlelap tidur, kita diwajibkan untuk shalat Subuh. Nah, Islam ternyata agama yang mengajarkan kesehatan jiwa dan raga.
Islam juga mengharuskan umatnya untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Selama ini, setelah memeluk Islam, saya merasa senang menjalankan ibadah puasa. Sebab, dalam puasa, banyak manfaat yang saya peroleh. Saya merasa sangat gembira ketika bulan Puasa datang. Saya seakan diuji. Saya diuji untuk tidak makan pada siang hari. Saya diuji untuk bangun malam guna makan sahur. Yang paling penting lagi adalah saya diuji untuk bisa menaham marah dan nafsu. Hal semacam ini saya temukan hanya dalam agama Islam.
Islam adalah agama hebat dan lengkap. Islam mengajarkan semua sendi kehidupan, mulai soal ibadah, pernikahan, maupun ahli waris. Islam mengajarkan tentang kepekaan sosial. Orang kaya diwajibkan untuk membayar zakat. Anak-anak yatim harrus dipelihara dan dikasihi. Ada hitungan-hitungan (nishab) yang jelas soal zakat. Kita tidak sembarangan memberi zakat wajib. Dalam Islam  ada juga namanya sedekah sebagai pemberian yang bersifat sunnah. Semuanya diatur dengan lengkap.
Semua ibadah dalam agama Islam juga sangat sederhana. Tidak ruwet. Sebut saja misalnya tentang kewajiban menangani orang yang sudah meninggal dunia. Ketika seseorang meninggal dunia, jenazahnya harus langsung dikuburkan. Tidak perlu diinapkan hingga berhari-hari dan dipindahkan ke beberapa tempat seperti agama lain. Sekali lagi, bagi saya, Islam itu agama yang sangat simpel. Tidak banyak aturan yang memberatkan umatnya.
Jika dibandingkan dengan agama lain, Islam sangat lengkap. Dalam ajaran Kejawen, misalnya, jauh sekali bedanya. Di Kejawen tidak ada aturan hukum yang jelas, kurang menghargai kebersihan, ibadah tidak lengkap, dan sebagainya. Namun begitu, saya tetap menghargai perbedaan kepercayaan dan agama dengan yang lain. Karena pada prinsipnya, Islam mengajarkan toleransi pada setiap umat beragama.
Meski saya sudah beragama Islam, saya tetap bergaul dengan teman-teman penganut agama lain. Islam mengajarkan kebaikan. Karena itu, setelah kita masuk Islam, kita harus lebih baik lagi kepada orang lain. Itu yang lebih penting.

Menyibak Misteri Mummi Fir'aun


Kisah tentang sepak terjang Fir`aun yang sombong dan kejam bukanlah sebuah cerita fiksi. Ia dikisahkan dalam al-Qur`an. Namanya diabadikan dalam sejarah sebagai raja besar. Tapi, ia pongah karena tidak mau menerima pesan yang dibawa Musa, ia justru mengaku sebagai tuhan.
Kekuasaan telah membutakan matanya. Ia lebih mencintai tahta dan  tak mau tahtanya itu jatuh. Lalu, ia bertindak kejam, menyiksa dan menghancurkan Bani Isra`il. Prajurit yang berada di bawah kekuasaannya, diperintahkan membunuh bayi-bayi tidak berdosa dan menyeret kaum lelaki untuk dijadikan budak guna membangun kota-kota baru.
 
”Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.” (QS. Yunus [10]: 92)

Mati Tenggelam

Allah mendengar jerit kesakitan Bani Isra`il dan mewahyukan pada Musa memimpin Bani Isra`il keluar dari Mesir. “Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: "Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil) karena sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli.” (QS. As-Syu`ara [26]: 52).
Nabi Musa tak ragu akan janji Allah. Maka ia berani menanggung beban berat itu --membawa kaumnya pergi dari Mesir. Setelah Fir`aun tahu Bani Isra`il meninggalkan Mesir, ia segera memerintahkan prajuritnya untuk mengejar. Ia juga berencana hendak membunuh Musa dan Harun, lalu membawa kembali Bani Isra`il untuk dijadikan budak. Fir`aun mengendarai sendiri kereta kudanya yang perkasa dan memimpin langsung prajurit yang berjumlah besar.
Rombongan Bani Isra`il terus berjalan meninggalkan Mesir. Tapi Fir`aun segera mengejar Bani Isra`il. Rombongan Bani Israil dilanda rasa takut, apalagi ketika kereta kuda yang dipimpin Fir`aun itu semakin dekat. Rombongan Bani Isra`il tak bisa berbuat apa-apa. Rombongan Bani Isra`il dalam ancaman besar; dihimpit rasa takut dan merasa tidak bisa lolos.
Tetapi Nabi Musa yakin keberadaan Allah sebagai Sang Penolong. Di saat genting itu, pertolongan Allah akhirnya datang. Allah menyampaikan wahyu, “Pukullah laut itu dengan tongkatmu!” (QS As-Syu`ara [26]: 63). Nabi Musa as mengikuti perintah Allah, berjalan ke laut. Lalu, di atas sebuah batu, dia memukulkan tongkatnya. Di luar dugaan, sesuatu yang mengejutkan terjadi; laut terbelah menjadi dua --setiap bagiannya seperti sebuah gunung tinggi dan ada sebuah lembah yang panjang di antaranya. Dalam al-Qur`an, Allah berfirman, “Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (QS. As-Syu`ara [26]: 63)
Nabi Musa dan Bani Isra`il lalu melewati lembah yang membelah lautan jadi dua bagian itu. Saat Fir`aun dan bala tentaranya tiba di tepi laut, mereka beringas mengejar Bani Isra`il yang berjalan di tengah-tengah jalan yang menakjubkan itu. Saat pengikut Musa tiba di pantai sisi Timur (Teluk al-Siways), pengikut Musa melihat tentara Fir`aun di tengah jalan –dari belahan laut. Kaum Bani Israil dicekam takut, menduga tak bisa selamat. Lagi-lagi pertolongan Allah datang. Kejadian tak terduga kembali terjadi. Kedua sisi air laut kembali menyatu.
Gulungan ombak menggulung Fir`aun dan bala tentaranya. Fir`aun tak berdaya. “Aku percaya bahwa tidak ada Tuhan selain Tuhan yang dipercaya Bani Isra`il dan aku adalah termasuk orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus [10]: 90). Saat itu, Fir`aun dekat pada kematian dan ia mendengar suara, “Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yunus [10]: 91).
Dibayangi kematian, ia tahu akan menghadapi akhir hidup yang mengerikan dan ia mendengar suara, “Maka hari ini Kami selamatkan tubuhmu supaya kamu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami.”  (QS. Yunus [10]: 92)

Diawetkan

Kelaliman Fir`aun yang dulu dibanggakan itu seperti tak berarti ketika kematian menjemputnya. Ia tenggelam di laut Merah. Ia, dengan kekuasaan yang besar dan menjadi musuh Musa, memang sudah berakhir. Tapi Allah Maha Berkendak. Dengan kekuasaan-Nya, Dia menunjukkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Setelah kejadian itu, mayat Fir’aun itu pun ditemukan.
Gulungan ombak membawa mayat itu ke pantai. Orang-orang Mesir menemukan mayat Fir`aun, lalu menjadikan mayat Fir`aun itu dijadikan mummi (dibalsem) sehingga utuh seperti sekarang dan dapat dilihat di museum Mesir.
Semula, orang-orang Mesir membawa mummi Fir`aun itu ke lembah raja-raja di selatan Mesir. Mereka mengubur dalam sebuah kuburan batu sehingga rahasia itu pun selama bertahun-tahun tersembunyi. Tapi Allah berjanji menyelamatkan tubuh Fir`aun agar jadi sebuah pelajaran berharga bagi umat setelahnya.
Janji itu pun terbukti. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah QS. Yunus [10]: 92 di atas bahwa Allah telah menyelamatkan badan Fir`aun agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahnya. Pada tahun 1898, setelah bertahun-tahun dikuburkan, mummi Firaun ditemukan tahun 1898 M oleh Loret di Thebes di Lembah Raja-raja (Wadi al Muluk).
Seorang peneliti bermana Dr Maurice Bucaille, bersama anggota timnya berhasil mengungkapkan penyebab kematian Fir`aun dan pengawetannya. Dari hasil penelitian yang dia temukan, ia pada akhirnya menyimpulkan betapa al-Qur’an sangat detail dalam menjelaskan sesuatu, bahkan termasuk cerita dan proses pengawetan Fir’aun itu. Lebih menakjubkan lagi, ternyata hal itu tidak disebutkan dalam kitab-kitab yang lain.
Dari hasil penelitiannya pula, dia menemukan bekas garam yang menempel pada mayat mummi Fir`aun itu sehingga dia berani mengambil kesimpulan; menjadikan garam itu sebuah bukti nyata bahwa Firaun memang mati tenggelam dan mayatnya dapat di selamatkan, lantas diawetkan pada saat kejadian.
Tapi mummi Fir`aun meninggalkan sebuah pertanyaan: bagaimana mayat Fir’aun itu bisa diselamatkan dan anggota tubuhnya tetap utuh, sedangkan kondisi mayat dari bala tentara Fir`aun setelah diawetkan tak seperti dirinya? Setelah melalui penelitian, ia kemudian mencari penjelasan dalam al-Qur’an dan menemukan jawaban memuaskan (sebab telah disebutkan Allah dalam QS. Yunus [10]: 92)
Penelitian itu, tentu saja, menyibak misteri di balik mummi Fir`aun. Bahkan dalam penelitian medis yang dilakukan dengan mengambil sampel organ tertentu dari jasad mummi yang ditemukan, pada tahun 1975, melalui bantuan Prof Michel Durigon dari pemeriksaan yang detail dengan menggunakan mikroskop, ditemukan bagian terkecil dalam organnya masih dalam kondisi terpelihara dengan sempurna. Ini menunjukkan bahwa keterpeliharaan secara sempurna itu tidaklah mungkin terjadi andai kata jasad tersebut sempat tinggal beberapa lama dalam air atau berada lama di luar air sebelum terjadi proses pengawetan pertama.
Seputar hasil penelitian tersebut, Dr Bucaille mengungkapkan, ”Dari situ, diketahui bahwa semua penelitian itu sesuai dengan kisah-kisah yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang menyiratkan bahwa Fir`aun tewas ketika digulung gelombang.”
Fir`aun memang telah mati dan jasadnya telah terbujur kaku jadi mummi. Tetapi, di balik jasad Fir`aun yang kaku itu, ada pelajaran dan pesan penting yang diselipkan Allah, bahwa Allah telah menunjukkan akan kebesaran dan kekuasaan yang hanya bisa dipahami orang-orang yang mau berpikir.  Wallahu’alam bilshawab. [Berbagai sumber]
Siapakah nama Fir`aun?
 
Siapa Fir`aun yang dikenal kejam dan berani mengaku dirinya sebagai tuhan itu? Fir’aun itu sebenarnya bukan nama orang, tapi sebuah gelar bagi raja-raja Mesir zaman dulu. Menurut sejarah, Fir`aun di masa Nabi Musa adalah Minephtah (1232-1224 SM), putra dari Ramses II. Tapi, ada juga yang menyebutnya Minfitah.
 
Sebagian kisah terkait Raja Fir`aun yang menentang Nabi Musa, disebut-sebut Ramses II, bukan Minephtah. Tapi setelah diselidiki, ternyata Ramses II justru adalah seorang raja yang baik. Ia bahkan memerintah rakyatnya untuk selalu berbuat adil. Ia memerintah selama 68 tahun pada 1304-1237 SM. Sedang, anaknya, Minephtah, dikenal sebagai raja yang sangat kejam, lalim dan congkak. Dia itu yang menentang Nabi Musa dan bahkan berani mengaku sebagai tuhan. (berbagai sumber)

Episode Kisah Di Balik "Keringanan" Puasa


 
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampunimu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Di penghujung bulan Sya`ban, tahun kedua Hijriyah. Tepatnya, kurang lebih 18 bulan saat Nabi saw sudah menetap di Madinah. Bulan itu umat Islam diperintahkan Allah melaksanakan puasa wajib sebulan penuh (pada bulan Ramadhan). Kewajiban puasa itu diperintahkan setelah Rasulullah mendapat wahyu dari Allah, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, kaum muslim di masa awal Islam berpandangan bahwa menjalankan puasa Asyura (10 Muharam) adalah puasa wajib bagi mereka. Itu mengacu pada puasa yang dilaksanakan umat Yahudi pada Hari Raya Yom Kippur yang jatuh tanggal 10 bulan Tishri. Riwayat lain menyebutkan, sebelum turun perintah puasa Ramadhan, Rasulullah dan sahabat melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13, 14 dan 15 (setiap bulan Qomariyah). Selain juga puasa tanggal 10 Muharam sampai datang perintah puasa Ramadhan.
Tapi, di masa awal-awal puasa wajib Ramadhan disyariatkan, kaum muslim benar-benar merasa berat dan kepayahan. Maklum, di masa awal Islam itu, seseorang dilarang berhubungan (suami-istri), bahkan dilarang makan dan minum apabila yang  bersangkutan tertidur sesudah berbuka. Praktis, apabila ia bangun dari tidur pada tengah malam –meski belum datang waktu fajar—tetap tidak diperbolehkan bersenggama, juga tak diperkenankan makan dan minum.
Larangan itu dirasa cukup berat sehingga sahabat harus mengalami beberapa rentetan peristiwa, dan akhirnya turun wahyu --ayat al-Qur`an QS. Al-Baqarah [2]: 187, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa.”
Dalam ayat itu, Allah menjelaskan beberapa hukum terkait dengan masalah puasa, yakni dihalalkan melakukan hubungan suami-istri pada malam (Ramadhan) antara Maghrib sampai fajar, halal pula makan dan minum pada waktu itu. Selain itu, diterangkan pula waktu puasa; sejak terbit fajar hingga Maghrib dan tentang larangan berhubungan suami istri pada waktu itikaf di masjid. Tapi, di balik sebab turunnya ayat di atas, ada beberapa peristiwa yang dapat dijadikan pelajaran dan diambil hikmahnya.
Suatu hari, salah seorang sahabat Nabi yang bernama Qais bin Shirmah (dari golongan Anshar) harus gigit jari saat waktu buka puasa tiba. Pasalnya, ketika datang waktu berbuka, dia yang sudah dilanda haus dan lapar menjumpai sang istri dan mengajukan pertanyaan. “Apakah engkau memiliki makanan?”
Istri Qais menjawab “Tidak, akan tetapi aku akan pergi mencarikan makanan untukmu.”
Seketika itu, istri Qais buru-buru pergi untuk mencari makanan, sementara Qais bin Shirmah sendiri hanya bisa berpangku tangan menunggu. Perutnya melilit, kelaparan. Sayang, ia ternyata tak kuasa menahan kantuk yang tiba-tiba datang menyergap. Apalagi, kedua matanya terasa berat diajak kompromi. Rupanya, rasa capek dan kelelahan yang menjalar di sekujur tubuh Qais bin Shirmah, tak bisa ditahan lagi. Tak lama kemudian, ia pun tertidur pulas.
Sementara itu, sang istri tak tahu kalau Qais bin Shirmah sudah tertidur. Ia suntuk dan sibuk mencari makanan. Hingga akhirnya, saat istrinya datang membawa makanan  dan hendak menghidangkan santapan makanan itu kepada sang suami, ia tercekat bahkan kaget --lantaran menjumpai suaminya sudah tertidur.
Seketika itu, istri Qais bin Shirmah berujar, “Rugilah engkau mengapa engkau tidur.”
Saat itu, memang ada anggapan bahwa bila seseorang sudah tidur pada malam hari pada bulan puasa, setelah itu dia tak dibolehkan makan, minum dan bersenggama. Maka, Qais yang tertidur pun praktis tak bisa makan dan minum. Karena itu, Qais harus berpuasa wishal –menyambung puasa hari itu dengan hari berikutnya, dan tidak makan suatu apa pun di antara kedua hari tersebut.
Pada tengah hari, keesokannya, Qais bin Shirmah mengalami deraan lapar dan haus. Dia pun jatuh pingsan. Kejadian yang dialami Qais ini kemudian disampaikan kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat,“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu.“
Maka setumpuk kegembiraan segera meliputi hati mereka. Juga turun ayat, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam.”
Tapi ketika diturunkan ayat, “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam” belum diturunkan kelengkapannya, yakni terbitnya fajar. Jadi, ketika itu, apabila orang-orang hendak berpuasa, dia mengikatkan tali berwarna putih dan tali berwarna hitam di kakinya. Dia akan terus makan sampai benar-benar bisa membedakan antara keduanya. Setelah itu, Allah menurunkan kelengkapan ayatnya, “yaitu terbitnya fajar.” Maka barulah setelah itu mereka mengetahui bahwa yang dimaksudkan --dengan hitam dan putih-- adalah malam dan siang. (HR. Bukhari)
Tapi dalam hadits yang lain diceritakan ketika turun ayat “hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam”, salah satu sahabat Nabi, Sahl bin Sa’d, mengambil tali berwarna hitam dan tali berwarna putih, meletakkan keduanya di bawah bantal, kemudian pada waktu malam ia mengamatinya namun perbedaannya tidak jelas baginya. Keesokan harinya, dia pergi menemui Rasulullah menceritakan hal itu. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya malam dan putihnya siang.”(HR. Bukhari)
Sementara itu, dalam satu riwayat dikisahkan bahwa teks ayat, Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid” (wala tubasyiruhunna wa antum 'akifuna fil masajid) dalam QS. 2: 187 di atas turun berkenaan dengan seorang sahabat yang keluar dari masjid untuk menggauli istrinya di saat dia sedang itikaf. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah)
Tak hanya dilarang makan dan minum, kaum muslim di masa awal Islam pun dilarang menggauli istrinya setelah dia tertidur malam hari sampai dia berbuka puasa keesokan harinya. Tetapi, suatu ketika Umar bin Khaththab pulang dari rumah Nabi dan dia tidak kuasa menahan gejolak untuk menggauli istrinya. Sesampai di rumah, malam itu Umar mengungkapkan hasrat tersebut kepada sang istri.
“Saya sudah tidur,” jawab sang istri.
Tetapi, Umar berpendapat lain, “Kau belum tidur.”
Dan akhirnya, Umar menggauli istrinya. Tetapi, hal itu tidak hanya dialami Umar. Ka`b juga berbuat seperti itu. Akhirnya, esok harinya Umar menceritakan apa yang menimpa dirinya kepada Nabi. Lalu, turunlah ayat di atas (QS. Al-Baqarah [2]: 187).
Sementara dalam riwayat lain, diceritakan bahwa ketika turun ayat puasa Ramadhan, kaum muslimin tidak mendekati istrinya sepanjang bulan Ramadhan. Sedangkan kaum lelaki tidak dapat menahan nafsu mereka, kemudian Allah menurunkan firman-Nya, “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu.”

Pelajaran dari Ayat QS. Al-Baqarah [2]: 187

            Tentu, tak bisa disangkal, bahwa turunnya ayat itu merupakan rahmat Allah bagi kaum muslim --karena telah menasakh (menghapus) hukum yang pertama (perintah puasa) kepada (hukum) yang lebih ringan. Sebab di awal perintah puasa, apabila mereka telah tidur, di malam bulan Ramadhan diharamkan atas mereka berjima’, makan, dan minum hingga terbenamnya matahari di hari berikutnya. Jadi, dengan turunnya ayat di atas, Allah memberikan keringanan (rukhsah) kepada mereka (kaum muslim) dengan membolehkan hal-hal tersebut dari Maghrib hingga waktu fajar.
Sementara itu, dengan teks ayat “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”, sebagian besar ulama kemudian berpendapat bahwa itu adalah sebuah teks yang menganjurkan seseorang untuk makan sahur --bahkan mengakhirkan sahur. Apalagi, dalam sebuah hadits, Rasulullah telah bersabda, “Makan sahurlah kalian karena di dalam sahur itu terdapat berkah.(HR. Bukhari dan Muslim).
Karena dengan makan sahur itu, orang akan memiliki energi untuk menjalankan puasa pada hari itu. Dengan kata lain, sahur bisa mencukupinya dari berbagai makanan dan minuman pada siang hari. Selain itu, makan sahur itu menjadi pembeda antara puasanya kaum muslim dan puasanya kaum Ahli Kitab.
Hal itu sebagaimana telah ditegaskan Rasulullah dalam sebuah hadits, “Sesungguhnya pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim).

IBU YANG MENIKAHKAN ANAKNYA DENGAN BIDADARI SURGA



 
Seorang ibu dan anaknya tertawan untaian syair nan indah tentang bidadari surga. Pengorbanan apa pun sanggup dilakukan asal dapat berjumpa dengan penghuni surga yang elok rupawan itu.
Wanita yang dimaksud adalah Ummu Ibrahim al-Bashriyah al-Abidah, wanita Basrah yang ahli ibadah, serta Ibrahim, anaknya. Ketika musuh menyerang salah satu benteng Islam, banyak orang termotivasi untuk berjihad. Tak terkecuali dengan Ummu Ibrahim dan anaknya.
Abdul Wahid Ibnu Zaid al-Bashri, seorang pemimpin pasukan muslim, suatu ketika berorasi di tengah keramaian, mendorong mereka untuk berjihad. Dalam kerumunan itu, tidak ketinggalan Ummu Ibrahim dan anaknya.  Abdul Wahid dalam pidatonya menggambarkan wanita surga.
“Gadis itu lembut, genit lagi periang. Diciptakan dari segala yang wangi baunya. Ia memiliki ciri-ciri khusus dengan tutur kata yang manis…’orang lalai tidak akan meminang orang sepertiku. Yang meminangku hanyalah orang yang gigih,” ujar Abdul Wahid bersyair.
Mendengar syair tersebut kegaduhan sontak terpecah. Begitu pun Ummu Ibrahim. Ia  langsung bergegas menghampiri Abdul Wahid.
“Wahai Abu Ubaid, tidakkah engkau kenal dengan anakku, Ibrahim? Para pemuka penduduk Basrah meminangnya untuk putri-putri mereka, namun aku menolaknya. Akan tetapi, demi Allah, bidadari ini telah membuatku kagum, aku ingin merelakannya menjadi pengantin untuk anakku. Apa kau bisa menikahkannya dengan anakku dengan mengambil maharnya dariku sepuluh ribu dinar? Dia boleh pergi menyertaimu.. Semoga Allah menganugerahinya mati syahid dan bisa memberi syafaat kepadaku dan ayahnya pada hari kiamat!” ujar Ummu Ibrahim.
“Jika kau melakukannya, maka sungguh engkau, anakmu, dan ayah anakmu akan mendapatkan keuntungan yang agung,” jawab Abdul Wahid.
Ummu Ibrahim senang alang kepalang mendengar jawaban itu. Lalu ia pun memanggil putranya.
“Anakku, apakah kau rela menjadikan bidadari ini sebagai istri hingga mengorbankan nyawamu di jalan-Nya dan tidak akan mengulangi perbuatan dosanya?”
“Ya, ibuku, aku rela dengan segala kerelaan,” jawab Ibrahim.
“Ya Allah, aku jadikan Engkau sebagai saksi bahwa aku telah mengawinkan putraku ini dengan bidadari tadi. Dengan mengorbankan nyawanya di jalan-Mu dan tidak mengulangi perbuatan dosanya. Terimalah dia dariku, wahai Dzat yang paling Pengasih di antara orang-orang yang mengasihi.”
Ummu Ibrahim lalu bergegas menghampiri Abdul Wahid, memberinya sepuluh ribu dinar. “Abu Ubaid, ini adalah mahar sang bidadari untuk kau gunakan sebagai persiapan, maka siapkanlah para tentara di jalan Allah.” Setelah itu, wanita yang hatinya tengah dilanda kebahagiaan tersebut membeli seekor kuda yang kuat dan senjata yang bagus untuk putranya.
Abdul Wahid dan para qari’ yang ada di kerumunan terpukau melihat apa yang dilakukan Ummu Ibrahim. Mereka lantas melantunkan sebuah ayat al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin baik diri maupun harta mereka dengan memberika surga untuk mereka…” (at-Taubah: 111)
Tanpa dinyana, apa yang dilakukan ibu dan anak tersebut telah melecut semangat tentara muslim. Mereka maju berperang. Ibrahim berhasil membunuh banyak tentara musuh. Sayang, jumlah musuh yang terlalu banyak berhasil mengepungnya hingga ia pun syahid terbunuh.
Maka ketika tentara muslim kembali ke Basrah, kaum muslim sepakat untuk tidak menceritakan hal tersebut kepada Ummu Ibrahim. Tapi ibunda Ibrahim itu bertanya kepada Abdul wahid.
 “Wahai Abu Ubaid, apakah hadiah dariku telah diterima agar aku tenang, atau malah ditolak dan aku merasa sedih?” tanya Ummu Ibrahim.
“Jangan khawatir. Hadiahmu telah diterima,” sahut Abdul Wahid dengan senyum.
Esoknya, Ummu Ibrahim kembali mendatangi Abdul Wahid di masjidnya.
“Aku hanya ingin bercerita, bahwa tadi malam aku melihat anakku, Ibrahim, di taman yang indah, di atasnya terdapat kubah hijau. Dia berada di atas ranjang yang terbuat dari permata. Di atas kepalanya terdapat mahkota. Dia mengatakan padaku, ‘Wahai ibu, berbahagialah, mahar telah diterima dan sang pengantin telah dinikahkan.”
[Disarikan dari The Great Women, Mengapa Wanita Harus Merasa Tidak Lebih Mulia, --judul asli:Uluwwul Himmah ‘Inda an-Nisa, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006]

Taubat Saat Mendengar Khutbah Idul Fitri


 Ini adalah kisah tentang seorang pria yang kembali ke jalan Allah. Setelah sekian lama bergelimang dengan dosa dan nista, pria ini akhirnya menuju jalan sejati. Uniknya, ia merasakan betul apa itu namanya ‘Idul Fitri’. Ia mengalami betul apa itu makna ‘kembali ke fitrah’: sebuah istilah yang lazim terdengar di mana-mana pada hari Idul Fitri, tapi mungkin jarang yang merasakan makna hakikinya.
Idul Fitri. Ya, inilah istilah yang agung bagi seorang hamba yang sudah jauh dari sajadah Ilahi. Ia kembali bersujud di atas sajadah yang lama ditinggalkannya pada saat orang lain bergembira. Ia baru merasakan indahnya kembali ke jalan Allah ketika tengah mendengarkan seorang khatib membacakan khutbahnya. Kala itu, seorang khatib berkata, “Idul Fitri adalah untuk orang yang kembali dari tempat yang sesat menuju tempat yang nikmat, yaitu Islam.”
 
Idul  Fitri  tidak hanya  milik mereka yang rajin beribadah,  tapi juga milik  mereka yang benar-benar kembali menjadi ‘manusia’.
Awalnya ia hanya memahami bahwa Idul Fitri hanya untuk orang yang sukses menjalankan ibadah puasa selama sebulan. Idul Fitri adalah bagi orang yang telah benar-benar mengamalkan rukun Islam yang keempat itu. Tapi, entah kenapa, sang ustadz kala itu justru mengatakan sesuatu di luar kalimat pada umumnya.
Pria itu bernama Tohari, lelaki yang dikisahkan dalam cerita ini. Usianya kini menginjak kepala lima. Sudah cukup tua bagi manusia yang umumnya hidup di muka bumi ini. Sebab, Nabi Muhammad sendiri hidup hanya 63 tahun. Itu artinya, pria ini hanya perlu menjalankan sekitar kurang dari sepuluh tahun lagi untuk mati. Itu rumus umumnya.
Tohari tentu bukan nama sebenarnya. Ia enggan dan tak mau namanya ditulis dalam cerita ini. Malu, katanya. Bukan malu kepada Tuhan, tapi ia malu kepada anak cucunya nanti, karena ia bukan termasuk orang yang sempurna dalam menjalankan hidup di bumi ini. Puluhan tahun ia ‘mengembara’ dalam perjalanan setan.
Tapi, untungnya, ia kini sudah berubah. Mungkin itu yang membuat dirinya bangga dan berkenan untuk diajak bercerita kepada Hidayah. Ia hanya mau menceritakan pengalaman hidupnya, tapi tak mau menyebutkan identitas dirinya yang sebenarnya. Sebab, bagi dia, masa lalunya adalah aib belaka, yang tak layak ditiru dan dicontoh anak muda.

Masa Muda

 Masa remaja Tohari mungkin sama dengan anak muda pada umumnya di ibukota. Ia memiliki segudang impian dan harapan. Namun, karena keterbatasan biaya, ia tidak bisa menamatkan sekolah tingkat SMA. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari ia menjadi kuli panggul atau kuli angkat di pasar. Sesekali ia juga membantu pamannya berjualan di pasar.
Pergaulan di pasar membuatnya kenal dengan dunia preman. Ini berawal ketika ia dan teman-temannya menjadi juru parkir. Di situlah ia mulai mengenal minuman keras, memalak pedagang pasar dengan dalih keamanan, berjudi, bahkan main perempuan. Ia merasa hidupnya bebas. Tidak ada yang melarang, maupun menasihatinya. Apalagi setelah kedua orangtuanya telah meninggal dunia.
Kebiasaan buruknya itu sedikit reda manakala ia berkenalan dengan seorang gadis berjilbab. Dia jatuh cinta dengan seorang wanita muslimah; anak pengajian di masjid. Perkenalannya ini berawal ketika si gadis memarkirkan sepeda ontelnya. Si gadis meminta tolong agar dirinya membetulkan sepeda ontelnya yang rusak.
Singkat cerita. Terjadilah benih-benih cinta antara Tohari dengan gadis itu. Namun, sayang, perjalanan cintanya ini tidak berjalan mulus. Pasalnya, pihak keluarga gadis tersebut menentang keras hubungan mereka. Mengingat Tohari memiliki kehidupan yang tidak ‘jelas’. Ia hanya seorang juru parkir. Apa yang diharapkan dari kehidupan seorang juru parkir. Kira-kira seperti itu yang ada dalam pikiran mayoritas keluarga si gadis itu.
Ya, memang, Tohari tidak memiliki penghasilan hidup yang layak. Ia hanya seorang juru parkir. Ia juga sudah tidak punya orangtua. Pun, ia tidak punya kekayaan atau harta yang berharga. Ia ditinggal orangtuanya dalam kondisi tidak berduit. Maka, wajarlah, apabila akhirnya keluarga si gadis itu menolaknya keras-keras.
Tapi, entah kenapa, si gadis itu tetap berusaha keras untuk menikah dengan Tohari. Alasannya, kata Tohari, kala itu si gadis melihat dirinya memiliki kebaikan di tengah kegarangannya berperilaku. Itulah sebabnya ia memperjuangkan cintanya itu. Akhirnya, karena ia belum mendapat restu secara penuh dari keluarganya, ia menikah dengan Tohari dengan apa adanya.
Selama setahun menikah, Tohari masih bekerja sebagai juru parkir. Sementara istrinya mengajar ngaji anak-anak di mushala. Terkadang, istrinya juga berjualan kue untuk sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Nah, karena kebutuhan ekonomi yang begitu besar, sementara penghasilannya kecil, Tohari kembali ke dalam kehidupan lamanya lagi: judi.
Ya, Tohari kembali ke dalam kehidupan lamanya. Siang ia menjadi juru parkir, malam ia berjudi dengan teman-temannya. Siang ia memalak para pedagang pasar, malam ia menjadi preman dunia hiburan. Ini berjalan hingga istrinya melahirkan anaknya yang kedua.
Bagaimana dengan istrinya? Saat itu sang istri sabar sekali. Meski ia sering ditinggal Tohari setiap malam, ia sabar menunggu. Meski kadang uang belanja kurang, sang istri begitu sabar menjalaninya. Pendek kata, ini menurut pengakuan Tohari, istrinya kala itu menjadi seorang wanita yang paling penyabar di dunia. Meski ia pulang dengan kondisi mabuk berat dan marah-marah kepada istrinya, tapi sang istri tidak menimpalinya dengan kemarahan pula.
Saat itu, jelas Tohari, istrinya hanya berkata sedikit. Seingatnya, sang istri paling berkata, “Bang, apa sebaiknya abang meninggalkan pekerjaan itu (preman dunia hiburan)?”
Kala itu, sang istri hanya berdoa agar suaminya diberi hidayah untuk kembali ke jalan yang benar. Ketika anak pertama mereka berusia 10 tahun, dan anak keduanya 5 tahun, Tohari memutuskan untuk bekerja ke Malaysia. Saat itu istrinya mengizinkan suaminya bekerja ke Malaysia, daripada ia bekerja sebagai preman, mungkin akan lebih baik apabila bekerja di Malaysia.
Tohari bekerja di Malaysia bersama dengan pamannya. Ia bekerja sebagai buruh perkebunan di sana. Di Malaysia, Tohari pun kembali pada kebiasaan lamanya, yaitu suka berjudi, mabuk, dan main perempuan. Hanya saja, satu kebiasaan yang ia tinggalkan, yaitu menjadi preman yang suka memalak orang. Pasalnya, di Malaysia, kata dia, keamanan di sana cukup baik.
Selama tiga tahun di Malaysia Tohari tidak pernah pulang. Ternyata di Malaysia ia punya istri kedua. Ini di luar pengetahuan istrinya kala itu. Tapi, dari pernikahan keduanya itu, ia tidak dikaruniai anak satu pun. Ketika ia kembali ke Indonesia, ia menceraikan istri yang di Malaysia itu.
Sekembalinya di Indonesia, jiwa premannya ternyata tidak serta-merta hilang. Justru, ketika anak-anaknya sudah masuk ke sekolah menengah atas, ia kian ‘gila’. Ia menjadi preman pasar yang sangat ditakuti. Ia mudah sekali meminta uang kepada pedagang. Bila tidak dikasih, ia akan memukul. Pendek kata, Tohari kian brutal saja. Lalu, bagaimana dengan istrinya?
Sungguh luar biasa. Istrinya tidak pernah punya niat sedikit pun untuk berpisah dengan dirinya. Setia sekali. Ia sangat setia mendampingi suaminya yang berkelakuan bejat itu. Padahal, bagi wanita normal pada umumnya, memiliki suami seperti itu tidak akan tahan. Justru, istrinya memberi supprort agar dirinya bisa memperbaiki sedikit demi sedikit.
Tohari pernah bertanya kepada istrinya itu, kenapa ia bisa begitu sabar. Istrinya hanya menjawab singkat: “Hidayah itu datang bukan dari manusia, tapi dari Allah. Nabi Muhammad saja tidak sanggup mengislamkan paman-pamannya. Nabi Nuh saja tidak sanggup mengimankan anaknya. Nabi Ibrahimpun tidak sanggup mengimankan ayahnya. Begitu juga dengan Nabi Luth yang tidak bisa mengajar istrinya beriman kepada Allah. Apalagi saya?”

Bulan Puasa

Bulan puasa lalu, tepatnya 10 tahun lalu, adalah masa yang sangat berarti dan bermakna dalam hidup Tohari. Karena, pada bulan itulah, ia menemukan titik balik hidupnya ini. Bagaimana persisnya?
Bulan puasa itu sebenarnya sama dengan bulan puasa sebelum-sebelumnya. Tohari hanya berpuasa pada hari pertama Ramadhan. Selebihnya, ia tidak puasa. Ia tidak menjalankan ibadah puasa, apalagi menjalankan ibadah shalat. Tapi, kalau Lebaran tiba, ia tidak pernah meninggalkan momentum itu untuk shalat Idul Fitri. Kata dia, “Shalat setahun sekali masa tidak dikerjakan.”
Pada siang hari bulan Ramadhan, ia tidak segan-segan merokok di tempat umum. Baginya, itu adalah hak dirinya. Tidak ada yang berani melarangnya. Para tokoh agama pun tak ada yang berani mengingatkannya. Tapi, istri dan anak-anaknya tetap rajin menjalankan ibadah puasa. Kedua anaknya sangat patuh dan menjadikan ibunya sebagai teladan.
Pada setiap bulan Ramadhan, istrinya tidak pernah lupa untuk shalat berjamaah di masjid, i’tikaf, maupun shalat Tahajud. Mungkin, kata Tohari, doa istrinya itulah yang telah mengantarkannya pada jalan Allah.
Ketika malam Takbiran tiba, Tohari masih saja berkumpul dengan kawan-kawannya di sebuah gang kecil di dekat rumahnya. Pagi harinya, ketika semua orang sudah bersiap-siap untuk pergi ke lapangan untuk shalat Idul Fitri, Tohari masih saja tidur. Sang istri pun membangunkannya. “Bang, bangun! Shalat Idul Fitri, yuk! Setahun sekali kita shalat ini. Jarang-jarang, lho,” ajak istrinya.
Perlahan Tohari pun bangun. Ia lalu bergegas mandi, dan berangkat ke lapangan. Tak ada sesuatu yang spesial bagi dirinya pada pagi itu. Sesampainya di lapangan ia langsung shalat Idul Fitri, karena ia datang agak telat. Seusai shalat, seorang ustadz beranjak menuju mimbar dan mulailah ia berkuthbah.
Kala itu, Tohari mendengarkannya dengan sangat serius. Karena, entah kenapa, setiap ucapan yang disampaikan sang khatib begitu mengena. Hingga kemudian satu kalimat yang disampaikan sang khatib membuatnya tertunduk dan menangis: “Idul Fitri adalah untuk orang yang kembali dari tempat yang sesat menuju tempat yang nikmat, yaitu Islam.”
Ia lalu teringat dengan masa lalunya. “Ya, Allah, benarkah engkau akan menerima hambamu yang kotor ini!”
Sang Khatib lalu berkata, “Idul Fitri tidak hanya bagi mereka yang berpuasa, tapi bagi mereka yang memiliki unsur manusia. Orang yang ‘manusia’ pasti dapat merasakan nalurinya untuk kembali kepada fitrah. Hanya binatang dan hewan yang tidak akan bisa kembali kepada fitrahnya.”
“Masya Allah,” kata Tohari, “apa yang aku lakukan selama ini? Aku bukanlah manusia, tapi aku binatang.” Seketika itu, ia lalu menangis. Air matanya bercucuran di lapangan itu. Usai khutbah Idul Fitri, ia tidak ikut bersalam-salaman. Ia langsung pulang. Di rumah ia langsung masuk kamar, dan menguncinya. Di kamar itu ia menangis sekuat-kuatnya, dan sepuas-puasnya. “Ya Allah, ampuni dosa hambamu ini.”
Setelah kejadian itu, kehidupan Tohari berubah total. Ia tidak mau berjudi, memalak uang, mabuk, apalagi main perempuan. Ia sudah meninggalkannya jauh-jauh sekali. Ia sudah insyaf, sadar, dan taubat. Kini ia menjadi seorang ustadz di sebuah mushala di pinggir Ibukota. Bagi dirnya, apa yang ia alami ini tak lain adalah buah dari kesabaran dan doa dari istrinya yang sabar itu.

Mat Ambon, Lelaki Yang Diselamatkan Adzan


Hidayah bertemu dengan bapak dua anak yang biasa dipanggil Mat Ambon ini di  perkampungan Mauk-Tangerang-Banten. Rumahnya sedehana, berbentuk semi permanen. Separuh dindingnya terbuat dari bilik bambu. Begitu masuk ke halaman kantornya, tampak suasana hijau nan asri. Tanaman hias dan buah tumbuh subur. Di sekelilingnya terdapat sangkar-sangkar burung, ternak bebek, ayam dan beberapa kelinci bebas berkeliaran. Di sini, suasana tenang dan damai terasa. Berikut kisah hidupnya yang dituturkan kepada Hidayah.
 
Hidup di jalanan membuat lelaki ini berkubang kesesatan. Raja preman yang pernah menguasai Lapangan Banteng, Tanjung Priuk, Senen, sampai Tangerang ini akhirnya menerima panggilan Allah melalui suara adzan. Kini ia mengasuh 20-an anak-anak yatim dan anak terlantar lewat Yayasan Ali Zanni.

 Masuk Penjara

Sekarang saya merasakan damai  dan tenang dalam menjalani hidup. Suatu perasaan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya.  Hidup saya kelam, berkubang dosa sebelum saya taubat. Semua diawali ketika saya masih kecil. Waktu itu, tahun 1957, masa-masa sulit bagi bangsa ini setelah terbebas dari belenggu penjajah.
Ayah saya seorang militer berpangkat mayor. Jangan bayangkan kami bisa hidup enak. Tidak seperti sekarang, seorang mayor bisa hidup makmur. Dulu, pekerjaan ayah dihabiskan untuk mengabdi pada negara, bertugas menjaga keamanan, berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Keluarga kami harus hidup seadanya, sangat pas-pasan.
Saya anak ketiga dari empat bersaudara. Kehidupan kami sangat sulit, ibu menitipkan anak-anaknya ke beberapa kerabat agar bisa bertahan hidup. Cuma saya yang tinggal bersama ibu. Untuk membantu keuangan, saya bekerja apa saja; jualan koran, menyemir sepatu, dan melakukan pekerjaan kasar lainnya. Yang penting kami bisa makan.
Saya giat bekerja, sibuk mencari uang. Sekolah saya terbengkalai, saya tidak bisa melanjutkan sekolah dasar. Karena terbiasa hidup di jalan, tanpa sepengetahuan ibu, saya merantau ke Jakarta, tujuannya mencari uang untuk membantu ibu.  Malang, saya malah terjebak pada dunia jalanan, dunia premanisme yang sedikitpun tidak pernah saya bayangkan.
Waktu itu, di Jakarta banyak terjadi Petrus (Penembakan misterius). Suatu pagi, ketika hendak mangkal di Lapangan Banteng, tempat saya mengais uang dengan menyemir sepatu, saya ditangkap petugas. Saya digiring ke kantor polisi, ditanya macam-macam tentang korban Petrus.
Walaupun saya dan teman-teman lain bukan tersangka, atau terkait dengan korban, tapi kami tetap harus menginap di hotel prodeo. Pahit sekali pengalaman saya. Saya pun bersumpah, inilah untuk terakhir kalinya saya masuk penjara. Nyatanya saya semakin terperosok. Hidup di kota besar banyak pengorbanan yang kita harus lakukan, terlebih kalau hidup di jalanan. Bagaikan vampir, setelah terhisap racun, saya pun menyedot  racun lainnya agar bisa bertahan.
Jalanan telah membentuk saya menjadi seorang yang keras, tidak mengenal ampun. Menindas atau ditindas, membunuh atau dibunuh. Kekerasan hidup itulah yang akhirnya membuatku semakin terperosok dalam lumpur dosa.  

Semakin Hanyut

Bisa dikatakan saya ini seangkatan dengan Joni Indo. Dia itu abang saya. Syukurlah dia akhirnya bisa melepaskan diri dari cengkraman setan. Ketika saya remaja, saya tidak lagi bekerja nyemir sepatu atau jual koran. Lama hidup di jalanan, saya tidak saja tahu seluk beluk jalanan, tapi saya menguasai dunia gelap itu.  Saya tumbuh menjadi remaja yang lepas kontrol. Saya tidak bisa lagi membedakan mana yang tidak boleh saya lakukan.
Untuk bertahan, saya harus melakukan apa saja; menjadi preman, pencuri, perampok, bahkan saya harus menjadi pembunuh. Kejam? Memang, tapi semua saya lakukan untuk bertahan. Daerah Lapangan Ban­teng sudah saya kuasai. Semua preman tak ada yang tidak mengenal saya. Mereka tunduk, hormat dan mau melakukan apapun yang saya minta. Daerah kekuasaan saya sampai Poncol, Senen, Tanjung Priuk sampai Tangerang.
Walaupun preman, wajah saya tidak segarang yang dibayangkan orang. Fisik saya gagah dan tampan. Kekuatan saya tidak hanya pada dunia kriminalitas, tapi juga dalam menaklukan wanita. Saya sering gonta-ganti pasangan. Siapa pun wanita yang melihat saya langsung tunduk bahkan ada yang mengejar-ngejar saya.
Saya semakin hanyut, saya menggunakan daya tarik fisik saya untuk memperkaya diri. Ya, terjerumuslah saya dalam gelimang dunia gigolo. Naudzubillah. Setiap mengingat ini, perasaan saya sedih, pilu mengingat masa-masa kelam itu.
Waktu itu saya tidak merasa bersalah apalagi berdosa. Tidak pernah. Saya menikmati dunia yang mengumbar nafsu syahwat untuk kenikmatan sesaat. Saya memang tidak pernah merasa puas, justru saya semakin hanyut, larut, dalam nikmat dunia yang tidak pernah terpuaskan. Bayangkan, saya memiliki semuanya. Uang, perempuan dan status. Beberapa kali saya terpilih sebagai ketua preman, tapi semua itu sedikit pun tak pernah membahagiakan jiwa saya.
Saya bergelimang uang. Uang dari berzina, orang-orang yang membayar jasa saya ketika saya melakukan apa yang dia perintahkan, dan anak-anak buah yang rutin memberikan setoran. Mereka tunduk, memberikan berapa pun uang yang saya minta. Tapi, rezeki setan tidak pernah berkah. Saya tidak memiliki rumah, kendaraan mewah, atau harta lainnya. Semua uang saya habis di meja judi.
Judi adalah permainan yang membuat saya ketagihan, saya gila karenanya. Berapapun uang yang saya terima selalu habis di sana. Bahkan ketika saya menang pun, uang jutaan rupiah selalu habis dalam sekejap.
Hingga suatu sore, di tahun 2003, saya main judi di Gerendeng, daerah pusat kota Tangerang. Tiba-tiba saya mendengar suara adzan, panggilan untuk menunaikan shalat Ashar. Saya kemudian ke luar ruangan, telinga saya berdengung, hati saya bergetar. Tiba-tiba terbersit dalam hati: “Ya Allah, saya ingin bertaubat. Saya harus meninggalkan judi, minum, main perempuan. Saya bersumpah, ya Allah. Saya ingin taubat.”
Saya pun mengutarakan hal itu kepada 40 orang anak buah saya.  Mereka terkejut, tidak percaya apa yang saya katakan.  “Mana mungkin shalat Abang diterima, tato Abang kan banyak,” kata mereka.
Ada juga yang bilang, “Shalat Bang? Bakal hujan gede, geledek besar kalau Abang shalat,” atau ada yang berkomentar, “Yang bener nih? Berarti Abang nggak bakal bergaul sama kita lagi dong.”
Intinya mereka menghalagi saya ketika saya akan shalat. Tapi saya tidak peduli, saya sudah berbulat hati, saya capek hidup dalam kegelapan terus. Saya ingin shalat, saya ingin taubat. Itulah pertama kalinya saya menginjak masjid. Tubuh saya menggigil, dijalari rasa takut. Niat saya sudah bulat, saya berwudhu dan shalat.

Membangun Mushala

Saya mengalami perasaan luar biasa ketika pertama kalinya saya mencium bumi, bersujud dalam shalat. Nikmatnya luar biasa. Sulit saya gambarkan perasaan saya waktu itu.  Hari-hari berikutnya saya habiskan untuk shalat dan berzikir, saya memohon kepada Allah untuk mengampuni dosa-dosa yang saya perbuat. Saya terus bermunajat, berharap hanya kepada Allah. Saya tidak ingat hari; siang-malam saya habiskan untuk duduk bertafakur kepada-Nya. Setiap membaca inna shalati, wanusuki, wama yahya wa mati…saya merasakan siap untuk mati, menghadap Allah swt.  Saya menangis setiap menyebut nama-Nya.
Subhanallah. Apakah taubat saya diterima? Allahu a’lam. Saya merasakan perasaan lapang, damai, dan kelembutan. Setelah rutin menjalani shalat, saya menjadi sosok yang mudah menangis, dan tidak bisa berbuat kasar. Bahkan menepuk nyamuk pun saya tidak tega. Benarlah janji Allah, bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan munkar.  Setiap hari yang ingin saya lakukan hanya shalat saja. Apalagi shalat Tahajud, ibadah sunnah yang selalu saya rindukan.
Di saat saya kembali ke jalan Allah, ujian terberat adalah rezeki. Dulu, saya bergelimang uang, yang mudah sekali saya dapatkan. Berapapun yang saya minta selalu diberi. Kini, uang sangat sulit saya dapatkan, karena saya mantap mau menerima uang halal. Saya tidak mau menerima uang hasil rampokan dan sebagainya. Di sinilah kesabaran saya diuji.
Pada saat yang sama muncul dalam benak saya keinginan yang ingin segera saya wujudkan, yakni  membangun mushala. Saya bisa saja mendapatkan uang dari yang tidak halal, tapi saya tidak mau. Saya ingin uang itu dari keringat saya sendiri. Saya mau uang itu terjaga kehalalannya. Saya pun mulai bekerja. Apa saja; menjadi satpam, menjaga rumah atau membantu orang-orang yang butuh bantuan.
Alhamdulillah, banyak orang yang mempercayakan saya untuk menjaga amanahnya.  Waktu tak begitu lama, saya sudah mendapatkan rezeki untuk membangun mushala, saya menerima tanah wakaf seluas 100 meter persegi.  Tidak hanya bantuan materi, bantuan fisik pun saya dapatkan dari para penduduk desa setempat. Kami bergotong-royong, bahu membahu, mengerjakan mushala.
Saya bersyukur kepada Allah swt. yang telah mengaruniakan semua ini. Sampai sekarang pun saya selalu memikirkan proses taubat saya yang tiba-tiba. Tapi itulah hidayah Allah yang tidak bisa dihalangi oleh siapapun. Kadang saya bertanya: Mungkinkah ini karena puasa Senin-Kamis yang tidak pernah saya tinggalkan semenjak muda? Ya, walaupun hidup berkubang maksiat, saya memang tidak pernah meninggalkan puasa sunnah itu. Entah mengapa ada kepercayaan kuat bahwa puasa itu akan membuat saya lebih kuat dari segi fisik.

Mendirikan Panti Asuhan

Kata orang, satu ibadah yang kita yakini akan menolong kita, akan menjadi pintu untuk kembali kepada cahaya-Nya. Mungkinkah karena puasa yang tidak pernah saya tinggalkan ini? Ya, apapun itu saya sangat bersyukur karena diberi kesempatan untuk kembali kepada jalan-Nya yang lurus.
Saya tidak mau merasakan nikmat ini sendirian. Saya kemudian mengajak teman-teman-teman preman untuk mengikuti jejak saya. Caranya, saya mengundang mereka untuk syukuran. Di sana saya akan menyusupkan pesan-pesan untuk bertaubat.  Malam itu telah hadir 40 preman. Mereka senang, karena menyangka saya akan kembali dalam dunia mereka. Mereka datang ada yang teler, setengah teler, dengan menggunakan motor dengan suara yang meraung-raung. Acara saya adakan di mushala.
Acara saya susun seperti acara pengajian. Banyak anak buah yang protes, “Bang, bilang dong kalo ngadain pengajian,” ungkap mereka. Banyak yang meninggalkan tempat, tapi ada juga empat orang preman yang ingin bertaubat dan mengikuti langkah saya. Alhamdulillah.
Saya tidak pernah meninggalkan teman-teman saya, walaupun banyak dari mereka yang kecewa pada perubahan saya. Sebaliknya saya tetap baik dan berdakwah kepada mereka. Mereka pun sama kuatnya untuk mengajak saya kembali berbuat maksiat. Tapi saya selalu menolaknya dengan cara halus. Saya yakin bahwa dakwah yang lembut akan mudah diterima. Saya tidak pernah menyerah. Saya akan terus mengajak mereka. Saya harus tanamkan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kita jika kita sungguh-sungguh bertaubat.
Hadits yang mengatakan jika kita berjalan menuju jalan Allah, Allah swt. akan berlari menyambut kita. Setelah bertaubat banyak kenikmatan dunia yang saya dapatkan, hidup tentram, rumah tangga saya harmonis. Kini amanah saya bertambah, yakni menjaga anak yatim.
Ceritanya, di wilayah yang tidak jauh dari tempat saya tinggal, ada sebuah rumah panti asuhan yang akan dibakar warga, karena seorang ibu asuhnya ingin membakar salah satu anak asuhnya. Beberapa orang datang kepada saya, “Bapak Ambon, tolong jaga rumah itu sebelum dibakar warga,” kata mereka. Saya pun menjaganya supaya tidak ada korban yang berjatuhan.
Peristiwa itu kemudian ditangani polisi. Masalah selanjutnya, siapa yang akan menampung 8 anak asuh yang tinggal di sana. Saya langsung menyatakan kesediaan. Istri saya sempat ragu, “Bagaimana Bapak ini, mencari nafkah untuk menghidupi anak 2  saja sulit, bagaimana dengan 8 anak lainnya?” kata istri saya khawatir.  Saya pun meyakinkan, kita percaya Allah akan menolong kita, jika kita menolong anak-anak istimewa, titipan Allah itu.  Akhirnya istri saya setuju.
Kami memiliki 5 pintu untuk dikontrakkan. Sekarang, seluruh tempat dipakai untuk anak-anak yatim. Sekarang jumlah anak asuh saya lebih dari 20 orang. Mareka adalah anak-anak yatim yang berasal dari wilayah di Tangerang. Saya tidak hanya menampung, tapi juga menyekolahkan mereka. Saya akan berupaya supaya mereka mendapat pendidikan yang tinggi, kalau perlu kuliah sampai sarjana.  Istri saya, Ani Nurhayati, seorang ibu yang sabar, disipilin dan  tekun beribadah. Yang saya kagum padanya adalah kekuatan dari dirinya untuk menyadarkan dan mendukung saya sepenuhnya.
Istri saya sangat sabar dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anak. Tadi pagi kami kedatangan tamu, seorang ibu yang menyerahkan anaknya yang baru berusia dua hari, karena tidak mampu memberinya makan. Istri saya dengan tangan terbuka mau mengasuh bayi tersebut.
Subhanaallah. Padahal dia tidak muda lagi, usianya sudah berkepala 6. Sekarang, kami sepakat untuk konsentrasi mengasuh anak-anak yatim. Saya berniat membangun asrama yatim. Semoga Allah memudahkan niat kami. Amin.